Amnesty Internasional: 2021 Tahun Pupus Hak Sipil dan HAM Dunia

Selasa, 29/03/2022 14:55 WIB
amnesty international (Dok.Picture Alliance)

amnesty international (Dok.Picture Alliance)

Jakarta, law-justice.co - Pemantau hak asasi manusia, Amnesty Internasional, menyebut 2021 sebagai tahun harapan pupus terkait hak sipil dan hak asasi manusia. Ranah digital semakin menjadi ruang bagi aktivis, tapi di sisi lain bentuk represi.

Setiap tahun, Amnesty International melihat perkembangan di seluruh dunia dan menyusun analisis tren global terpenting dalam hak asasi manusia dan sipil.

Dalam laporan tahunan terbarunya yang dirilis Selasa (29/03), Direktur Penelitian dan Advokasi Amnesty Timur Tengah dan Afrika Utara Philip Luther mengatakan: "2021 adalah tahun dengan janji-janji yang sangat signifikan ... Kenyataannya benar-benar sebaliknya."

Luther mengatakan kepada DW bahwa ada harapan dunia mungkin kembali normal dari pandemi secara adil, tetapi negara-negara kaya khususnya, telah menghambat produksi dan distribusi vaksin.


Laporan tahunan mengutip fakta bahwa kurang dari 8% dari 1,2 miliar orang di Afrika divaksinasi penuh pada akhir tahun 2021, yang menjadi tingkat vaksinasi terendah di dunia dan jauh dari target vaksinasi WHO, yaitu 40%.

Distribusi vaksin hanyalah salah satu bentuk kekecewaan di tahun 2021. Studi ini menemukan bahwa banyak pemerintah menggunakan pandemi untuk menekan oposisi dan masyarakat sipil.

"Ini lintas wilayah dan itulah salah satu alasan kami menyorotinya dalam analisis global kami," kata Luther.

"Beberapa pemerintah secara khusus menggunakan situasi pandemi untuk membatasi kebebasan berekspresi."

Contoh negara yang tidak ramah pembela hak asasi manusia dan menekan kebebasan berbicara, di antaranya Kamboja, Rusia, dan Cina.

Menurut Amnesty dan organisasi internasional lainnya, pandemi ini juga berdampak pada masyarakat sipil.

"Ada berbagai strategi yang mempersulit masyarakat sipil untuk beroperasi di berbagai wilayah di dunia," kata Silke Pfeiffer, Kepala Departemen Hak Asasi Manusia dan Perdamaian di organisasi bantuan yang berafiliasi dengan Kristen, Brot für die Welt (Roti untuk Dunia), kepada DW.

"Ini secara khusus ditujukan pada aktivis individu, yang didiskriminasi, diancam, dianiaya, dan dalam beberapa kasus dibunuh."

Di banyak negara, kata Pfeiffer, pemerintah memupuk lingkungan yang tidak bersahabat.

"Ini menjadi semakin sulit bagi organisasi masyarakat sipil untuk bekerja," katanya. Contohnya, pada akhir Maret, Presiden Nikaragua Daniel Ortega menutup 25 organisasi non-pemerintah.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar