Syarat Makin Berat, Daftar Guru Minimal Lulus Pascasarjana

Kamis, 24/03/2022 12:11 WIB
Sejumlah siswa saat mengikuti uji coba pembelajaran tatap muka tahap I di SDN 14 Pondok Labu, Jakarta, Jumat (4/6). Pemprov DKI Jakarta akan melakukan uji coba pembelajaran tatap muka tahap II pada 7-24 Juni 2021 yang melibatkan 85 sekolah. Robinsar Nainggolan

Sejumlah siswa saat mengikuti uji coba pembelajaran tatap muka tahap I di SDN 14 Pondok Labu, Jakarta, Jumat (4/6). Pemprov DKI Jakarta akan melakukan uji coba pembelajaran tatap muka tahap II pada 7-24 Juni 2021 yang melibatkan 85 sekolah. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Pemerintah sedang menggodok syarat jadi guru minimal lulusan program Pascasarjana.

Akibatnya ayarat untuk menjadi guru bakal semakin berat, pasalnya selama ini untuk jadi guru minimal lulus sarjana (S1).

Ketentuan ini bagian dari regulasi baru dalam rancangan undang-undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional.

Butir-butir ketentuan baru dijelaskan secara rinci oleh Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, Anindito Aditomo saat audiensi dengan sejumlah redaktur media.

“Untuk jadi guru tidak lagi kualifikasi S1. Tetapi syaratnya Pascasarjana yaitu PPG (pendidikan profesi guru),” kata pejabat yang akrab disapa Nino itu.

Dia mengatakan guru-guru yang eksisting sampai RUU Sisdiknas nanti disahkan, akan langsung dianggap memenuhi syarat. Atau istilahnya pemutihan.

Tetapi untuk guru baru, syarat minimalnya lulus progran Pascasarjana PPG. Tujuan meningkatkan kualifikasi mininal calon guru ini untuk memperbaiki kualitas pendidikan.

Seperti diketahui PPG adalah pendidikan bagi lulusan sarjana (S1). Mahasiswa dengan ijazah S1 keguruan maupun non keguruan, bisa mengikuti PPG. Misalnya mahasiswa lulusan Fakultas MIPA, bisa mendaftar guru selama lulus PPG.

Proses PPG dijalankan selama satu tahun atau dua semester. Nino menegaskan pembahasan RUU Sisdiknas masih awal. Masih menyusun naskah akademik. Setelah itu baru diusulkan ke DPR. Rencananya April depan akan diusulkan ke Parlemen.

Sementara iti sorotan terhadap revisi UU Sisdiknas masih bermunculan. Diantaranya disampaikan oleh Ketua Bidang Kajian dan Riset Kebijakan Pendidikan NU Circle Ki Bambang Pharmasetiawan.

Dia mengatakan setelah mengkaji draf naskah akademi RUU Sisdiknas, setidaknya ada sepuluh poin yang mereka kritisi.

Diantaranta adalah mereka menilai RUU Sisdiknas meminggirkan dan memarginalkan peran agama dalam membangun moralitas anak Indonesia.

Agama tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting dan strategis. Lalu RUU Sisdiknas dianggap memiliki grand design yang memposisikan pendidikan nasional sebagai komoditi. Pendidikan masuk dalam ranah bisnis dan perdagangan.

RUU Sisdiknas juga dinilai menanamkan Pancasila sebagai doktrin. Bukan sebagai sistem nilai luhur bangsa Indonesia yang kemudian menjadi dasar negara Indonesia.

“RUU ini membangun perspektif Pancasila sebagai doktrin. Ini tak ubahnya seperti orde baru,” tegas Ki Bambang.

RUU Sisdiknas juga dikemas sebagai kebijakan terpusat sehingga bias terhadap otonomi daerah.

Sorotan terhadap revisi UU Sisdiknas juga disampaikan pengamat pendidikan Indra Charismiadji. Dia mengatakan bangsa Indonesia harus bangkit dan peduli pada masa depan anak cucunya.

“Untuk itu mari bersama kita kawal RUU Sisdiknas ini agar sesuai dgn harapan seluruh bangsa bukan kelompok tertentu,” tuturnya.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar