Rusia Tak Hiraukan Putusan Mahkamah Internasional soal Invasi Ukraina

Jum'at, 18/03/2022 14:00 WIB
Mahkamah Internasional (Anadolu Agency)

Mahkamah Internasional (Anadolu Agency)

Jakarta, law-justice.co - Mahkamah Internasional (ICJ) pada Rabu (16/3/2022) memerintahkan Rusia untuk menangguhkan invasi ke Ukraina, dengan mengatakan pihaknya "sangat khawatir" dengan penggunaan kekuatan Moskow.

Kyiv memuji putusan Mahkamah Internasional (ICJ) yang meminta Moskow menghentikan invasi sebagai "kemenangan penuh" dengan mengatakan akan terus mengupayakan itu "sampai orang Ukraina dapat kembali ke kehidupan normal."

Putusan tersebut merupakan putusan pertama yang dijatuhkan oleh pengadilan internasional sejak perang di Ukraina dimulai.

Keputusan tersebut diumumkan ketika pasukan Moskow masih berada di sekitar kota-kota besar termasuk ibu kota Ukraina.

Ukraina meminta badan hukum untuk campur tangan. Ukraina mengatakan bahwa Rusia secara keliru menuduh telah terjadi genosida di wilayah Donetsk dan Luhansk untuk membenarkan serangannya.

Kyiv menginginkan tindakan segera untuk menghentikan pertempuran yang oleh badan hak asasi manusia PBB dilaporkan telah merenggut nyawa sedikitnya 1.834 korban sipil.

Bunyi putusan ICJ "Federasi Rusia harus segera menangguhkan operasi militer yang dimulai pada 24 Februari di wilayah Ukraina," sambil menunggu keputusan akhir dalam kasus tersebut, kata Hakim Ketua ICJ Joan Donoghue.

"Pengadilan sangat prihatin dengan penggunaan kekuatan oleh Federasi Rusia yang menimbulkan masalah yang sangat serius dalam hukum internasional," tambah Donoghue.

Tidak ada perwakilan Rusia yang hadir dalam pertemuan itu. Di luar ICJ, puluhan pengunjuk rasa berkumpul, banyak yang membawa plakat bertuliskan "Hentikan Putin" dan "Lindungi Langit Kita", mengacu pada permintaan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy agar NATO memberlakukan larangan zona terbang di atas Ukraina.

Tidak ada bukti genosida Rusia menolak menghadiri sidang pada 7 dan 8 Maret lalu, dengan alasan dalam pengajuan tertulis bahwa ICJ "tidak memiliki yurisdiksi" karena permintaan Ukraina berada di luar ruang lingkup Konvensi Genosida 1948 yang menjadi dasar kasusnya.

Moskow juga membenarkan penggunaan kekuatannya di Kyiv, dengan mengatakan "tindakan itu sebagai upaya untuk membela diri."

Namun, ICJ memutuskan memiliki yurisdiksi dalam kasus tersebut, dengan Donoghue menunjukkan bahwa ICJ saat ini "tidak memiliki bukti yang mendukung tuduhan Federasi Rusia bahwa genosida telah dilakukan di wilayah Ukraina."

Hakim menambahkan bahwa meskipun negara-negara memiliki hak untuk membela terhadap dugaan genosida, langkah itu perlu "terjadi sesuai semangat dan tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa."

Donoghue meragukan bahwa Konvensi Genosida mengizinkan "penggunaan kekuatan sepihak negara di wilayah negara lain untuk tujuan mencegah atau menghukum dugaan genosida."


ICJ dibentuk setelah Perang Dunia II untuk mengatur perselisihan antara negara-negara anggota PBB, terutama berdasarkan perjanjian dan konvensi.

Meskipun putusannya mengikat, ia tidak memiliki sarana nyata untuk menegakkannya. Sidang penuh atas isi kasus ini masih bisa memakan waktu bertahun-tahun, kata para ahli.

Hakim ICJ juga memerintahkan Moskow untuk memastikan bahwa militer atau unit bersenjata tidak melanjutkan serangannya.

Namun, "apakah Rusia akan menuruti adalah pertanyaan yang sama sekali berbeda", kata Marieke De Hoon, asisten profesor hukum publik dan kriminal internasional di Universitas Amsterdam.

Apa perkembangan terbaru di Ukraina?

Sidang ICJ pada hari Rabu (16/03) dilakukan saat pasukan Rusia meningkatkan serangan terhadap bangunan tempat tinggal di kota Kyiv.

Jumlah pengungsi yang melarikan diri dari Ukraina telah mencapai 3 juta, menurut badan pengungsi PBB, UNHCR.


Kantor hak asasi manusia PBB melaporkan bahwa 691 orang telah tewas dan 1.143 terluka sejauh ini, mencatat bahwa angka sebenarnya kemungkinan "jauh lebih tinggi."

Sementara itu, Presiden Zelenskyy mengatakan bahwa posisi dalam negosiasi antara perwakilan Rusia dan Ukraina mulai terdengar "lebih realistis."

Pada hari Rabu (16/03), Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan ada "harapan untuk kompromi."

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar