Tarik Ulur Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Sekolah (I)

Salah Siapa Pengawasan Kawasan Tanpa Rokok di Sekolah Lemah?

Rabu, 16/03/2022 09:09 WIB
Di sudut Kota Jakarta terdapat sebuah kampung yang dikenal sebagai Kampung Bebas Asap Rokok. Nekat merokok di sini siap-siap kena denda Rp 50 ribu. Sejumlah RT di wilayah RW 06, Kelurahan Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur, menjadikan lingkungannya sebagai Kampung Bebas Asap Rokok. Robinsar Nainggolan

Di sudut Kota Jakarta terdapat sebuah kampung yang dikenal sebagai Kampung Bebas Asap Rokok. Nekat merokok di sini siap-siap kena denda Rp 50 ribu. Sejumlah RT di wilayah RW 06, Kelurahan Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur, menjadikan lingkungannya sebagai Kampung Bebas Asap Rokok. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Alih-alih bisa memperluas kawasan tanpa rokok di ruang publik seperti sekolah dan kawasan untuk anak, namun kenyataanya banyak sekolah dan kawasan bermain anak terpapar asap rokok. Lebih parahnya, orang tua dan guru di sekolah menjadi pelaku utama perokok yang mencemari lingkungan.

Sebut saja namanya Yudha (19), nama remaja bertubuh kurus kering ini bercerita dengan santai perilaku keluarganya, batang rokok selalu terjepit disela jarinya.

Sesekali mengisap salah satu merek rokok yang dia percaya bisa meringankan batuk menurutnya. Yudha mengaku sejak lahir terbiasa dengan kebiasaan ayahnya yang dengan nyamannnya merokok di dalam rumah sambil bermain dengan dua cucu perempuannya yang balita.

Tio nama ayah Yudha, pria paruh baya ini membuat rokok seolah menjadi aroma wajib dihisap ketika masuk kedalam rumahnya.

Yudha bercerita, dirinya sudah merokok sejak berseragam putih biru.

"Merokok sejak SMP, saya anggap wajar merokok, karena ayah saya perokok,” katanya.

Ibunda Yudha, istri Tio hanya bisa pasrah, melarang pun sudah tak berdaya, karena Tio suaminya beranggapan merokok bukanlah dosa dan sebuah kewajaaran.

Alhasil, Tio sering menderita batuk yang diduga karena efek berkepanjangan akibat merokok.

Jika melihat kondisi rumahnya, rumah Tio dan keluarganya tidaklah terlalu besar. Tio tinggal bersama kelima anaknya karena belum juga mapan, walau sudah berumah tangga.

Yudha berbincang dan berbagi harapannya agar bisa menjadi sarjana agar bisa mengangkat martabat keluarganya.

Maklum, semua saudaranya hanya mentok di SMA.

Yudha punya mimpi besar untuk mengangkat martabat keluarganya dengan lulus jadi sarjana.

“Paling tidak ada yang lulusan sarjana, barangkali itu saya,” ujar mahasiswa semester empat ini.


Ilustrasi perokok di usia sekolah (Dok.Gosign)

Menjadi perokok aktif sudah tidak dihiraukannya. Menurut dia, rokok sudah menjadi kawan baik Yudha saat mengerjakan tugas kuliah.

Bahkan, jarinya tak pernah sepi karena terus saja mengempit batang rokok non stop.

“ Sulit banget mau berenti, pernah coba sih, tapi kayak orang kebingungan dan cemas,” ucap Yudha.

“Ayah saya sudah sering batuk, malah pernah batuk berdarah, tapi tetap aja, dia merokok lagi, kayak udah mendarahdaging banget, susah dia untuk berhenti,” lanjutnya.

Kembali ke Tio, sebagai kepala keluarga, dari 7 Anak dan 5 cucu ini mengaku tak pernah mengajari anak-anak lelakinya merokok tapi kadang dia menyuruh anak-anaknya untuk sekadar membeli rokok dan kopi di warung. Itulah mengapa anak-anak lelaki Tio jadi perokok.

”Awal mereka tau rokok karena minta sama saya rokok, saya kasih aja, masa saya aja perokok terus melarang anak saya merokok,” kilah Tio ayahanda Yudha.

Fenomena keluarga perokok agaknya memang lumrah di Indonesia, kebiasaan yang tadinya ingin dilakukan sendiri, justru malah jadi kebisaaan yang diturunkan, ketika bicara perilaku merokok di rumah, terlebih anak cenderung meniru kebiasaan orangtuanya sebagai orang terdekat dalam hidup mereka.

Lain cerita dengan Yudha, ada keluarga lain, seorang ayah yang memiliki balita Mulyadi (34) tahun, seorang perokok aktif. Istrinya Iis (27) melarang sang suami untuk merokok di dalam rumah.

Mulyadi bercerita dirinya hanya bekerja sehari-hari sebagai pegawai di konter laptop dan ponsel.

Keluarga ini masih memiliki kepedulian sikap dan perilaku terhadap kedua anaknya yang masih berusia 7 dan 1, 5 tahun.

“Suami saya minta keluar rumah jika ingin merokok, alasannya saya tidak suka bau aroma asap rokok didalam rumah,” ungkap Iis disela kesibukannya menjaga warung di depan rumahnya.

Iis sebenarnya agak geram dengan pengeluaran suaminya untuk khusus membeli rokok.

”Sehari bisa habis Rp40 ribu cuma untuk beli rokok, sementara penghasilan kami dibawah UMR,” ujarnya.

Mulyadi mengaku sudah merokok sejak lulus SD karena mengikuti sang ayah yang juga perokok berat.

"Sudah dari SD menjelang SMP, kalau di kampung merokok hal yang lumrah,” akunya.

Namun begitu, Mulyadi tengah berikhtiar untuk menghentikan kebiasaan merokoknya, karena terkadang kebutuhan hidup menghimpitnya untuk berhemat.

“Anak saya sudah sekolah baru masuk SD kelas 1, pengeluaran mulai banyak, saya jadi berusaha untuk sedikit mengurangi,” pungkasnya.

ASN yang Belum Sadar KTR
Ada perbedaan yang mencolok antara sekolah negeri dengan sekolah swasta, agaknya sekolah Negeri yang didominasi oleh Guru Aparatur Sipil Negara (ASN) justru belum banyak memiliki kesadaran untuk mendukung Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Kepala SDN 06 Pejaten Barat Jakarta Selatan Priono mengungkapkan masih ada segelintir guru yang menjadi perokok aktif.

“ Masih ada guru yang menjadi perokok aktif, tapi tidak sampai 10 Persen,” katanya ditemui Law-Justice.co.

Dari hasil pantauan Law-Justice.co setelah berkeliling Kawasan sekolah, masih saja ditemukan puntung rokok SDN 06 Pejaten Barat, meski jauh dari kelas, akan tetapi puntung rokok masih ada didalam gerbang sekolah, yang dipastikan masih dalam KTR.

Priono menjelaskan, pihaknya tak pernah meminta oknum guru untuk menghentikan kebiasaannya merokok.

Akan tetapi Priono menyediakan tempat merokok bagi staf guru dan orangtua.

“Tempat khusus merokok jauh dari jarak anak-anak, tepatnya berada di belakang sekolah,” ungkapnya.

Priono mengaku agak kesulitan melarang guru perokok untuk berhenti.

“Kami berupaya memberi edukasi hingga peringatan bila ada guru yang melanggar aturan Kawasan Tanpa Rokok,” ungkapnya.

Kepala SDN 06 Pejaten Barat, Jakarta Selatan Priono mengaku perhatian soal kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) masih minim. Baik dari segi anggaran atau pengawasannya.

Sekolah Negeri milik pemerintah mendapatkan subsidi atau anggaran dari pemerintah juga belum maksimal menerapkan Kawasan Tanpa Rokok.

Meski kebijakan KTR seharusnya menjadi sebuah kesadaran bersama.

Sementara itu Kepala SDN 01 Jati Padang Sopan Hadi merasa kebijakan KTR belum menjadi perhatian besar, kebijakan ini masih hanya sebatas larangan merokok dalam berbentuk tulisan ‘Dilarang Merokok’.

“Ada larangan merokok, kami juga tidak menyediakan tempat merokok didalam lingkungan sekolah, bahkan saya secara pribadi mencontohkan sebagai pimpinan untuk tidak merokok bagi guru-guru disini,” ungkap dia.

Sopan merasa kebijakan ini belum harus dibuatkan program turunan yang berkaitan dengan lingkungan.


Di sudut Kota Jakarta terdapat sebuah kampung yang dikenal sebagai Kampung Bebas Asap Rokok. Nekat merokok di sini siap-siap kena denda Rp 50 ribu. Sejumlah RT di wilayah RW 06, Kelurahan Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur, menjadikan lingkungannya sebagai Kampung Bebas Asap Rokok. Robinsar Nainggolan

“Kami tidak punya program khusus yang kaitannya dengan turunan program KTR dan lingkungan secara umum, akan tetapi kami terus meminta siswa dan perangkat sekolah untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan apalagi disaat pandemi saat ini,” ungkap pria kelahiran Tegal ini.

Solusi Sekolah Kawasan Berwawasan Lingkungan

Berbeda dengan sekolah negeri, agaknya sekolah swasta lebih memiliki kebebasan dalam mengelola lingkungan, SDS Strada misalnya, membuat Kawasan Berwawasan Lingkungan yang merupakan adaptasi dari Kawasan Tanpa Rokok.

Jangankan asap rokok dan puntungnya, SDS Strada sudah melarang pembakaran sampah hingga membudayakan daur ulang sampah sehingga menghasilkan karya yang bisa dinikmati bersama.

Kepala SDS Strada Titi Daryani menuturkan sekolahnya bebas asap dan puntung rokok sejak menerapkan Kawasan berwawasan lingkungan.

“Kami menerapkan Kawasan berwawasan lingkungan yang diterapkan secara menyeluruh, dengan kepedulian kita kepada lingkungan, tentu asap rokok sebagai salah satu sumber polusi juga bisa ditiadakan dan jauh dari anak-anak,” ungkapnya.

Pengendalian terhadap zat adiktif bernama rokok ini juga berlaku bagi para guru, Titi yakin tidak ada guru SDS Strada yang perokok.

“Tidak ada satupun guru SDS Strada yang merokok, kesadaran ini muncul dari salah satunya penerapan kawasa berwawasan lingkungan,” paparnya.

Titi meyakini kesadaran kolektif ini membuat lingkungan sekolah juga tak ditemukan putung rokok.

"Kalaupun ada puntung rokok, itupun diluar pagar sekolah SDS Strada, kami yakin secara sadar dan bertanggung jawab,” pungkasnya.


Sekolah menjadi salah satu kawasan tanpa rokok yang kerap dilanggar (Dok.Gosign.co.id)

Fase Rentan Anak Sekolah Menjadi Perokok Aktif

Data terbaru yang dirilis Kementerian Kesehatan mencatat angka prevalensi merokok pada usia remaja (10-18 tahun) terus meningkat.

Pada 2013, terdapat 7,2 persen remaja yang mengonsumsi rokok di Indonesia. Pada tahun 2016, angka perokok remaja naik menjadi 8,8 persen, dan pada 2019 kembali naik lagi, yakni 9,1 persen

Sekolah Menengah Pertama (SMP) merupakan tempat belajar anak menjelang usia remaja, disitulah permulaan anak-anak mulai mencoba hal baru, mereka masih seperti spons yang hanya ingin meniru dan menyerap.

Pada akhirnya, keluarga menjadi moral bagi anak untuk bisa mencerna dan membedakan mana yang baik dan yang buruk.

SMP adalah masa anak rentan terpapar rokok karena ingin mencontoh orangtua atau hanya sekadar ikut-ikutan, banyak juga dari siswa SMP yang akhirnya melanjutkan kaingintauannya hingga menjadi pecandu dan membuat banyak pembenaran agar bisa terlihat hebat dengan rokoknya.

Terlebih media sosial sangat mudah diakses siswa SMP yang kebanyakan sudah diberi ponsel oleh orangtua.

SMP Suluh Pasar Minggu mengungkap fakta bahwa ada juga siswanya yang mencoba mengonsumsi rokok likuid atau vape.


Humas SMP Suluh Pasar Minggu, Fabyan Nurafditya (Devi Puspitasari/Law-Justice)

“Kami sempat menemukan siswa yang mengonsumsi Vape, Kami lakukan pembinaan dan edukasi, akan tetapi tetap saja, sekolah punya keterbatasan dalam mendidik siswa, keluarga harusnya berperan lebih dominan dalam mendidik anak,” ungkap Humas SMP Suluh Fabyan Nurafditya.

Fabyan mengungkap, Meski SMP Suluh tidak pernah membuat syarat menjadi guru bukan seorang perokok, agaknya para guru memiliki kesadaran untuk tidak merokok didalam gerbang sekolah.

"Mereka mungkin merokok di warung makan saat makan siang saja,” ujarnya.

Meskipun tidak familiar dengan Kebijakan KTR, Fabyan mengaku, SMP Suluh menjadi pelopor pemilahan sampah dan tidak melakukan pembakaran sampah.

"Kami membuat program pemilahan sampah secara aktif, siswa diwajibkan bisa membedakan jenis sampah,” kata dia.


Bagaimana Penerapan KTR Ideal?

Kawasan Tanpa Rokok (KTR) masih menjadi pekerjaan rumah bersama, masyarakat yang menganggap merokok merupakan hal yang lumrah bahkan dianggap ritual yang tak afdol jika berkumpul tanpa rokok.

Bahkan ada segelintir orang Indonesia yang menganggap mereka baik-baik saja dengan merokok dan tetap berumur panjang.


Di sudut Kota Jakarta terdapat sebuah kampung yang dikenal sebagai Kampung Bebas Asap Rokok. Nekat merokok di sini siap-siap kena denda Rp 50 ribu. Sejumlah RT di wilayah RW 06, Kelurahan Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur, menjadikan lingkungannya sebagai Kampung Bebas Asap Rokok. Robinsar Nainggolan

Kebiasaan itu akhirnya bertumpuk membuat meningkatnya angka perokok di Indonesia.

KTR adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk melakukan kegiatan produksi, penjualan, iklan, promosi, dan atau penggunaan rokok.

Penetapan KTR merupakan upaya perlindungan untuk masyarakat terhadap risiko ancaman gangguan kesehatan karena lingkungan tercemar asap rokok.

Peningkatan jumlah perokok pada orang dewasa membuat anak-anak sebagai subjek yang tak berdaya menjadi terimbas.

Anak-anak yang tak berdaya melihat perilaku orang tua mereka yang perokok, membuat anak-anak rentan terkena zat adiktif bernama rokok.

Padahal melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, Indonesia telah memiliki peraturan untuk melarang orang merokok di tempat-tempat yang ditetapkan.

Peraturan Pemerintah tersebut memasukkan peraturan Kawasan Tanpa Rokok pada Pasal 22-25. Dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok dan dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga mencantumkan peraturan Kawasan Tanpa Rokok pada bagian tujuh belas mengenai Pengamanan Zat adiktif Pasal 115 ayat (91) dan (2).

DKI Jakarta melalui Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok namun Jakarta belum menerapkan 100% Kawasan Tanpa Rokok karena dalam perauran tersebut masih menyediakan ruangan untuk merokok.

DKI Jakarta seharusnya menjadi daerah yang progresif dalam melaksanakan kebijakan KTR, namun sangat disayangkan, penerapannya masih longgar dan terkesan tidak serius.


Tidak terawasinya pelaksanaan terutama Aparatur sipil seharusnya menjadi contoh penerapan kebijakan karena gajinya berasal dari anggaran pemerintah.

Sementara itu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai, jumlah kawasan tanpa rokok (KTR) di sejumlah daerah di Indonesia masih kurang. Ketua IDI, Daeng M. Faqih menyatakan, komitmen pemerintah dalam membuat kawasan tanpa rokok di rupang publik masih minim.

Padahal, menurut dia, keberadaan KTR merupakan amanat dari Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009.

Karena itu, seharusnya KTR ada di semua ruang publik yang dikunjungi banyak orang, seperti sekolah, tempat ibadah, sarana transportasi, sarana kesehatan dan tempat wisata.

Namun hal tersebut belum terealisasi dengan maksimal, khususnya di daerah.


Di sudut Kota Jakarta terdapat sebuah kampung yang dikenal sebagai Kampung Bebas Asap Rokok. Nekat merokok di sini siap-siap kena denda Rp 50 ribu. Sejumlah RT di wilayah RW 06, Kelurahan Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur, menjadikan lingkungannya sebagai Kampung Bebas Asap Rokok. Robinsar Nainggolan

"Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 harusnya diteruskan implementasinya dalam peraturan di tiap daerah, namun komitmen pemerintah daerah mengenai hal tersebut masih kurang," ujar Faqih kepada law-justice.co

Faqih menambahkan, minimnya komitmen tersebut tidak terlepas dari political will, atau kemauan politik, para pemimpin di daerah. Ini kemudian yang membuat keberadaan KTR di daerah masih kurang.

Hampir senada dengan Daeng M. Faqih, Komisioner Komisi Perlindungan Anak (KPAI) Retno Listyarti mengatakan, hingga kini, komitmen pemerintah daerah dalam menerapkan Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, utamanya mengenai KTR, baru di daerah-daerah tertentu saja.

Sejumlah daerah tersebut, lanjut Retno, kebanyakan adalah daerah yang sudah atau pernah menyandang sebagai Kota Layak Anak. Di kota tersebut, tak hanya ketersediaan KTR, bukti komitmen pemerintah daerah terhadap dampak buruk rokok juga dengan melarang iklan rokok di ruang publik.

Retno menyebutkan sejumlah daerah sebagai contoh, diantaranya DKI Jakarta, Solo dan Surabaya. Menurut Retno, pemerintah di daerah tersebut sudah membuat peraturan turunan, seperti Pergub, yang mengatur soal rokok hingga detil.

"ASN di kota-kota tersebut kalau ketahuan merokok, tunjangan mereka bisa dipotong," ungkap Retno.

Namun, ketika peraturan daerah mengenai rokok telah terbentuk, maka langkah selanjutnya yang tak kalah penting, menurut Daeng M. Faqih adalah pengawasan dan penegakan hukum.

Kontribusi Laporan : Devi Puspitasari, Rio Rizalino, Ghivary Apriman

(Tim Liputan Investigasi\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar