Rugi karena Jabatannya Diperpendek, Bupati Ini Gugat UU Pilkada ke MK

Rabu, 09/03/2022 23:14 WIB
Bupati Halmahera Utara Frans Manery gugat UU Pilkada ke MK (poskomalut)

Bupati Halmahera Utara Frans Manery gugat UU Pilkada ke MK (poskomalut)

Halamhera, Malut, law-justice.co - Bupati Halmahera Utara Frans Manery menggugat Undang-Undang Pilkada yang menyatakan Pilkada serentak dilaksanakan pada tahun 2024. Frans menggugat bersama wakilnya Muchlis.

Gugatan pasangan kepala daerah ini dicatat Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai perkara Nomor 18/PUU-XX/2022, yang di dalamnya mendalilkan Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945.

Dalam Sidang Pendahuluan yang digelar MK di Ruang Sidang Pleno MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat pada Selasa kemarin (8/3), kuasa hukum Pemohon, Ramli Antula menjelaskan, alasan pasangan kepala daerah ini menggugat adalah karena masa jabatannya berpotensi dipangkas dari yang seharusnya.

Menurut Ramli, Frans dan Muchlis sebagai pasangan kepala daerah dengan masa jabatan 5 tahun yang dilantik pada 9 Juli 2021 mestinya berakhir pada 9 Juli 2026, bukan pada 2024 mendatang sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada tersebut.

Jika mengacu pada ketentuan tersebut, maka masa jabatan para Pemohon hanya 3 tahun 5 bulan. Sehingga Ramli menegaskan, keberlakuan norma Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada tidak tepat untuk gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan tahun 2020 yang menjabat sampai dengan tahun 2024, yang pada pokoknya mengatur tentang berakhirnya masa jabatan bupati dan wakil bupati hasil pemilihan tahun 2020.

"Secara faktual maupun potensial berdasarkan penalaran hukum yang wajar, mereduksi masa jabatan Para Pemohon sebagai bupati dan wakil bupati, berdasarkan Pasal 162 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014," ujar Ramli, Rabu (9/3/2022).

Menurut para Pemohon, ada inkonsistensi norma antara ketentuan Pasal 201 ayat (7) dengan pasal 162 ayat (2) UU Pilkada mengakibatkan terjadinya tumpang tindih norma yang mengatur masa jabatan dalam batang tubuh UU Pilkada.

"Dengan dibatalkannya atau paling tidak ditafsirkannya Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 sepanjang terkait dengan masa jabatan Bupati dan Wakil Bupati sesuai dengan ketentuan Pasal 162 ayat (2) UU 10/2016 dan pasal 60 ayat (2) UU 23/2014, maka potensi kerugian hak konstitusional para Pemohon dapat dihindari,” sebut Ramli dalam sidang yang diikutinya secara daring.

Dalam nasihat hakim panel, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyebut bahwa Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 201 ayat (7) UU UU Pilkada yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945.

Namun menurut pandangan Arief, ketentuan pemilihan umum lima tahun sekali sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 Ayat (3) UUD 1945, berlaku untuk anggota DPRD dan bukan untuk pemilihan kepala daerah seperti bupati/wakil bupati serta walikota/wakil walikota sebagaimana dipahami para Pemohon.

"Jadi, yang mempunyai masa jabatan 5 tahun secara pasti yang diatur dalam UUD 1945 adalah DPRD, Pasal 18 Ayat (3). Sedangkan bupati, walikota, gubernur, wakil gubernur masa jabatannya tidak diatur secara rigid 5 tahun di UUD 1945. Masa jabatan itu diatur dalam UU," paparnya.

"Sekarang UU itu diubah. Dalam keadaan normal, masa jabatannya 5 tahun itu di Pasal 161 ayat (3) UU tentang Pemilu. Tetapi karena mau ada Pemilu serentak, maka ada peraturan yang khusus. Tidak memberi jabatan 5 tahun, tapi jabatannya bersama-sama selesai pada tahun 2024 pada waktu diadakan Pilkada serentak," tutup Arief.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar