Pemerintah era Jokowi Labeli Ustaz Radikal, YLBHI: Mirip Rezim Orba!

Senin, 07/03/2022 14:20 WIB
Presiden Jokowi Widodo  (NKRIku)

Presiden Jokowi Widodo (NKRIku)

Jakarta, law-justice.co - Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengungkapkan bahwa tindakan pemerintah Joko Widodo yang gemar memberi label dan stigma radikal serta hoaks adalah cara untuk membungkam pihak yang kritis seperti masa orde baru (Orba) Soeharto.


"Masa Orde Baru itu orang-orang kritis, orang-orang yang menyampaikan catatan dan masukan buat pemerintah, di mana itu bagian dari partisipasi publik, di mana pemerintah wajib menerima kritik, itu dicap berbagai label [dengan] berbagai stigma," ujar Isnur, dikutip, Senin (7/3/2022).

"Dituduh komunis, dituduh radikal kanan, jadi pancasila justru menjadi alat untuk membungkam," lanjutnya.

Menurutnya ini bukan pertama kali terjadi, sebab saat masa Orde Baru, pemerintah juga menggunakan metode yang sama untuk membungkam lawan politik dan orang-orang kritis. Terutama, penggunaan definisi dan pasal-pasal karet.

"Kalau dulu ada UU Subversif, sekarang pun sama gitu, dengan tuduhan-tuduhan radikal, orang-orang ini dituduh sebagai kelompok radikal teroris," ujar Isnur.

Padahal, menurutnya, dalam hukum pidana memiliki asas lex stricta atau tegas tanpa analogi. Artinya, asas itu berarti ketat dan tidak bersifat karet.

"Kalau karet dia akan menjadi alat untuk membungkam, dan kriminalisasi, maka jadi wajar banyak tuduhan kriminalisasi aktivis, kriminalisasi ulama. Itu banyak tuduhan karena karetnya definisi dan pasal yang digunakan pemerintah," tuturnya.

Sedangkan, terkait dengan label hoaks atau berita bohong yang kerap diklaim pemerintah pun sebenarnya patut dipertanyakan. Menurutnya, label hoaks dari pemerintah pun harus bisa diuji kebenarannya.

"Kalau kemudian [label] hoaks itu adalah ranah [pemilik] kekuasaan berarti kekuasaan yang punya kebenaran, dan itu enggak benar. Kebenaran itu kan punya siapa? Kemudian diujinya bagaimana?"

Lebih jauh, Isnur memaparkan bahwa sikap pemerintah ini dapat mendorong masyarakat untuk saling membenci dan saling tidak menyukai. Justru, menurutnya, kebencian antar masyarakat itu diciptakan oleh pemerintah sendiri.

"Jadi ini [label radikal dan hoaks] jelas berbahaya bagi demokrasi, ini sangat berpotensi kuat melanggar konstitusi, melanggar HAM. Berpotensi kuat menciptakan perpecahan yang semakin dalam di masyarakat dan kemudian berpotensi mengkriminalkan orang-orang terutama yang kritis," pungkas Isnur.

Sebelumnya, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ahmad Nurwakhid menyampaikan salah satu ciri penceramah radikal yang dimaksud Jokowi adalah antipemerintah. Ia menyebut para penceramah itu selalu menyebarkan kebencian terhadap pemerintahan yang sah.

"Dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, hate speech, dan sebaran hoaks," kata Nurwakhid, Sabtu (5/3).

Para pendakwah radikal juga disebut selalu menyebarkan paham khilafah. Mereka pun menanamkan paham antipancasila.

Pernyataan BNPT itu menyambut tuduhan tak berdasar Jokowi yang meminta agar istri aparat TNI-Polri dapat menjaga disiplinnya dengan tidak asal mengundang penceramah agama ke acara-acara tertentu.

Ia meminta agar pemanggilan penceramah itu dikoordinasikan terlebih dahulu untuk meminimalisir penyebaran paham radikal.

"Sekali lagi, di tentara, polisi, enggak bisa seperti itu. Harus dikoordinir oleh kesatuan. Makro dan mikronya harus kita juga. Tahu-tahu undang penceramah radikal, hati-hati," kata Jokowi, Selasa (1/3).

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar