Resmi, Din Syamsuddin hingga Azyumardi Azra Gugat UU IKN ke MK

Senin, 07/03/2022 11:06 WIB
Din Syamsuddin (Bisnis)

Din Syamsuddin (Bisnis)

Jakarta, law-justice.co - Sejumlah tokoh mulai dari mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, hingga mantan Rektor UIN Jakarta, Azyumardi Azra, resmi menggugat UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut pemohon, pembentukan UU itu cacat formil sehingga haruslah dibatalkan.

"Menyatakan pembentukan UU IKN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menyatakan Pasal 1 ayat 2, Pasal 1 ayat 8, Pasal 4, Pasal 5 ayat 4 UU Nomor 3/2022 tentang IKN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," demikian bunyi petitum permohonan Din Syamsuddin dkk yang dilansir website MK, Senin (7/3/2022).

Berikut ini daftar pemohon tersebut:

1. Din Syamsuddin
2. Prof Azyumardi Azra
3. Prof Nurhayati Djamas
4. Prof Didin Damanhuri
5. Jilal Mardhani
6. Mas Achmad Daniri
7. TB Massa Djaafar
8. Abdurrahman Syebubakar
9. Achmad Nur Hidayat
10. Dr Shabriati Aziz
11. Moch Nadjib YN
12. Dr Engkur
13. Dr Mohamad Noer
14. M Hatta Taliwang
15. Reza Indragiri Amriel
16. Mufidah Said Bawazir
17. M Ramli Kamidin
18. Nazaruddin Sjamsuddin
19. Iroh Siti Zahroh
20. Faidal Yuri Bintang
21. Achmed Roy

Din Syamsuddin dkk menilai proses pembentukan UU itu cacat. Salah satunya saat DPR mendengar ahli, ada ahli yang mempersoalkan materi RUU IKN.

"Namun tidak mendapatkan pertimbangan atas pendapat dan hak mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan," bebernya.

Berikut ini pendapat ahli yang diabaikan DPR:

1. Hendricus Andy Simarmata, yang menyatakan RUU tidak menghadirkan blind reviews dalam proses perencanaannya sehingga validitas dokumen rencana induk tidak terverifikasi dengan baik.
2. Dr Asep Sofian yang menyatakan wilayah IKN merupakan wilayah yang kurang mapan dari sisi penyediaan air dan kestabilan lahan.
3. Erasmus Cahyadi, yang menyatakan diperlukan konsultasi dengan masyarakat adat.
4. Fahhil Hasan yang menyatakan rencana pemindahan IKN bukan merupakan prioritas untuk dilaksanakan sekarang ini.
5. Dr Chzali Situmorang yang menyatakan pemerintah dan DPR harus berhitung betul.
6. Prof Satya Arinanto yang menyatakan terkesan adanya semacam disparitas antara substansi naskah akademik dan RUU.
7. Prof Ananda Kusuma yang menyatakan prosedur keliru. Partisipasi dan interest group perlu digalakkan.

"Nyatanya, beberapa pendapat narasumber ahli yang dihadirkan pembentuk UU ditemukan persoalan agar pembentukan UU IKN disusun dengan tidak terburu-buru. Akan tetapi pembentukan UU hanya menggunakan pendapat nara sumber untuk memenuhi kriteria hak untuk didengarkan pendapatnya. Sedangkan kriteria dipenuhinya hak untuk dipertimbangkan pendapatnya dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban tidak mampu dilakukan pembentuk UU," bebernya.

Selain itu, UU IKN tidak memberikan kepastian hukum. Sebab, Kepala Otorita bukan Kepala Daerah, juga bukan Menteri.

"Padahal, di Pasal 1 ayat 8 dan 9 disebutkan pemerintahan daerah khusus IKN adalah pemerintahan daerah yang bersifat khusus yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di IKN," pungkasnya.

Perkara ini sudah teregister di MK dan sedang diproses kepaniteraan.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar