Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS)

Apakah Memindahkan Ibu Kota Negara Sama dengan Tindakan Bunuh Diri!?

Kamis, 03/03/2022 13:00 WIB
Presiden Jokowi akan membangun Istana Negara di dataran paling tinggi di ibu kota baru di Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Presiden Jokowi akan membangun Istana Negara di dataran paling tinggi di ibu kota baru di Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Jakarta, law-justice.co - Pemerintah sudah menetapkan lokasi IKN baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur (Kaltim). Lokasi ini ditetapkan tidak berdasarkan seluruh aspek yang terkait secara komprehensif.

Maka tak heran jika belakangan Penajam disebut berpotensi menghadapi masalah, seperti rawan longsor, krisis air bersih, rawan kebakaran, genangan akibat lubang tambang, serta struktur tanah yang lemah dan berisiko bagi kontruksi dan jaringan jalan. Struktur tanah yang lemah ini akan membuat biaya pembangunan naik signifikan!

Ternyata dari aspek pertahanan keamanan (hankam), Penajam juga menyimpan masalah sangat besar. Posisi IKN tepat di depan hidung jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II. Karena ALKI II adalah jalur internasional, maka setiap menit atau jam kapal yang berasal dari negara manapun akan melintasi perairan laut ALKI II yang sangat dekat ke Penajam.

Padahal, secara geo kultural, setiap ibu kota dalam aspek pertahanan pasti di tempatkan di wilayah terdalam, sulit dijangkau musuh dan dilindungi dengan aneka sarana hankam.

Untuk itu pasti dipersiapkan pula berbagai fasilitas pertahanan guna mempertahankan ibu kota dari serangan musuh. Itu sebabnya mengapa di sekitar Jakarta dibangun berbagai fasilitas pangkalan militer TNI dari berbagai angkatan.

Selain itu, jika terjadi perang atau dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi perang, secara geo kuktural ibu kota harus mempunyai benteng kultural, terutama dari penduduk sekitar.

Tanpa meragukan komitmen masyarakat Kaltim, latar belakang dan asal-usul etnis, serta mudahnya terjadi penyusupan asing/China melalui jalur internasional pada ALKI II, maka militansi perlawanan rakyat di Kaltim diperkirakan tidak akan seoptimal perlawanan rakyat di sekitar Jakarta.

Ternyata IKN juga bermasalah dalam hal potensi serangan musuh dari perbatasan sekitar Kalimantan. Perbatasan Kalimantan dan Serawak secara hankam juga tidak seimbang.

Malaysia mempunyai pasukan penjaga perbatasan setingkat Batalion pada setiap 60 kilometer. Artinya, Malaysia menpunyai dua divisi pasukan darat untuk menjaga perbatasannya lengkap dengan batalion artileri dan kavaleri.

Sedangkan Indonesia perbatasannya dijaga oleh petugas pos perbatasan setingkat pleton dan kompi, tanpa batalion kavaleri berat dan artileri. Karena berbagai pasukan saat ini memang terpusat semua di Jakarta dan Sumatera. Untuk merubah kondisi yang sangat tidak seimbang ini, maka dibutuhkan upaya dan biaya yang besar.

Jalur ALKI II juga sangat rawan menjadi pintu tikus masuk kapal asing, apakah itu kapal selam masuk ke wilayah kita. Apalagi Indonesia saat ini hanya mempunyai empat kapal selam. Tiga kapal selam baru buatan Korea Selatan ternyata juga miss production. Tidak layak tempur. Hal ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan TNI AL.

Kita hanya mempunyai empat kapal KRI anti kapal selam. Itupun harus bergantian wara-wiri keliling Indonesia yang luasnya tujuh juta km persegi. Radar bawah laut kita atau sonar bay, sistem radar antar selat, hanya terpasang 30 persen.

Sedangkan 70 persen lainnya rusak, jebol melompong. Malah menurut analisa inteligen, medan bawah laut kita lebih dikuasai oleh negara luar seperti China, Singapore, Australia dan Amerika.

Dengan kondisi hankam negara yang sangat bermasalah tersebut, Indonesia bisa saja memindahkan IKN berikut sistem hankamnya, termasuk berbagai fasilitas dan pangkalan militer ke Kaltim/Kalimantan. Namun PNKN memperoleh informasi bahwa untuk itu dibutuhkan biaya yang sangat besar, yakni sekitar Rp 1700 triliun.

Seorang geologist mengatakan karena kondisi tanah yang lemah, tidak stabil dan rawan longsor, pasti akan membuat biaya pembangunan IKN membengkak, naik signifikan atau berlipat dua.

Artinya biaya pembangunan IKN akan bisa naik menjadi Rp 900 triliun dari yang semula direncanakan hanya Rp 466 triliun. Padahal biaya ini belum meperhitungkan kebutuhan aspek hankam yang disebutkan di atas.

Kesimpulannya, jika Indonesia ingin tetap menjadi negara berdaulat, memindahkan IKN harus diiringi pula dengan memindahkan dan membangun fasilitas hankam ke Kalimantan. Untuk memindahkan IKN saja, tanpa fasilitas hankam yang Rp 466 triliun itu, pemerintah menyatakan akan melibatkan swasta/asing.

Apalagi jika bicara fasilitas hankam yang nilainya Rp 1700 triliun! Sedangkan fasilitas hankam tidak mungkin dibangun swasta/asing. Lalu dananya mau diambil dari mana? Jelas fasilitas hankam tersebut tak akan terbangun!

Jika pemerintah tetap memaksakan diri memindahkan IKN tanpa membangun fasilitas hankam, maka itu artinya kedaulatan NKRI sedang dipertaruhkan. Pemindahan tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan bunuh diri.

Atau mungkin saja IKN tetap dipaksakan pindah, karena ada sebagian oknum-oknum penentu pemerintahan, yang memang sangat berkeinginan agar lambat-laun NKRI dapat dikuasai dan dicaplok asing/China dengan mudah. Jika hal ini yang menjadi motifnya, maka TNI dan rakyat harus bersikap!

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar