Desmond J.Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Menguak Agenda Sang Dalang Dibalik Kegaduhan yang Terjadi Saat ini

Selasa, 01/03/2022 05:15 WIB
Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (ist)

Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (ist)

Jakarta, law-justice.co - Akhir akhir ini energi bangsa kembali terkuras  oleh munculnya isu isu lama yang mencuat kembali setelah viral di sosial media. Dua kasus yang paling banyak menyita perhatian publik  belakangan ini adalah soal Wayang dan Toa Masjid yang dipopulerkan oleh Ustad Khalid Basalamah dan Menteri Agama.

Seperti biasa, munculnya kasus tersebut pada akhirnya menimbulkan pro dan kontra di masyarakat kita. Ada yang mendukung dan ada pula yang menolaknya. Masyarakat menjadi terbelah karena dua pandangan yang berbeda.  Pada hal kalau ditelusuri kebelakang, munculnya kasus seperti itu sudah berlangsung lama tapi kemudian muncul kembali menjadi polemik di masyarakat kita.

Benarkah kasus “sepele” semacam Wayang dan Toa itu sebenarnya kasus lama yang coba di ungkit kembali untuk menimbulkan kegaduhan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ?. Apakah kegaduhan seperti ini sengaja diciptakan untuk menutupi persoalan bangsa yang sebenarnya ?. Kalau memang benar demikian halnya, siapa kira kira dalangnya ?

Kasus Lama

Belum lama ini viral potongan ceramah Ustaz Khalid Basalamah yang menganggap wayang haram dan lebih baik dimusnahkan saja. Akibat pernyataannya itu, sang ustadz kemudian dilaporkan ke pihak yang berwajib karena dianggap menista wayang yang merupakan khasanah kekayaan budaya bangsa.

Belakangan sang ustaz meminta maaf dan menyatakan bahwa ceramahnya tidak bermaksud melecehkan wayang sebagaimana yang dituduhkan kepadanya. Meski Ustaz Khalid Basalamah sudah minta maaf dan klarifikasi atas isi ceramahnya, namun hal ini terus memunculkan hujatan yang ditujukan kepadanya. Bahkan oleh seorang dalang, Ustaz Khalid dijadikan karakter dalam sebuah pagelaran wayang kulit di Pondok Pesantren (Ponpes) Ora Aji di Sleman, Yogyakarta.

Dipondok Pesantren milik Gus Miftah tersebut,  Ustaz Khalid Basalamah dijadikan Wayang dan dipukuli Prabu Baladewa. Ungkapan ungkapan kasar muncul dari sang dalang ketika melakukan aksi memukuli wayang mirip Ustadz Basalamah yang dimainkannya.

Persoalan ini memang menjadi tambah ramai setelah Gus Miftah  merespons video ceramah Ustaz Khalid Basalamah yang viral karena menyinggung permainan wayang dan mengharamkannya.Lewat video yang diunggah di akun Instagram @gusmiftah, ia malah mengajak pengikutnya di media sosial untuk menyelenggarakan tontonan wayang. “Katanya ada yang menganggap wayang haram dan minta wayang dimusnahkan, nanggap wayang yuk,” tulisnya

Tetapi siapa sangka kalau sebenarnya video ceramah Ustadz Khalid Basalamah tentang wayang itu sebenarnya video lama yang  diangkat kembali sehingga memunculkan pro dan kontra.

Dalam video tersebut, sang ustaz menjawab salah satu pertanyaan dari pendengar ceramahnya. Pertanyaan tersebut menyinggung soal hukum dari tradisi wayang yang masih digandrungi sebagian masyarakat Jawa.

Sang ustaz, dalam video, juga menyebut wayang yang menjadi peninggalan nenek moyang diperbolehkan untuk dikenang. Namun, Khalid Basalamah menjelaskan bahwa Islam melarang permainan wayang dan sebaiknya dimusnahkan saja.“Kalau itu peninggalan nenek moyang dulu, mungkin kita bisa kenang dahulu, oh ini tradisi dulu seperti ini, tetapi tidak harus dilakukan, sementara di Islam dilarang, kita sudah muslim, harusnya kita tinggalkan,” imbuhnya.

Berdasarkan penelusuran Solopos.com di Youtube, video berdurasi 2 menit 23 detik itu diunggah di akun Youtube Afdal Mishary berjudul Hukum Wayang – Ustadz Khalid Basalamah, empat tahun silam yang kemudian dimunculkan kembali, entah apa maksud dan tujuannya.

Selain soal wayang, kasus yang lagi viral lainnya adalah soal penggunaan Toa di masjid dan musholla.  Seperti diketahui, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan edaran yang mengatur penggunaan pengeras suara di masjid dan mushala. Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.

Menurut Menag, penggunaan pengeras suara di masjid dan mushala merupakan kebutuhan bagi umat Islam sebagai salah satu media syiar Islam di tengah masyarakat Indonesia. Namun, di sisi lain masyarakat Indonesia juga beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang, dan lainnya. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk merawat persaudaraan dan harmoni sosial diantara elemen bangsa.

“Pedoman diterbitkan sebagai upaya meningkatkan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga masyarakat,” ujar Yaqut seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Senin (21/2/2022).

Yang kemudian menjadi heboh adalah pernyataan dari Menag yang mengatur volume Toa dan dugaan dari pernyataannya yang menyamakan suara Adzan dengan suara binatang (maaf: anjing) sehingga dinilai tidak pada tempatnya sehingga dianggap menghina agama. Bahkan karena penyataannya ini Menag dilaporkan oleh Roy Suryo ke pihak berwajib karena dianggap menghina agama. Tidak hanya itu, tuntutan agar Menag mundur dari jabatannya juga menggema dimana mana.

Soal penggunaan Toa di Masjid dan Musholla ini sebenarnya merupakan kasus lama bahkan sudah ada sejak jaman orde baru (orba). Kementerian Agama Republik Indonesia  pernah mengeluarkan “Surat Edaran” untuk melakukan sosialisasi dari Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 yaitu dizaman Orba.

Aturan penggunaan pengeras suara atau toa masjid, antara lain : pengeras suara luar digunakan untuk adzan dan penanda waktu salat, sementara suara  dalam digunakan untuk ceramah dan doa. Aturan yang tertera dalam instruksi  ini dinilai sudah jelas dan mengatur waktu penggunaan pengeras suara. Kementerian Agama berharap penyebaran aturan tersebut dapat membuat masyarakat mengetahui dan memahami isi dari instruksi tentang penggunaannya di masjid dan musholla.

Aturan penggunaan pengeras suara yang sudah lama ada itu kemudian  dizaman pemerintah yang sekarang berkuasa ditingkatkan status hukumnya menjadi keputusan Menteri Agama sehingga lebih tinggi dari sebelumnya yang hanya keputusan Dirjend saja.

Tetapi yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa aturan Toa itu seolah olah menjadi prioritas untuk diangkat kembali seolah olah sangat urgen untuk di tata ulang pengaturannya bahkan ditambah dengan pernyataan yang mengait ngaitkan suara azan dengan suara binatang segala ?. Apa maksud dan tujuannya ? Apakah memang ingin memuculkan kegaduhan untuk menutupi  belantara masalah  yang sekarang mendera bangsa Indonesia ?

Agenda Sang Dalang

Munculnya kembali kasus kasus lama sehingga menjadi viral yang menyebabkan terbelahnya opini anak anak bangsa tersebut telah mendatangkan rasa curiga, jangan jangan kasus kasus itu memang sengaja dimunculkan untuk melupakan permasalahan bangsa yang sebenarnya sehingga agenda sang dalang bisa berjalan sesuai skenario yang dimainkannya.

Pada hal kalau kita mau jujur saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami aneka ragam masalah yang bisa mencegah pencapaian tujuan kita dalam berbangsa dan bernegara sebagaimana amanat pembukaan Undang Undang Dasar 1945.

Untuk sekadar mengingatkan kembali saat ini ditengah pandemi virus corona, bangsa Indonesia tengah dihadapkan pada masalah masalah krusial seperti :

  1. Maraknya Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Diakui atau tidak saat ini yang namanya KKN  nampak semakin massif merata. KKN  semakin mengakar dan sudah menjelma jadi sifat, karakter, perilaku dan budaya bangsa Indonesia, yang konsisten diturunkan dari generasi pendahulu ke generasi berikutnya.

Diera reformasi pasca kejatuhan Orba selama lebih dari 20 tahun ini di lingkaran dalam Presiden RI dan Wakil Presiden RI serta para Menterinya, para elite pemimpin di Indonesia gagal total terkait pemberantasan KKN, karena dengan atau tanpa sadar telah terlibat dan ikut terus menyuburkan KKN dilingkungannya.

Diperiode kedua pemerintah yang sekarang berkuasa, KKN nampak semakin menggila mulai dari tingkat pemimpin tertinggi Presiden RI hingga para Kepala Daerah di seluruh Indonesia. Pada periode pertama mereka menjalankan amanah dengan sangat hati-hati dan berusaha mengambil hati dan simpati rakyat dengan dukungan operasi pencitraan yang masif, supaya lebih mudah untuk terpilih kembali pada periode keduanya.

Kemudian, begitu dimulai periode kedua, mereka dengan agresif dan masif melakukan segala cara untuk kaya raya dan mengeruk harta kekayaan sebanyak-banyaknya, “aji mumpung” karena kesempatan terakhir menjabat, bisa mengeksploitasi dan menyalahgunakan kekuasaan dan jabatannya untuk kepentingan dirinya, keluarganya dan para kroninya.Yang sangat memprihatinkan selama 2 (dua) periode Presiden Jokowi; korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sangat masif, diturunkan hingga ke desa-desa dengan adanya transfer dana desa

Maka lengkaplah sudah sifat, perilaku, karakter dan budaya korupsi di Indonesia, terjadi mulai dari pemerintah pusat hingga ke pemerintah daerah di seluruh Indonesia, kemudian turun sampai ke desa-desa di seluruh pelosok Nusantara.

  1. Keadilan Semakin Langka

Semakin nampak praktik hukum dan keadilan yang diperdagangkan dan diperjualbelikan, sehingga tidak ada kepastian hukum di Indonesia. Penegakan hukum di Indonesia semakin menuju titik nadir, pada fase yang sangat berbahaya bagi masa depan Indonesia.

Sudah menjadi rahasia umum, pada semua tingkatan mulai dari proses penyidikan, penuntutan, hingga vonis oleh hakim, yang terjadi di negara Kita adalah hukum dan keadilan memihak kepada siapa. Nyaris tidak ada perubahan apapun di Indonesia paska reformasi, yang terjadi malah semakin dalam terperosok, bahkan dapat diklasifikasikan Indonesia sudah termasuk dalam kelompok “failed state” (negara gagal), dari segi ketidakpastian hukum serta tidak adanya keadilan yang dirasakan oleh anak anak bangsa.

Jika penegakan hukum di Indonesia “tetap tumpul ke atas dan tajam ke bawah”, serta keadilan dan kebenaran hanya berpihak kepada “siapa yang mampu membayar yang terbesar”, serta kekuatan uang suap bisa mengubah “yang salah jadi benar, yang benar jadi salah”, maka sangat mungkin Indonesia menjadi negara gagal sehingga tidak akan tercapai tujuan pendirian negara.

  1. Ledakan Utang Yang Makin Menggila

Percepatan dan ledakan utang NKRI sangat masif dan luar biasa. Sesungguhnya sangat mudah dibuat simulasi sederhana terkait ledakan utang yang sangat dahsyat selama 2 periode pemerintahan yang sekarang berkuasa.

Dapat dibandingkan kurva grafik percepatan dan pertumbuhan utang NKRI bersama kurva grafik proyeksi pertumbuhan ekonomi serta kurva grafik proyeksi penerimaan atau pendapatan negara dari sektor pajak dan non pajak, yang bisa digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk membayar bunga dan pokok utangnya.

Dari simulasi tersebut akan bisa disimpulkan bahwa Pemerintah RI, sangat potensial akan tertinggal dan tidak akan mampu membayar bunga dan pokok utang yang luar biasa dahsyat selama 2 periode pemerintahan yang sekarang berkuasa. Jika mau lebih akurat memprediksi dan menggambarkannya dengan memasukan berbagai variabel determinan, maka bisa dibuat secara komprehensif dan holistik simulasinya dengan berbasis pada “artificial intelligent (AI)”.

Para pengamat menyatakan diakhir pemerintahan nanti utang Indonesia bisa mencapai 10.000 triliun, yang akan sangat memberatkan bagi pemerintah yang berkuasa sesudahnya. Termasuk akan membebani anak cucu kita nantinya.

  1. Tiga Periode

Ada keinginan dari beberapa pihak untuk memperpanjang periode masa jabatan presiden Jokowi menjadi tiga periode dinilai justru malah bisa mempercepat kejatuhannya. Penambahan periode masa jabatan presiden melalui amandemen Undang Undang Dasar 1945 berpotensi malah membuat presiden Jokowi sampai akhir masa jabatannya.

Adalah Direktur Gerakan Perubahan Muslim Arbi, menilai  menilai bahwa fenomena tersebut akan membuat Presiden Jokowi jatuh di tengah jalan alias ambruk sebelum berakhir masa jabatannya.“Watak dan karakter kekuasaan yang ingin berlama-lama itu pasti timbulkan kemarahan rakyat,” tegasnya, seperti dilansir Pojoksatu.id, Senin (30/8/2021).

Menurutnya, dengan memperpanjang kekuasaan melalui amandemen UUD 1945 sangat tidak menguntungkan rakyat akan jadi boomerang baginya.“Rakyat anggap amandemen tidak penting. Ini hanya siasat untuk perpanjang kekuasaan tanpa pemilu. Dan ini berbahaya. Bisa jadi setelah amandemen UUD 45 dan perpanjang kekuasaan, Jokowi malah jatuh,” kata Muslim dalam pernyataannya.

Lebih lanjut, ia mengatakan dengan maraknya suara-suara yang menginginkan Jokowi mundur maka Jokowi sendiri harus berkaca dari peristiwa Presiden kedua RI Soeharto yang jatuh usai diperpanjang masa  jabatannya.“Sama seperti Pak Harto. Setelah lama berkuasa dan menang Pemilu 1997. Setahun setelah itu 1998, Pak Harto malah jatuh,” pungkasnya.

  1. Kebijakan Yang Tak Pro Rakyat

Rata-rata seorang presiden bisa  jatuh karena kebijakan-kebijakannya yang tidak sesuai dengan harapan rakyatnya kemudian menimbulkan krisis kepercayaan sehingga kehilangan kursinya. Apalagi ditengah badai corona, banyak amunisi bisa diledakkan untuk menggerogoti kewibaaan pemerintah yang mengarah pada upaya pemakzulannya.

Kebijakan pemerintah yang akhir akhir ini cukup membuat rakyat sengsara antara lain kenaikan harga harga sembako khususnya minyak goreng, pencabutan subsidi pupuk bagi petani, pengenaan pajak bagi orang kecil sambil memanjakan pengemplang pajak yang merugikan negara, impor barang barang pangan dari mancanegara dan sebagainya.

Sebelumnya juga muncul kebijakan yang tidak pro rakyat seperti keputusan Presiden untuk menaikkan iuran BPJS pada hal keputusan ini melanggar hukum karena MA telah membatalkannya tapi orang-orang dekat istana yang ahli hukum seperti Mahfud MD atau Yasonna Laoly terkesan membiarkannya.

Sementara itu ditengah pandemi virus corona masih saja ada menteri yang ngotot mendatangkan TKA asing asal China padahal masalah ini sangat sensitif karena anak anak bangsa banyak yang kehilangan lapangan kerja.

Terakhir kebijakan pemerintah untuk memindahkan ibukota negara ditengah kondisi keuangan negara yang sangat memprihatinkan telah membuat terbelahnya opini anak anak bangsa. Ancaman perpecahan begitu menganga karena adanya kebijakan yang terkesan grusa grusu tidak melalui perencanaan yang matang sehingga diragukan keberhasilannya.

Belum lagi masalah sembako yang terus meningkat harganya dan langka khususnya minyak goreng, kedelai dan gula. Rakyat menuntut penurunan harga harga tapi justru Toa yang disuruh menurunkan volumenya. Sebuah fenomena yang bisa membuat rakyat mengelus dada.

Kebijakan-kebijakan yang tidak popular di mata rakyat tersebut tentu sangat berpengaruh pada kewibawaan pemerintah yang sekarang berkuasa.Kalau kebijakan kebijakan yang tidak pro rakyat ini terus digulirkan bukan tidak mungkin akan memunculkan ketidakpercayaan rakyat sehingga mereka berpotensi melawan kebijakan penguasa. Kalau ini terjadi bukan tidak mungkin akan terjadi tsunami Gerakan yang bisa berujung pada kehilangan kursi kekuasaannya.

  1. Pengurasan Sumber Daya Alam (SDA)

Kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah saat ini belum bisa dinikmati secara adil dan merata oleh seluruh warga bangsa. Paling tidak hal ini bisa dilihat dari kecilnya pendapatan yang diperoleh negara dari sektor minerba.

Pada hal segelintir warga negara Indonesia sudah berhasil menjadi orang yang kaya raya berkat usahanya di bidang batubara. Tetapi uang yang masuk ke kas negara tidak sebesar yang masuk ke kantong penguasa dan pengusaha.

Akibat korupsi di sektor pengelolaan SDA termasuk pendapatan Negara dari sektor ini kurang dari 300 triliun per tahunnya, jumlah yang sangat kecil sekali tentunya. Pada hal potensi pendapatan Negara dari sektor SDA sebenarnya sangat luar biasa.

Sebagai gambaran, dalam kesempatan berpidato di Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDI Perjuangan di Hotel Ecopark Jakarta tahun 2013 lalu, Mantan Ketua KPK Abraham Samad pernah mengatakan bahwa potensi pendapatan negara bisa mencapai Rp 7.200 triliun setiap tahunnya. Bahkan bila ditotal, kata Samad, pajak dan royalti yang dibayarkan dari blok migas, batubara, dan nikel pada setiap tahunnya dapat mencapai Rp 20.000 triliun.  “Dengan jumlah sebesar ini bila dibagi ke seluruh rakyat, maka pendapatan rakyat Indonesia per bulan bisa mencapai Rp 20 juta," ujarnya.

Tetapi kekayaan SDA yang melimpah termasuk dari sektor batubara itu rupanya belum membawa berkah bagi segenap rakyat Indonesia karena  belum dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia. Padahal Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa ‘bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’nya. Tetapi mengapa cita cita kesejahteraan rakyat melalui optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam ini belum bisa diwujudkan sebagaimana mestinya ?.

Kisah Karung Tikus dan Semut

Dari beragam permasalahan bangsa sebagaimana dikemukakan diatas menjadi lucu kiranya ketika energi bangsa ini kemudian harus habis untuk melayani pro kontra soal yang “ecek ecek” seperti soal wayang dan Toa. Pada hal kasus kasus tesebut sebenarnya adalah kasus lama yang mencoba di daur ulang kembali untuk dibuat viral agar menjadi bahan diskusi nasional yang bisa jadi dimaksudkan untuk meninabobokkan rakyat dari persoalan bangsa yang sebenarnya.

Bisa jadi munculnya kasus kasus lama yang kemudian menjadi viral tersebut memang sengaja di desain untuk mengalihkan perhatian rakyat dari agenda para dalang untuk mengeruk keuntungan sebesar besar dari kegaduhan kegaduhan yang diciptakannya.

Kondisi tersebut mengingatkan saya pada sebuah cerita tentang seorang petani dan karung tikusnya.Ada sebuah cerita menarik tentang seorang petani dan tikus, cerita ini saya sendiri tidak jelas sumbernya dari mana. Namun ada pelajaran penting yang bisa diambil dari kisah ini untuk kebaikan perjalanan bangsa kita. Bagaimana kisahnya?

Pernah baca satu cerita tentang seorang petani yang membawa tikus dalam karungnya ?. Tikus itu dia simpan di dalam karung dan dibawanya pakai kendaraan umum karena akan ditukar dengan hadiah di kota. Kebetulan sedang ada sayembara untuk menukarkan tikus yang dianggap hama tersebut dengan hadiah dari seorang walikota.

Petani itu membawa tikus yang diwadahi karung tersebut naik kendaraan umum untuk mencapai tujuannya yaitu di kota guna menemui sang walikota.Dalam perjalanan membawa tikus yang di simpan di karungnya, petani itu setiap lima menit sekali sengaja menendang nendang tikus dalam karung sampai mereka terdengar ribut berisik satu sama lainnya.

Kebiasaan ini ternyata membuat seseorang disebelah petani keheranan dan memberanikan diri untuk bertanya : mengapa setiap lima menit sekali sampean menendang nendang karung yang sampean bawa  ?.

Dengan seringainya petani itu menjelaskan bahwa dia sengaja menendang tikus dalam karungnya setiap lima menit sekali agar tikus tikus itu tidak menyadari kalau mereka sebenarnya punya gigi yang kuat untuk menggigit karung dan melubanginya agar bisa bebas keluar dari sana. Tendangan petani sengaja dibuat agar tikus  tikus itu ribut sendiri diantara mereka, supaya lupa akan potensi dirinya dan tetap agar ada dalam kontrol petani sebelum diserahkan untuk ditukar jadi hadiah di kota nantinya.

Kalau seandainya petani itu diibaratkan sebagai sang dalang sementara tikus tikus dalam karung itu diibaratkan sebagai rakyat jelata maka sang dalang yang sekarang sedang menjalankan agendanya barangkali memang sengaja membuat kegaduhan demi kegaduhan agar rakyat melupakan poteni dirinya yang bisa bangkit melawan ketidakadilan yang dirasakannya.  Rakyat dibikin gaduh oleh sang dalang agar tidak banyak menuntut hak haknya melainkan harus menerima apa adanya agar agenda sang dalang tetap berjalan sebagaimana skenario yang dibangunnya.

Mirip dengan cerita Petani dan Tikus dalam Karung adalah cerita tentang Semut Gurun Sahara.Jika kita pergi ke wilayah gurun dan menangkap 100 ekor semut merah dan 100 ekor semut hitam besar dan menaruhnya di dalam mangkuk, maka mereka akan baik-baik saja.

Namun jika mangkuknya digoyang-goyang dengan cukup kuat, lalu semutnya diletakkan kembali ke tanah maka semut-semut tadi mulai saling menyerang dan bahkan mereka sampai saling membunuh satu sama lainnya.

Semut merah mengira bahwa semut hitam ini adalah musuh mereka dan sebaliknya semut hitam juga mengira semut merah ini adalah musuh mereka. Padahal dalam kenyataannya musuh mereka yang sesungguhnya adalah orang yang menggoyang-goyang mangkoknya.

Si penggoyang mangkuk semut tersebut  telah memprovokasi mereka untuk saling membenci, memusuhi bahkan saling menyerang dan membunuh satu sama lainnya. Kalau penggoyang mangkok semut itu adalah para dalang sementara si semut adalah rakyat Indonesia maka penggoyang mangkok Inilah aktor intelektual  atau dalang dibalik pertengkaran dan permusuhan sesama anak bangsa.

Fenomena inilah yang saat ini dialami oleh bangsa bangsa  yang negerinya hancur karena adu domba sehingga terjadi perpecahan diantara mereka. Anak anak bangsa itu kemudian tidak merasakan pencapaian tujuan negaranya karena asetnya telah dikuasai oleh dalangnya tanpa mampu mencegahnya karena sudah sibuk dengan sesamanya.

Jadi sebenarnya yang harus dipikirkan dan dipertanyakan adalah siapa yang telah mengaduk-aduk kita supaya saling hujat, saling bermusuhan hingga saling membunuh dengan berbagai alasan dan berbagai isu yang ada ?. Mulai dari isu SARA, golongan, dan isu-isu lainnya yang tujuannya satu hanya untuk membuatmu saling membenci, bermusuhan, bertengkar dan kalau bisa saling membunuh satu sama lainnya ?.

Kisah petani dengan karung tikusnya dan mangkok dengan semutnya seperti cerita yang disampaikan diatas barangkali bisa menjadi renungan kita bersama untuk menduga duga siapa sebenarnya yang menjadi dalang kegaduhan yang terjadi di negara kita. Jangan sampai hanya karena persoalan wayang dan Toa menjadikan kita terpecah belah karena pro dan kontra.

Mari kita gunakanlah akal sehat karena kita bukan tikus atau semut yang mudah dipermainkan oleh mereka. Jangan mau diadu seperti tikus atau semut karena kita adalah rakyat pemegang kedaulatan yang sesungguhnya.

Makanya jika ada orang atau pihak pihak yang mempengaruhi atau mengajak  untuk saling bermusuhan antara anak anak bangsa waspadalah jangan-jangan dia bagian dari orang-orang pemegang karung tikus atau mangkuk semut untuk mengkondisikan agar agenda sang dalang  tetap berjalan seperti yang di inginkannya.

Makanya tetap fokuslah  pada upaya untuk penuntasan permasalahan bangsa yang sebenarnya bukan masalah “ecek ecek” yang sesungguhnya  tidak terlalu urgen untuk di viralkan yang kemudian justru menguras energi bangsa. Selain itu harus tetap waspada terhadap dalang dalang yang selama ini berkeliaran menjalankan agenda agenda terselubungnya. Tetapi siapakah sebenarnya  mereka ?

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar