Bacakan Pleidoi, Kuasa Hukum Polisi Salahkan HRS dan FPI di Kasus Km50

Jum'at, 25/02/2022 18:47 WIB
Tim kuasa hukum anggota Polda Metro Jaya dalam kasus penembakan laskar FPI di Km 50 tol Cikampek, Henry Yosodiningrat. (Foto: Detik.com)

Tim kuasa hukum anggota Polda Metro Jaya dalam kasus penembakan laskar FPI di Km 50 tol Cikampek, Henry Yosodiningrat. (Foto: Detik.com)

Jakarta, law-justice.co - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali menggelar sidang lanjutan kasus penembakan laskar FPI di Km 50 Tol Cikampek pada Jumat (25/2/2022). Dalam sidang dengan agenda pembacaan pleidoi atau nota pembelaan itu, tim kuasa hukum terdakwa Ipda M Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan menyalahkan Habib Rizieq Shihab hingga Laskar FPI menjadi penyebab kasus tersebut terjadi.


Hal itu disampaikan kuasa hukum kedua terdakwa, Henry Yosodoningrat. Henry awalnya menyebut kasus Km 50 tidak akan terjadi bila Habib Rizieq kooperatif menjalani pemeriksaan sebagai saksi di Polda Metro Jaya.

"Tentunya semua pihak sangat menyesali adanya peristiwa ini, kalau saja saudara Moh Rizieq Shihab alias Habib Rizieq bersifat kooperatif dalam rangka memenuhi panggilan dari penyidik Polda Metro Jaya sebagai saksi atas kasus protokol kesehatan dan tidak memprovokasi pengikutnya untuk mengepung dan memutihkan Polda Metro Jaya dengan melakukan tindakan anarkis," kata Henry.

Henry juga menyebut penembakan tidak akan terjadi jika anggota laskar FPI tidak mencekik dan merebut senjata milik terdakwa. Dia meyakini jika tidak ada pemicu, maka kejadian Km 50 tidak akan terjadi.

"Kalau saja anggota laskar FPI tidak mencekik dan tidak memukul serta tidak merebut senjata milik terdakwa Briptu Fikri Ramadhan, maka dapat dipastikan bahwa peristiwa ini tidak terjadi," ujarnya.

Henry kemudian menyinggung asal muasal laskar FPI dalam pleidoi kliennya itu. Dia menyebut laskar FPI adalah pasukan khusus dari ormas bernama Front Pembela Islam (FPI).

"Sebagaimana kita ketahui, bahwa laskar FPI adalah merupakan pasukan khusus dari ormas yang menamakan dirinya sebagai Front Pembela Islam (FPI)," kata Henry.

Henry menyebut FPI sebagai ormas terafiliasi teroris. Dia mengatakan `wajah` ISIS tercermin dalam perilaku FPI.

"Sebagaimana kita ketahui bahwa FPI adalah sebuah ormas yang terafiliasi dengan organisasi teroris yang didirikan di Baghdad dan dikenal juga sebagai Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), yang sangat dikenal telah melancarkan serangan teroris yang brutal, kejam dan mengerikan di berbagai negara," ujar Henry.

"Wajah ISIS tercermin dalam perilaku FPI selama ini, yaitu membawa isu agama yang rentan dan sensitif serta bertentangan dengan ideologi Pancasila seperti seruan-seruan untuk berperang, seruan-seruan untuk memberontak, seruan-seruan untuk menurunkan presiden, seruan-seruan yang membuat kebisingan, seruan yang menimbulkan keresahan dan ketakutan masyarakat, serta tindakan-tindakan yang memaksakan kehendak dan `main hakim sendiri` yang telah terjadi dimana mana," sambungnya.

Henry menyebut pemerintah telah menyatakan FPI sebagai ormas terlarang. Hal itu, kata Henry, sesuai dengan Surat Keputusan Bersama antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme tanggal 30 Desember 2020.

"Oleh karena itulah, maka berdasarkan Surat Keputusan Bersama antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme tanggal 30 Desember 2020, pemerintah telah menyatakan FPI sebagai ormas terlarang," ujarnya.

Diketahui, Ipda M Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan dituntut 6 tahun penjara terkait perkara ini. Jaksa meyakini keduanya bersalah melakukan pembunuhan dan penganiayaan yang menyebabkan kematian dalam kasus Km 50.

"Menuntut agar majlis PN Jakarta Selatan yang memeriksa mengadili perkara menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana merampas nyawa orang bersama-sama," kata jaksa yang hadir secara virtual yang disiarkan di layar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Selasa (22/2).

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 6 tahun dengan perintah terdakwa segera ditahan," imbuhnya.

Adapun hal yang memberatkan terhadap Ipda M Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan ialah terdakwa telah menghilangkan nyawa seseorang dan tidak proporsionalitas. Sedangkan hal yang meringankannya adalah kedua terdakwa belum pernah melakukan perbuatan tercela.

Ipda M Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan diyakini jaksa melanggar Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 351 ayat (3) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar