Anak Pindah Agama Apakah Tetap Berhak Dapat Warisan? ini Aturannya

Jum'at, 04/03/2022 16:30 WIB
Ilustrasi Warisan (Net)

Ilustrasi Warisan (Net)

Jakarta, law-justice.co - Menyangkut harta dan biasanya melibatkan banyak pihak, proses pembagian warisan memang tidak sederhana dan harus dilakukan secara saksama. Maka, pastikan Anda memahami berbagai istilah yang digunakan dalam tata cara pembagian warisan, seperti arti warisan, pewaris, waris, dan sebagainya.

Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menjamin kebebasan bagi warga negara Indonesia untuk bebas memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. Kebebasan untuk memeluk agama juga tidak dapat dibatasi oleh darah daging atau hubungan perkawinan. Contohnya setiap anak diberikan kebebasan untuk memeluk agama yang diyakini walaupun berbeda dengan kedua orang tuanya. Atau contoh lainnya suami atau istri yang berpindah agama saat perkawinan.

Jika demikian apakah perpindahan agama tersebut berdampak pada proses pemberian waris? Apakah orang tersebut masih berhak menjadi ahli waris? Adakah persyaratan yang harus dipenuhi?

Untuk mengetahuinya yuk simak penjelasan berikut.

Hukum waris adalah hukum yang mengatur peralihan harta orang yang meninggal kepada yang ditinggalkan berbentuk hak dan kewajiban. Di Indonesia, hukum yang berlaku untuk waris terbagi menjadi 3 sistem yang berbeda, yaitu hukum waris barat, hukum waris islam, dan hukum waris adat. Setiap orang bebas untuk memilih sistem mana yang ingin digunakan untuk mengatur peralihan harta tersebut termasuk pembagiannya.

Hukum Perdata Barat Dalam hukum perdata barat, seseorang dapat menjadi ahli waris karena kedudukannya sendiri seperti keluarga sedarah, karena menjadi pengganti, atau karena adanya surat wasiat dari pewaris. Surat wasiat atau testamen adalah suatu akta yang berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dia mau akan terjadi setelah orang tersebut meninggal. Siapapun bisa membuat dan mencabut suatu surat wasiat dengan ketentuan orang tersebut harus memiliki akal yang sehat. Namun, pewaris harus mengindahkan adanya ketentuan Legitieme Portie.

Legitieme Portie adalah suatu bagian warisan tertentu yang harus diterima seorang ahli waris dari harta peninggalan yang tidak dapat diganggu gugat. Dalam Legitieme Portie tidak semua ahli waris berhak menerima atau dengan kata lain terdapat prioritas atau penutupan terhadap ahli warus lainnya, misalnya ketika pewaris meninggalkan anak dan cucu sebagai golongan pertama maka kedua orangtua pewaris sebagai golongan kedua tidak berhak atas suatu Legitieme Portie.

Seorang yang berhak atas Legitieme Portie berhak meminta pembatalan terhadap testamen yang melanggar haknya tersebut. Jadi, dapat dikatakan Legitieme Portie merupakan pembatasan terhadap hak si pewaris dalam membuat testamen/wasiat.

Hal ini juga yang membuat Legitieme Portie dimasukan kedalam bagian tentang hak mewaris menurut wasiat. Selain itu, perlu diingat bahwa ketika membuat suatu wasiat terdapat larangan lain sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, diantaranya : Dilarang mengangkat waris atau hibah wasiat lompat tangan. Hal ini disebut juga Fidei-Commis dimana seorang diwasiatkan menyimpan suatu barang warisan atau hibah untuk kemudian diserahkan kepada pihak ketiga; Dilarang memberi wasiat kepada suami/istri pada perkawinan kedua yang dinikahi tanpa izin.

Tidak boleh memberikan wasiat kepada istri kedua melebihi bagian yang seharusnya diterima, yaitu ¼ dari harta peninggalan si pewaris. Dilarang membuat suatu ketetapan hibah wasiat yang jumlahnya melebihi hak pewaris dalam harta bersama.

Dilarang menghibah dan mewasiatkan untuk keuntungan walinya, guru, imam, dokter, ahli penyembuhan, dan orang lain yang merawat pewaris selama ia sakit hingga menyebabkan ia meninggal termasuk kepada notaris yang membuat testamen pewaris. Dilarang memberikan wasiat kepada anak luar kawin melebihi bagiannya, yaitu 1/3 dari harta yang harus didapatkan jika ia anak sah. Dilarang memberikan wasiat kepada teman berzina si pewaris.

Dilarang memberikan hibah atau wasiat kepada orang yang dihukum karena membunuh pewaris, menggelapkan, memusnakan, atau memalsukan surat wasiat pewaris, meengancam dengan paksaan atau kekerasan menghalangi pewaris mencabut atau mengubah surat wasiatnya. Jadi, dalam hukum perdata barat pewaris memiliki kebebasan untuk membuat wasiat atas dirinya sendiri.

Selain itu, tidak ada larangan mengenai pemberian waris melalui wasiat kepada orang yang berbeda agama sehingga ahli waris yang telah pindah agama tetap berhak mewaris.

Namun, pewaris harus mengingat adanya ketentuan Legitieme Portie serta pembatasan yang diatur dalam KUHPerdata. Hukum Islam Lalu, bagaimana jika seseorang menjadi ahli waris berdasarkan wasiat yang dibuat dengan hukum islam? Hukum Waris Islam di Indonesia saat ini diatur dalam Kompilasi Hukum Indonesia / KHI.

Wasiat menurut KHI adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Setiap orang dapat membuat wasiat atas harta miliknya namun ia harus berumur minimal 21 tahun dan memiliki akal yang sehat ketika membuat wasiat. Siapapun berhak menjadi seorang ahli waris melalui wasiat.

Namun, terdapat pengecualian dalam Pasal 172 KHI yang menyebutkan bahwa seorang ahli waris harus beragama islam yang dibuktikan dengan kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya. Dalam KHI, pemberian wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan.

Poin penting lainnya yang pewaris harus ingat ialah wasiat tidak boleh diberikan kepada orang yang merawat atau yang memberi tuntunan rohani sewaktu pewaris sakit hingga meninggal, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas bahwa wasiat tersebut untuk membalas jasa yang sudah diberikan.

Wasiat juga akan batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan Hakim dihukum karena:

  • dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat kepada pewasiat;
  • dipersalahkan secara memfitrnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan sesuatu kejahatan yang diancam hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat;
  • dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat;
  • dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dan pewasiat.

Jadi, dalam Hukum Waris Islam, pewaris dapat membuat wasiat untuk siapapun. Wasiat tersebut dapat dilakukan secara lisan maupun melalui notaris. Tetapi, dalam KHI terdapat ketentuan khusus dimana seseorang yang menjadi ahli waris berdasarkan wasiat harus beragama Islam sehingga seseorang yang telah pindah agama menjadi non Islam tidak berhak lagi untuk menjadi ahli waris.

Hukum Kewarisan menurut Hukum Islam sebagai salah satu bagian dari hukum kekeluargaan (Al ahwalus Syahsiyah) sangat penting dipelajari agar supaya dalam
pelaksanaan pembagian harta warisan tidak terjadi kesalahan dan dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya, sebab dengan mempelajari hukum kewarisan Islam maka bagi umat Islam, akan dapat menunaikan hak-hak yang berkenaan dengan harta warisan setelah ditinggalkan oleh muwarris (pewaris) dan disampaikan kepada ahli waris yangberhak untuk menerimanya.

Dalam pasal 171 KHI, ada beberapa ketentuan mengenai kewarisan ini, yaitu hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan
harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

 

Ahli Waris Pindah Agama

Dalam hal menjadi ahli waris dari orangtuanya, kita harus melihat terlebih dahulu ketentuan ahli waris berdasarkan Hukum Islam. Berdasarkan Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam, yang berhak menjadi ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan di atas, perempuan tersebut tidak berhak mendapatkan warisan dari orangtuanya. Akan tetapi sebagaimana pernah juga dijelaskan dalam artikel yang berjudul Bagaimana Hak Waris Anak Tunggal yang Pindah Agama?, Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan Putusan No. 368.K/AG/1995, tanggal 16 Juli 1998 yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan telah menjadi yurisprudensi mengenai harta warisan pewaris Islam bagi anak muslim dan non muslim.


Selain itu, terdapat juga Putusan Mahkamah Agung RI No: 51K/AG/1999, tanggal 29 September 1999 yang intinya menyatakan bahwa ahli waris yang beragama non-muslim tetap bisa mendapat harta dari pewaris yang beragama Islam. Ahli waris yang tidak beragama Islam tetap mendapatkan warisan dari pewaris yang bergama Islam berdasarkan “Wasiat Wajibah” yang bagiannya sama dengan bagian anak perempuan sebagai ahli waris. Yang dimaksud wasiat wajibah adalah wasiat yang walaupun tidak dibuat secara tertulis atau lisan namun tetap wajib diberikan kepada yang berhak atas warisan dari Pewaris.


Hal tersebut berlaku juga untuk pembagian warisan dari pewaris suami muslim kepada istrinya yang non-muslim. Dalam artikel yang berjudul Isteri Beda Agama Berhak Dapat Warisan Suami dikatakan bahwa mereka yang berbeda agama dengan pewaris tetap berhak mendapat bagian yang disebut wasiat wajibah. Isteri non-muslim yang ditinggal mati suami muslim memang tidak termasuk ahli waris, tetapi ia mendapat wasiat wajibah dari harta warisan suaminya. Jumlahnya pun sebanyak porsi waris isteri.

 


Sedangkan, apabila yang Anda maksud adalah perempuan tersebut pindah agama karena menikah (dalam artian beragama yang sama dengan suaminya, yaitu non-muslim), maka perempuan tersebut berhak mewaris dari suaminya (jika suaminya meninggal terlebih dahulu) berdasarkan Pasal 832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

Pasal 832 KUHPer
Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama, menurut peraturan-peraturan berikut ini.

Bila keluarga sedarah dan suami atau isteri yang hidup terlama tidak ada, maka semua harta peninggalan menjadi milik negara, yang wajib melunasi utang-utang orang yang meninggal tersebut, sejauh harga harta peninggalan mencukupi untuk itu.

 

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar