Aturan Baru JHT Bisa Memperparah Angka Kemiskinan di `Kandang` Ganjar

Minggu, 20/02/2022 08:42 WIB
Ilustrasi Kemiskinan. (Benhil)

Ilustrasi Kemiskinan. (Benhil)

Jakarta, law-justice.co - Fraksi Partai Gerindra di DPRD Provinsi Jawa Tengah menyatakan bahwa peraturan baru soal pencairan jaminan hari tua (JHT) yang dikeluarkan Kementerian Ketenagakerjaan, bisa memperparah kondisi kemiskinan di Jateng.

"JHT bisa memperparah angka kemiskinan di Jateng, korelasinya adalah cukup tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) yang ada di Jateng," kata anggota Fraksi Gerindra DPRD Jateng Yudi Indras Wiendarto di Semarang.

Dia menjelaskan, ada tiga alasan utama mengapa pihaknya menolak aturan pencairan JHT dan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT harus direvisi.

Pertama, pandemi COVID-19 membuat dunia usaha belum stabil dan kondisi pekerja juga belum menentu.

Berdasarkan data dari Pemprov Jateng pada periode 2021, tercatat ada 11.438 pekerja Jateng terkena PHK akibat pandemi COVID-19.

Menurut dia, jumlah itu belum ditambah dengan adanya 32.132 pekerja yang terpaksa dirumahkan dengan alasan yang sama, sehingga jika ditotal ada 65 ribuan pekerja yang terdampak kondisi pandemi.

"Mari sama-sama kita tengok angka PHK di masa pandemi itu besar. Aturan itu akan membuat pekerja yang terkena PHK, kondisi ekonomi belum stabil akan tambah susah," ujarnya.

Alasan kedua, lanjut dia, jika dana JHT "ditahan", sedangkan pekerja terkena PHK membutuhkan dana tersebut maka akan menambah beban pemerintah daerah.

"Kondisi itu akan menambah potensi kemiskinan di Jateng sebagaimana data BPS Jateng, masih ada 3,93 juta orang miskin di Jateng per September 2021, dan jika dipersentase ada kenaikan jumlah penduduk miskin Jateng 0,06 persen dalam tiga tahun," ujarnya.

Dia mengungkapkan ada beberapa daerah di Jateng dengan kemiskinan tinggi, di mana per September 2021, angka kemiskinan di Kabupaten Kebumen (17,83 persen), Kabupaten Wonosobo (17,67 persen, Brebes (17,43 persen), Purbalingga (16,24 persen), Banjarnegara (16,23 persen), dan Pemalang (16,56 persen).

"Dengan persentase itu, maka angka kemiskinan di Jateng berpotensi tambah, maka imbas berikutnya adalah butuh dana alokasi dari APBD yang lebih besar untuk `mengcover` program-program pengentasan kemiskinan," katanya.

Kemudian alasan ketiga adalah dana JHT merupakan hak pekerja, maka sudah semestinya aturan dibuat dengan mendengarkan masukan dari pekerja.

"Ini uangnya pekerja, jangan ditahan. Kalau buat kebijakan hendaknya melibatkan pekerja, jadi lebih komprehensif," ujar Yudi Indras.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar