Ubedilah Badrun, Dosen Universitas Negeri Jakarta

Bangsa ini Sedang Dalam Bahaya Korupsi Laten yang Luar Biasa Parah

Sabtu, 12/02/2022 11:38 WIB
Ubedilah Badrun, Dosen Universitas Negeri Jakarta (ist)

Ubedilah Badrun, Dosen Universitas Negeri Jakarta (ist)

Jakarta, law-justice.co - Nama Ubedilah Badrun mendadak jadi perhatian publik setelah ia melaporkan dua anak Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep dan Gibran Rakabuming Raka, ke Komisi Pemberantasan Korupsi, awal Januari 2022 lalu. Langkahnya ini mengejutkan khalayak, karena belum ada yang pernah melakukan hal tersebut sebelumnya.

Melalui pelaporan tersebut, Ubedilah menduga ada dugaan suap dan gratifikasi gaya baru yang dilakukan oleh anak-anak Jokowi. Tak hanya itu, Ubedilah juga menilai ada unsur Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh Gibran dan Kaesang.

Ubedilah mengaku, keputusannya untuk melaporkan ke dua anak presiden tersebut tidak datang tiba-tiba. Semua itu berproses sejak beberapa bulan sebelumnya, dimana ia menyaksikan banyak sekali kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Satu diantaranya yang paling menyesakkan dada, menurut Ubedilah, adalah korupsi dana bantuan sosial yang dilakukan oleh mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara.

“Saya melihat ada sebuah persoalan yang serius di Indonesia terkait korupsi, yang membutuhkan langkah yang progressif untuk mengakhiri atau meminimalisir secara ekstrem,” ujar Ubedilah kepada law-justice.co.

Ia lantas menuangkan kegelisahannya tersebut dalam sejumlah tulisan yang sempat dimuat di sejumlah media massa. Ia juga banyak membaca buku tentang teori-teori pembangunan dan politik untuk mencari jawaban dari satu tanya yang masih bercokol dalam pikirannya yakni, apa yang membuat korupsi masih ada di Indonesia, padahal negara ini sudah merdeka selama 76 tahun?

Lalu Ubedilah menemukan sejumlah argumen teoritik dari para pemikir dan akademisi dalam dan luar negeri, yang menyatakan, munculnya pengusaha-pengusaha baru di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, salah satunya karena ada faktor kedekatan dengan penguasa. Dari sanalah ia meyakini kalau praktik korupsi, kolusi dan nepotisme masih ada, meskipun reformasi telah berjalan hampir 24 tahun.

Hal ini kemudian diperparah dengan kehidupan berdemokrasi di Indonesia yang makin memburuk. Ia mengutip data sebuah penelitian yang menyatakan demokrasi Indonesia saat ini adaah yang terburuk dalam 14 tahun terakhir. Menurut dia, salah satu indikatornya adalah kebebasan sipil yang makin terkekang.

“Hal itu membuat saya kecewa dengan kondisi Indonesia saat ini,” kata Ubedillah.

Kekecewaan tersebut seperti menemukan momentumnya ketika akhir 2021 lalu muncul sebuah berita yang jadi pertanyaan publik, yakni ketika salah satu putra presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, membeli saham PT Panca Mitra Multiperdana Tbk (PMMP), sebuah perusahaan yang memproduksi makanan beku berbasis udang, sebanyak 188 juta lembar, senilai Rp92 miliar.

Ubed, begitu panggilan akrabnya, lalu tergerak untuk menelusuri hal tersebut. Ia mulai mengumpulkan sejumlah data terkait bisnis anak-anak presiden tersebut. Ia juga bediskusi dengan banyak orang, seperti ekonom, akademisi, praktisi hukum dan hingga aktivis ‘98. Hingga pada akhirnya ia berkesimpulan, ada yang tidak beres dengan bisnis dua putra presiden Jokowi, Gibran dan Kaesang.

Ubed menduga ada tindak pidana korupsi dan atau tindak pidana pencucian uang (TPPU) berkaitan dengan dugaan KKN relasi bisnis anak Presiden. Tak tanggung-tanggung, Ubed juga menduga grup bisnis Gibran dan Kaesang terlibat pembakaran hutan.

Dugaan tersebut semakin kuat ketika ia berdiskusi mengenai hal ini dengan sejumlah rekannya yang berlatar belakang ekonom, praktisi hukum dan lain sebagainya. Dari hasil diskusi tersebut, semua landasan teoritik yang selama ini ia pegang, dilengkapi dengan berbagai aspek lainnya, seperti aspek hukum, dari sejumlah rekannya tersebut

Awalnya Ubed ingin mengungkap temuan dan semua fakta itu dalam sebuah tulisan dan lalu dipublikasikan di media. Namun ia berpikir, jika langkah itu yang diambil, maka ada kemungkinan ia akan terjerat Undang-undang ITE.

“Lalu seorang teman menyarankan agar melapor saja ke KPK,” kenang Ubed. Akhirnya pada Senin (10/1/2022) ia mantap melangkah ke gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, untuk melaporkan dugaan korupsi, KKN dan gratifikasi yang melibatkan dua putra Presiden Joko WIdodo, yakni Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep.

KKN masih terjadi hingga kini

Ubedilah Badrun lahir di Indramayu, pada 15 Maret 1972. Sehari-hari, bekerja sebagai dosen di Universitas Negeri Jakarta, yang merupakan almamaternya. Ia juga dikenal sebagai analis sosial dan pengamat politik yang kerap diwawancarai oleh media massa.

Ketika kuliah, aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan, baik di dalam maupun di luar kampus. Pada 1995, ia terpilih menjadi Ketua Senat Mahasiswa IKIP Jakarta (kini berubah menjadi UNJ). Dan pada tahun yang sama, ia membidani lahirnya FKSMJ, atau Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta. Di FKSMJ ia terpilih sebagai presidium pada 1996.

FKSMJ kemudian menjadi salah satu organisasi pergerakan mahasiswa yang menjadi motor gerakan reformasi di Indonesia pada 1998. Ia dan sejumlah elemen mahasiswa lainnya ikut menumbangkan Soeharto setelah 32 tahun berkuasa, dan membawa Indonesia masuk ke alam reformasi.

Namun, setelah reformasi bergulir, ia memilih jalan yang berbeda dengan sejumlah rekan aktivis lainnya. Ketika para aktivis ’98 meneruskan karir politiknya dengan bergabung di partai politik dan menjadi anggota DPR atau pejabat pemerintah, Ubed memilih kembali ke kampus sebagai, menempuh jalan hening untuk menjadi dosen. Karena itulah, oleh para aktivis ’98, Ubed dijuluki sebagai idiolog FKSMJ.

Ini pula sebenarnya yang menjadi latar belakang mengapa Ubed tergerak melaporkan anak-anak Jokowi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Ubed, langkah yang ia ambil tersebut senada dengan semangat reformasi yang dulu ia gaungkan ketika 1998.

“Sudah lama republik ini teriak tentang anti KKN. Sudah sejak 1998 kita ingin bangsa ini maju tanpa KKN,” tegas Ubedilah.

Istilah KKN atau Korupsi, Kolusi dan Nepotisme mengacu pada model pemerintahan orde baru di bawah Presiden Soeharto, yang dinilai sarat dengan praktik tersebut di atas. Salah satu yang menjadi perhatian publik adalah praktik nepotisme yang kerap dilakukan oleh keluarga Presiden Soeharto dan kroninya.

Tak sedikit usaha atau bisnis besar di Indonesia dipegang oleh anak-anak Soeharto. Misalnya proyek mobil nasional Timor, yang digawangi Hutomo Mandala Putra ketika itu.

Munculnya kembali istilah KKN pada saat ini memunculkan tanda tanya, apakah hal praktik itu masih ada saat ini di Indonesia? Dalam konteks tersebut, Ubedilah menjawab tegas, ada! Ia bahkan menilai KKN dapat ditemukan di pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini. Ubed menyebutnya sebagai KKN model baru atau New Kleptocracy.

Dalam terjemahan bebasnya, Wikipedia menulis, “kleptokrasi adalah pemerintahan yang para pemimpinnya yang korup (kleptokrat). Mereka menggunakan kekuatan politik untuk mengambil kekayaan rakyat dan tanah yang mereka kelola, biasanya dengan menggelapkan atau menyalahgunakan dana pemerintah dengan mengorbankan penduduk yang lebih luas,”

Menurut Ubed, KKN atau kleptokrasi yang dipraktikkan saat ini telah mengalami perluasan jangkauan. Jika dulu KKN hanya seputar bisnis, kini meluas hingga ke ranah politik, dimana penguasa turut menjadikan keluarganya sebagai pemimpin di daerah-daerah tertentu.

Yang menjadi perhatian Ubedilah saat ini adalah anak dan menantu Presiden Jokowi yang kini menjabat sebagai kepala daerah. Mereka adalah Gibran Rakabuming Raka yang menjadi Wali Kota Solo dan menantu Jokowi, Bobby Nasution yang menjadi Wali Kota Medan “Itu kan dinasti politik yah? Terbuka juga ruang untuk nepotisme,” ujar Ubed.

Ubed menambahkan, praktik nepotisme yang berlangsung saat ini tak hanya dilakukan oleh presiden, melainkan juga oleh petinggi-petinggi yang ada di lingkaran kekuasaan. Menurut dia, keluarga para petinggi negara diduga juga mendapatkan kemudahan untuk menempati kedudukan tertentu di pemerintahan maupun dalam hal bisnis.

“Coba saja cek petinggi-petinggi istana itu anak-anaknya dimana, menantunya dimana? Bahkan di lingkaran militer  pun juga terjadi,” tambah Ubed.

Meneruskan semangat reformasi

Ubedilah Badrun yakin betul, semua yang ia lakukan saat ini masih memiliki ruh yang sama dengan semangat reformasi yang pernah ia perjuangkan dulu. Menurut dia, pelaporan terhadap anak-anak Jokowi adalah salah satu bentuk upaya untuk memastikan terciptanya pemerintahan yang bersih dan kredibel. Dan ini, menurut Ubedilah, adalah salah satu yang diperjuangkan ketika meruntuhkan orde baru pada 1998 lalu.

Karena itulah Ubedilah banyak mendapatkan dukungan dari mayarakat dan sesama rekan mantan aktivis ’98. Dukungan tersebut salah satunya datang dari pihak yang mengatasnamakan diri Eksponen 98. Dukungan tersebut dituangkan dalam bentuk petisi di laman change.org. Dalam waktu kurang lebih dua pekan, petisi tersebut telah mendapat hampir 9.500 tandatangan.

Meski begitu, ada juga kalangan mantan aktivis 98 yang menentang langkahnya. Salah satunya yang datang dari aktivis ’98 yang bergabung di Relawan Jokowi Mania (JoMan). Oleh Ketua Umum Relawan Jokowi Mania, Immanuel Ebenezer, Ubed dinilai telah melakukan fitnah atas ke dua anak presiden tersebut.

Immanuel yang juga Ketua Ikatan Aktivis 98 itu mengatakan pihaknya melaporkan Ubedilah ke polisi dengan Pasal 317 KUHP tentang pengaduan fitnah. Ubed dinilai juga telah mengeluarkan opini sesat atau pelaporan tersebut.

Namun Ubedilah menghadapinya dengan tenang. Menurut dia, pelaporan tersebut adalah hak setiap warga negara. Ia juga memaklumi, karena pelaporan tersebut dilakukan oleh adalah salah satu elemen dari aktivis 98 yang memang menjadi pendukung pemerintahan saat ini.

Menurut dia, aktivis 98 yang melapornya ke polisi tersebut hanya bagian kecil dari keseluruhan aktivis 98. Ubed malah berani menyatakan, kalau mayoritas kelompok aktivis 98 saat ini mendukung langkahnya melaporkan putra presiden ke KPK. Termasuk aktivis 98 yang mendukung presiden Joko Widodo dan kini berada di parlemen.

“Karena mereka sadar yang saya lakukan adalah benar dan sesuai dengan semangat reformasi,” ujar Ubed.

Ubedilah menjawab sejumlah tudingan

Meski yakin meneruskan semangat reformasi, tak sedikit tantangan yang ditemui Ubedilah Badrun setelah melaporkan dua anak predisen ke Komisi Pemberantasan Korupsi.

Berbagai serangan muncul untuk melemahkan lengkahnya dalam upaya membongkar dugaan praktik KKN di lingkaran kekuasaan. Salah satu tudingan yang muncul adalah yang menyatakan langkah Ubedilah ini merupakan aksi politis dan didukung oleh kekuatan politik tertentu.

Awalnya ia tak menyangka kalau pelaporannya tersebut akan dipolitisir sedemikian rupa. Ubedilah menanggapi santai tudingan tersebut. Menurut dia, sebagai akademisi dan insan kampus, ia memiliki tanggung jawab intelektual, yang tertuang dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dan salah satu poin dari Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah pengabdian masyarakat.

Hal inilah yang kemudian ditafsirkan oleh Ubedilah sebagai ranah perjuangannya untuk memastikan negara ini berjalan sesuai jalur nya, dan mengingatkan khalayak jika ada yang tidak beres, termasuk adanya kasus korupsi.

“Kalau rakyat makin miskin karena korupsi, maka saya harus membelanya. Itu kan bagian dari pengabdian, itu kerja intelektual,” cetus Ubed.

Ia juga memastikan tidak ada sponsor politik yang mengiringi langkahnya melaporkan dua anak presiden ke KPK. Terkait hal ini, Ubedilah menyatakan dirinya saat ini berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN). Karena itulah ia dilarang berpolitik, apalagi bergabung dengan partai politik. Sebab jika itu terjadi, maka risikonya ia akan dipecat dari jabatannya.

“Saya ini ASN, Aparatur Sipil Negara. Dan membongkar kasus KKN adalah salah satu wujud cinta saya pada negara,” tambahnya. Tapi Ubedilah tidak menampik jika dia memiliki kedekatan dengan partai politik. Namun ia menekankan, partai politik yang dimaksud adalah semua parpol, bukan hanya parpol tertentu.  Ia menegaskan, kedekatannya itu dalam kapasitasnya sebagai akademisi atau analis politik.

Ia mengaku sering diminta menjadi pembicara atau mentor dalam acara-acara yang digelar oleh partai politik. Hal itu dilakukan secara professional dan tidak ada tendensi untuk mendukung kubu politik tertentu.

Risiko lain yang ia hadapi karena melaporkan dua anak presiden ke KPK adalah munculmya sejumlah ancaman yang diarahkan kepada dirinya. Ancaman tersebut muncul dalam berbagai cara, mulai dari pesan di media sosial, telepon di tengah malam hingga orang tak dikenal mendatangi rumahnya.

Risiko tersebut sudah ia perhitungkan sebelumnya. Ia menyadari betul, keputusannya melaporkan dua anak presiden ke KPK berpotensi mendatangkan ancaman pada dirinya atau keluarganya. Jauh sebelum melapor ke KPK, Ubed telah membicarakannya dengan istri dan anak-anaknya, termasuk risiko yang mungkin muncul.

Ia mengaku keluarganya mendukung dan bisa memahami hal tersebut, karena mereka yakin yang dilakukan Ubedilah adalah benar dan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.

“Saya anggap itu biasa saja, risiko dari langkah yang saya ambil. Tapi saya tidak mundur, karena saya niatnya untuk kebaikan,” tambah Ubed.

Karena itulah, setelah melaporkan pura presiden ke KPK, Ubed tetap menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia tetap mengajar di kampus, tetap beraktifitas dan tetap bercengkrama dengan keluarganya. Tidak ada ketakutan dan tidak ada kekhawatiran.

Optimisme terhadap KPK

Kini laporan Ubedilah mengenai dugaan korupsi dua anak presiden Joko Widodo telah masuk ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kini publik menunggu langkah KPK dalam menindaklanjuti laporan tersebut. Apakah benar ada praktik korupsi seperti yang diduga Ubedilah Badrun? Atau malah sebaliknya.

Pertanyaan itu penting untuk dijawab, mengingat saat ini citra KPK di mata publik menurun, seiring direvisinya Undang-undang KPK pada 2019 lalu, dimana ada sejumlah kewenangan lembaga antirasuah tersebut yang dikebiri.

Namun Ubedilah tetap optimistis KPK akan menindaklanjuti laporannya tersebut. Menurut dia, laporan mengenai dugaan korupsi anak-anak Jokowi bisa menjadi momentum bagi KPK untuk mengembalikan citranya di mata publik.

“KPK sebenarnya punya cara-cara yang professional dalam menangani sebuah kasus, jadi saya masih memiliki optimisme terhadap KPK,” cetus Ubedilah.

Namun dibalik pelaporan yang dia lakukan, Ubedilah hendak menyampaikan sebuah pesan kepada publik, bahwa saat ini Indonesia sedang dalam kondisi bahaya korupsi yang luar biasa. Karena itu, segenap lapisan masyarakat harus memiliki langkah-langkah serius untuk memberantas korupsi, termasuk KKN yang masih terjadi hingga kini. 

Karena itu dibutuhkan keberanian dan kejujuran agar kita bisa dengan lugas menyatakan sesuatu yang baik adalah baik dan sebaliknya. Dengan begitu, menurut ubed, maka kita akan menjadi warga negara yang maju, warga negara yang merdeka dan independen.

“Menurut saya, ini penting dalam situasi sekarang, dimana budaya kebisuan tengah meluas, untuk berani menyampaikan segala sesuatu dengan cara yang baik,” pungkas Ubed.

(Rio Rizalino\Warta Wartawati)

Share:




Berita Terkait

Komentar