Dr. Roy Tumpal Pakpahan SH, Pemimpin Redaksi Law-Justice.co

Analisis Potensi Pelanggaran Hukum dalam Maraknya Transaksi NFT

Kamis, 10/02/2022 16:34 WIB
Dr. Roy T Pakpahan SH (law-justice.co)

Dr. Roy T Pakpahan SH (law-justice.co)

Jakarta, law-justice.co - Maraknya platform NFT (Non Fungible Token), membuat banyak orang berlomba-lomba mencoba peruntungan dengan menjual NFT di OpenSea atau marketplace lain. Jika Anda juga ingin menjual NFT di OpenSea atau marketplace lainnya, tentu harus mengenal terlebih dahulu tentang cara kerja NFT dan aturan serta dampak hukum transaksinya.

NFT adalah produk investasi turunan dari kripto. Tren menjual NFT di OpenSea atau marketplace lain mencuat setelah Ghozali menjadi miliarder berkat menjual NFT di OpenSea. Ghozali menjual NFT di OpenSea berupa foto selfie dirinya dengan harga di atas Rp 1 miliar.

OpenSea adalah marketplace global untuk jual beli NFT. Marketplace NFT OpenSea berdiri pada 2017 di New York, Amerika Serikat (AS). Selain OpenSea, di Indonesia juga ada marketplace lokal untuk jual beli NFT seperti TokoMall, Paras.id, Enevti, Kolektibel, Baliola, Artsky, dan Metaroid, dll.

 

Proses Cara Kerja NFT

Platform NFT adalah bagian dari teknologi blockchain, sistem penyimpanan data digital yang memungkinkan pengguna bisa saling transfer data secara rahasia, melalui skema enkripsi dalam kriptografi. Skema itu bisa mengonversi data informasi menjadi kode rahasia sebelum dikirim, sehingga data tidak bisa dilacak dan dimiliki oleh pengguna lain yang tidak memiliki datanya.

Ada banyak data dalam blockchain, salah satunya adalah mata uang kripto seperti Ethereum, Bitcoin, dan sebagainya. Nah, bentuk data dalam sistem blockchain itu kian berkembang, salah satunya adalah sertifikat digital NFT.

Sebagaimana disebut di atas, sertifikat digital pada NFT ini biasanya ditanamkan pada gambar, foto, video, atau karya-karya seni digital lainnya. Ketika karya seni digital itu menjadi NFT, yang mana berarti telah dienkripsi dalam blockchain.

Karena itu, karya seni digital itu tidak dapat diduplikasi di dunia maya, oleh orang yang bukan pemilik aslinya. Sederhananya, NFT bisa dikatakan seperti sertifikat fisik hak cipta yang dapat menjamin keaslian suatu karya seni.

Bedanya NFT berupa sertifikat digital. Berbagai karya yang dijadikan NFT sendiri, misalnya gambar atau video, biasanya bisa disimpan dan dilihat oleh banyak orang. Namun, hanya ada satu orang yang memiliki versi aslinya yang dilengkapi dengan sertifikat kepemilikan digital yang tersimpan di dalam blockchain.

Platform NFT digunakan pertama kali pada sebuah game blockchain bernama CryptoKitties pada Oktober 2017 lalu. Dalam game tersebut, pengguna bisa mengadopsi atau memelihara seekor kucing virtual.

Layaknya memiliki binatang peliharaan di dunia fisik, seekor kucing digital bakal memiliki identitas (token) unik untuk menunjukkan bahwa kucing tersebut dimiliki sepenuhnya oleh seorang pengguna.

Dari cara kerja NFT ini, mungkin bisa dibayangkan secara kasat mata mengapa harga NFT bisa melambung. Alasan paling mendasar dari pertanyaan tersebut adalah, karena tidak ada penguasaan dan dominasi dalam skema perdagangan NFT. Dengan kata lain, tidak ada aktor dominan yang bisa mengendalikan harga di NFT.

Bisnis Perdagangan NFT di OpenSea

Platform NFT biasanya diperdagangkan melalui skema lelang yang dapat dijumpai pada beberapa situs online, salah satunya yakni OpenSea. Secara sederhana, OpenSea adalah marketplace atau pasar dimana pemilik NFT atau penjual dan kolektor atau pembeli dapat bertransaksi.

OpenSea adalah tempat jual-beli NFT pertama dan terbesar di dunia. OpenSea memiliki 300.000 pengguna dengan lebih dari 34 juta NFT, yang terdiri dari berbagai macam barang, seperti foto, video, dan sebagainya. Mayoritas penjual dan pembeli di OpenSea menggunakan mata uang kripto berjenis Ethereum untuk bertransaksi.

Untuk mulai bertransaksi di OpenSea, baik itu menjual atau membeli, Anda harus memiliki akun terlebih dahulu, dan sebelum bisa mendaftarkan akun di OpenSea, Anda harus memiliki dompet digital mata uang kripto. Fungsi dompet digital itu hampir mirip dengan layanan Gopay, Shopeepay, atau OVO. Dompet digital mata uang kripto berfungsi untuk mengonversi uang Anda menjadi uang kripto.

Sebagai contoh di OpenSea, penjualan NFT harus memasukkan harga NFT dengan mata uang kripto Ethereum yang diinginkan. Hal serupa pun dilakukan ketika melakukan pembelian NFT, di mana calon pembeli harus masukkan penawaran harga dalam Ethereum.

Kendati dikonversikan dengan rupiah, secara umum transaksi NFT dapat dibilang menggunakan mata uang kripto sebagai alat tukarnya. Kondisi tersebut berpeluang menyalahi aturan dalam Undang-Undang Mata Uang.

Aspek Hukum

Sebab, dalam Pasal 23 B UUD 1945 jo. Pasal 1 angka 1 dan angka 2, Pasal 2 ayat (1) serta Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang, disebutkan bahwa rupiah adalah satu-satunya alat pembayaran yang sah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran yang dilakukan di wilayah NKRI wajib menggunakan rupiah.

Juga ketentuan Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dan Pasal 33 ayat 1 huruf a dan b UU No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang. Bagaimanakah tafsir pasal-pasal yang dipersangkakan  tersebut?

Masalah platform NFT di atas akan didekati dengan dua acara, yaitu tafsir atas dua pasal yang dipersangkakan dan juga dengan pendekatan analogi dalam hukum pidana

Pasal 9 Undang-Undang No. 1 tahun 1946

Pasal yang digunakan oleh penyidik dalam mentersangkakan ZS adalah Pasal 9 UU No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 33 ayat 1 UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1946 adalah pasal  yang sudah lama dikubur, seharusnya harus lebih kritis dalam membangkitkan pasal ini dari alam kuburnya. Jika didekati dengan  tafsir historis, maka Pasal 9 ini dilahirkan didasarkan pada semangat kemerdekaan yang lepas dari penjajahan, dimana beredar mata uang Belanda dan Jepang.

Dalam rangka melindungi kedaulatan Rupiah maka ditetapkanlah norma ini,  agar mata uang Rupiah digunakan, dan pidana bagi yang menggunakan mata uang selain mata uang Rupiah.

Pasal 9 

Barang siapa membikin benda semacam mata uang atau uang kertas dengan maksud untuk menjalankannya atau menyuruh menjalankannya sebagai alat pembayaran yang sah, dihukum dengan hukuman penjara setinggi tingiinya lima belas tahun.

Sebagai catatan dalam membaca Pasal 9, maka tidak bisa dilepaskan dengan membaca juga Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 karena pasal-pasal ini tentang tindak pidana mata uang. Pasal 9-13 adalah pasal-pasal yang senafas sehingga harus dibaca secara  keseluruhan Ketika akan menerapkan pasal tersebut. Hakekat pasal ini ingin melindungi mata rupiah, dari berbagai perbuatan yang dilarang yaitu :

  • Membuat mata uang selain rupiah rupiah (Pasal 9)
  • Menggunakan mata uang kertas selain rupiah (Pasal 10)
  • Menggunakan mata uang atau mata yang kertas yang tidak diterbitkan Pemerintah Indonesia (Pasal 11)
  • Menerima pembayaran mata uang atau uang kertas (Pasal 12)
  • Sebagai kejahatan mata uang atau uang kertas (Pasal 13)

Pasal 33 UU No. 7 Tahun 2011 

Dalam memahami ketentuan pidana dalam undang-undang pidana khusus, harus membaca secara kesuluruhan isi undang-undang termasuk landasan filosofis, landasan juridis dan landasan sosiologis yang ada di dalam konsideran undang-undang pidana khusus, termasuk undang-undang Mata Uang, karena dalam undang-undang ini ada ketentuan pidananya. Melindungi mata uang Rupiah simbol kedaulatan negara. Mata uang adalah uang yang diterbitkan negara kesatuan RI yang selanjutnya disebut rupiah (Pasal 1 ayat 1).

Pasal 33

  • Setiap orang yang tidak menggunakan Rupiah dalam :
  • Setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;
  • Penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau
  • Transaksi keuangan lainnya

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah)

Jadi ketentuan pidana yang ada di dalam Pasal 33 ini harus dikaitkan dengan ketentuan pasal lainnya dan asas-asas yang dianut dalam undang-undang ini. Berikut ini adalah tafsir dari Pasal 33 ayat 1 :

Unsur Subjektif Unsur Objektif Tafsir
Setiap orang (1) Tidak menggunakan rupiah untuk (2) transaksi untuk tujuan pembayaran, atau (3)penyelesaian kewajiban lainnya atau (4) transaksi keuangan lainya Pasal ini harus ditafsirkan secara menyeluruh dari isi undang-undang. UU ini melindungi kedaulatan negeri ini dari mata uang asing, sehingga  mata uang Rupiah sebagai alat pembayaran yang  sah dan dan satu-satunya dan bukan mata uang lain baik diterbitkan oleh negara lain atau pemerintah daerah.

 

Pertanyaan yang sama : apakah kripto dari produk mata uang yang diterbitkan negara lain ?

Unsur utama pasal ini bukan pada alat pembayaran, tetapi adalah sebagai mata uang atau bukan mata uang. Di Indonesia banyak sekali alat pembayaran, termasuk barter, tukar tambah, gadai, games dan lain-lain

UU Perlindungan Data Pribadi

Waspada dan jangan sembarangan menjual NFT di OpenSea. Penjual harus memperhatikan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi jika ingin menjual NFT di OpenSea maupun marketplace lainnya. Penjual bisa terkena hukuman pidana jika menjual produk yang berkaitan dengan milik dan dari data pribadi orang lain.

Sebab UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hanya menjerat pelakunya saja, sedangkan untuk institusi pengumpul data pribadi tidak terdapat sanksi. Makanya dijerat dengan UU Perlindungan Data Pribadi yang sampai saat ini masih dibahas di DPR RI

dalam Peraturan Menteri (Permen) Kominfo No 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang ditetapkan 7 November 2016, diundangkan dan berlaku sejak 1 Desember 2016. Dari dokumen yang diunduh, di aturan itu dinyatakan Data  Pribadi  adalah data perseorangan tertentu  yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya.

Pemilik Data Pribadi adalah individu yang padanya melekat Data Perseorangan Tertentu.Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus mempunyai aturan internal perlindungan Data Pribadi untuk melaksanakan proses.

Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyusun aturan internal perlindungan Data Pribadi sebagai bentuk tindakan pencegahan untuk menghindari terjadinya kegagalan  dalam  perlindungan  Data  Pribadi  yang dikelolanya. Perolehan dan pengumpulan Data Pribadi oleh Penyelenggara Sistem Elektronik termasuk platform NFT dan market placenya wajib berdasarkan Persetujuan atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perlindungan data pribadi.

Data  Pribadi  yang  disimpan  dalam  Sistem  Elektronik  harus Data Pribadi yang telah diverifikasi keakuratannya. Data Pribadi yang disimpan dalam Sistem Elektronik harus dalam bentuk data terenkripsi. Data Pribadi wajib disimpan dalam Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur kewajiban jangka waktu penyimpanan.   

Data   Pribadi pada masing-masing Instansi Pengawas dan Pengatur Sektor atau paling  singkat lima tahun,  jika belum terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan   yang secara khusus mengatur untuk itu. Juga mengenai turan data center. Hal yang menarik di aturan ini adalah ketentuan Pusat  data (data  center) dan market placenya yang berkaitan dengan Penyelenggara Sistem Elektronik  untuk  pelayanan  publik  yang  digunakan  untuk  proses perlindungan wajib  ditempatkan   dalam wilayah negara  Republik Indonesia.  

Dalam aturan ini ditegaskan  sistem elektronik yang dapat digunakan dalam proses perlindungan data pribadi adalah sistem elektronik yang sudah tersertifikasi dan mempunyai aturan internal tentang perlindungan data pribadi yang wajib memperhatikan aspek penerapan teknologi, sumber daya manusia, metode, dan biayanya. Pemilik data pribadi,  berhak atas kerahasiaan data miliknya; berhak mengajukan pengaduan dalam rangka penyelesaian sengket data pribadi; berhak mendapatkan akses untuk memperoleh historis data pribadinya; dan berhak meminta pemusnahan data perseorangan tertentu miliknya dalam sistem elektronik.     

Semua penyelenggara system Elektronik wajib memberikan akses atau kesempatan kepada Pemilik Data Pribadi untuk mengubah atau memperbarui Data Pribadinya tanpa mengganggu sistem pengelolaan Data Pribadi, kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-undangan; memusnahkan Data Pribadi sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini atau ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang secara khusus mengatur di masing-masing Instansi Pengawas dan Pengatur Sektor untuk itu; dan menyediakan narahubung (contact person) yang mudah dihubungi oleh Pemilik Data Pribadi terkait pengelolaan Data Pribadinya.

Melihat berbagai aspek hukum dan konsekwensi aturan hukum tersebut di atas, maka apapun model bisnis teknologi informasi dan komunikasi yang sedang happening, kita wajib mengetahui dan menyadari keamanan dan keberlanjutan dari platform tersebut yang harus disesuaikan dengan aturan dan dasar hukum yang berlaku di Indonesia. Sebab kalau tidak, anda sendiri yang akan rugi dan menanggung akibatnya. Bukan hanya kerugian materi tetapi juga bisa mendapat sanksi hukuman penjara.

(Roy T Pakpahan\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar