Muhammad Rullyandi, Ahli Hukum Tata Negara

Penerapan Hak Imunitas Arteria dalam Perspektif Hukum Tata Negara

Senin, 07/02/2022 22:47 WIB
Politikus PDIP Arteria Dahlan (Viva).

Politikus PDIP Arteria Dahlan (Viva).

Jakarta, law-justice.co - UUD 1945 sebagai hukum tertinggi dalam sistem hukum di Indonesia merupakan cermin daulat rakyat (vide Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 – Kedaulatan Rakyat) yang menempatkan kelembagaan DPR sebagai bentuk representasi rakyat Indonesia yang dalam pelaksanaan penyelenggaraan negara, konstitusi telah memberikan jaminan konstitusional hak keanggotaan DPR sebagaimana diatur dalam batang tubuh UUD 1945, sebagaimana ketentuan Pasal 20A ayat (3) dan ayat (4) yang menyatakan : Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.

Selanjutnya, ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang. Pemberikan hak imunitas kepada Anggota DPR semata–mata dalam kedudukannya sebagai pemegang jabatan (het ambt) yang dalam hal ini memiliki derajat kualifikasi sebagai pejabat negara anggota DPR yang merupakan sebuah konsekuensi lahirnya pembentukan norma pengecualian yang memiliki karakteristik khusus diluar dari suatu keberadaan norma umum dalam konteks kesetaraan hukum sebagai warga negara Indonesia (prinsip equality before the law), yang pemberlakuan hak imunitas kepada anggota DPR telah dijamin konstitusionalitas normanya dalam pembentukan hukum Undang – Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau (UU MD3).

Keberadaan UU MD3 sebagai undang – undang organik yang lahir dari amanat konstitusi UUD 1945 telah menjabarkan ruang lingkup pemberian hak imunitas sebagai landasan prinsip negara hukum yang mengedepankan asas legalitas dan asas kepastian hukum, yang dapat dipahami dengan ketentuan Pasal 80 huruf f UU MD3, yang menyatakan Anggota DPR berhak imunitas.

Demikian halnya penjabaran hak imunitas sebagaimana dalam ketentuan Pasal 224 ayat (1) UU MD3 yang menegaskan : Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.

Relasi rangkaian hukum (nocituur a sociis) ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, ketentuan Pasal 20A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945 serta Pasal 80 huruf f UU MD3 dan ketentuan Pasal 224 ayat (1) UU MD3 merupakan satu kesatuan the unity of the constitution.

Sehingga demikian, dihubungkan dengan pendekatan case approach Anggota Komisi 3 DPR Arteria Dahlan atas pernyataan yang viral disampaikan “untuk meminta jaksa agung mencopot kepala kejaksaan tinggi yang menggunakan Bahasa daerah sunda dalam suatu rapat”, dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya selaku Anggota DPR melalui suatu rapat resmi bersama kejaksaan sebagai mitra kerja Komisi 3 DPR telah memenuhi aspek perlindungan hak imunitas sebagaimana ketentuan Pasal 224 ayat (1) UU MD3 dan berlaku bagi semua tingkatan dalam proses hukum, yang dengan demikian memberikan implikasi hukum kepada Aparat Penegak Hukum (Kepolisian) untuk dijadikan sandaran asas legalitas yang berlaku sebagai bagian dari hukum positif yang tidak dapat dilekatkan atau dilepaskan dari suatu pertanggungjawaban hukum.

Sehingga demikian, penegakan hukum terhadap kasus Arteria Dahlan harus dihentikan demi hukum karena rujukan Undang – Undang yang mengatur sanksi pidana atas perbuatan dugaan suatu tindak pidana telah kehilangan eksistensi subjek hukum dan objek peristiwa dugaan adanya indikasi perbuatan hukum pidananya. Karena itu langkah penghentian penyidikan kepolisian sudah sangat tepat secara profesional dan proporsional.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar