Yusuf Blegur, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari

Ketika Perahu Retak Itu Perlahan Mulai Pecah dan Tenggelam

Senin, 07/02/2022 12:09 WIB
Ilustrasi Bendera Merah Putih. (Foto: Kompas.com/Shutterstock)

Ilustrasi Bendera Merah Putih. (Foto: Kompas.com/Shutterstock)

Jakarta, law-justice.co - Tapi ku heran di tengah perjalanan, muncullah ketimpangan.
Aku heran, aku heran yang salah dipertahankan.
Aku heran, aku heran yang benar disingkirkan.

Tanah pertiwi anugerah Ilahi.
Jangan ambil sendiri.
Tanah pertiwi anugerah Ilahi.
Jangan makan sendiri.
Aku heran, aku heran.
Satu kenyang, seribu kelaparan.
Aku heran, aku heran.
Keserakahan diagungkan.

Begitulah, Emha Ainun Najib dan Frangky menuliskan lirik perahu retak yang begitu menggugah jiwa nasionalisme. Sekelumit lagu yang terasa relevan dan begitu pas dilekatkan pada situasi kebangsaan saat ini. Lagu ini seakan menjadi representasi dari kegetiran dan kepahitan hidup rakyat yang perih menyayat hati.

Negerinya bernama NKRI, berlandaskan Panca Sila dan mengacu pada konstitusi berbalut UUD 1945. Sayangnya, ornamen-ornamen kebangsaan itu begitu hampa. Menjadi simbol-simbol dan sekedar hiasan yang tak pernah nyata diwujudkan. Negara terasa tak pernah hadir dalam keseharian kehidupan rakyat. Begitupun rakyat, menjalani kehidupan bagaikan tanpa pemerintahan dan tanpa negara.

Negara yang begitu berlimpah kekayaan alamnya sebab anugerah ilahi. Ibarat perahu besar nan megah itu, kini tak cuma retak namun perlahan mulai tenggelam. Tak cuma karena gelombang dan badai semata, penumpang didalamnya ikut menyebabkan situasi dan kondisi yang buruk, penuh resiko dan sangat berbahaya. Tidak berpikir untuk kenyamanan dan keselamatan bersama. Perahu justru dirongrong oleh beban berat nafsu memuaskan keinginan masing-masing orang. Penuh sengketa, huru-hara dan tragedi.

Dalam perjalanan, kebersamaan di rusak oleh kepentingan sesaat. Berebut pengaruh dan berusaha saling menguasai. Sifat egois, ambisi dan konflik ikut menyebabkan perahu semakin goyah dan limbung. Kerusakan yang timbul akibat perilaku yang ugal-ugalan dan tanpa aturan, mendorong perahu menjadi rawan pecah bukan sekedar retak. Situasi yang tidak stabil dan kebocoran di sana-sini, membuat tenggelamnya perahu hanya tinggal menunggu waktu.

Dengan situasi yang demikian, perahu perlahan akan tenggelam. Kegagalan menghadapi gelombang dan badai dari luar. Bukan menjadi satu-satunya penyebab perahu oleng. Dinamika yang tidak sehat dan kisruh sesama penumpang juga menjadi faktor penting. Keadaan di luar dan kondisi di dalam membuat perahu semakin terpuruk dan cenderung mengalami situasi terburuk. Tak ada lagi kebersamaan dalam khebinnekaan dan kemajemukan. Semuanya merasa paling unggul dan paling berhak menikmati segala fasilitas yang ada.

Minimnya pengalaman dan kemampuan nahkoda memandu perjalanan. Tanpa bekal kepemimpinan yang layak, miskin kreasi dan kering inovasi, terutama saat situasi tertekan. Ditambah keserakahan, hukum kekuasaan dan ketidakadilan orang-orang didalamnya. Semakin memastikan perahu terus terseret ke dasar laut. Sebuah entitas negara bangsa hanya akan menjadi kenangan dan masa lalu. Karena kelicikan dan kepicikannya sendiri.

Seperti perahu, seperti itulah negara bangsa Indonesia. Tanpa nasionalisme, tanpa karakter nasional bangsa. Gagal mengarungi ombak dan gelombang, berakibat perahu yang karam di tengah perjalanan. Sejarah, semangat dan cita-cita serta nilai-nilai penting sebagai sebuah negara bangsa telah punah. Negara maritim dengan tradisi nenek moyang sebagai pelaut, hanya tinggal cerita. Perahu kandas dan tak sampai pada tujuan.

Seperti kisah kapal pesiar Titanic yang mewah, modern dan menakjubkan pada jamannya itu. Akhirnya harus tenggelam bukan hanya karena geliat alam, lebih dari itu karena kesombongan nahkoda dan krunya yang mengabaikan peringatan keselamatan. kehancuran dan malapetaka karena menegasikan kritik oto kritik. Keangkuhan karena kesombongan akal dan logika yang mengubur spiritual.

Terimakasih Cak Nun dan Frangky Sahilatua yang setia telah mengingatkan negeri ini. Rangkaian nada kalian, kini mewujud nyata dalam senandung dan irama kehidupan anak bangsa. Menghentak kesadaran kritis sekaligus eling dan prihatin bahwasanya perahu kebangsaan telah retak, rentan pecah dan nyaris tenggelam.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar