Nasib Bulog Terlilit Utang

Siapa Menangguk Untung dari Utang Bulog Triliunan

Sabtu, 29/01/2022 10:01 WIB
Laporan Keuangan dan Utang 10 BUMN (Dok.KEMENKEU)

Laporan Keuangan dan Utang 10 BUMN (Dok.KEMENKEU)

Jakarta, law-justice.co - Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) memiliki utang yang mencapai Rp13 Triliun hingga tahun 2021 ke sejumlah Bank Himbara.

Hal tersebut ditambah dengan pemerintah yang masih memiliki utang kepada Bulog sebesar Rp 4,5 Triliun sampai saat ini.

Dalam rapat kerja bersama DPR, Ketua Komisi IV DPR RI Sudin mengaku terkejut ketika mengetahui pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan memiliki utang kepada Bulog.

Untuk itu, Sudin menegaskan kalau sebaiknya pemerintah untuk segera membayar utangnya kepada Bulog.

Ditambah utang Bulog saat ini memiliki utang yang besar juga ke Himbara dan bunga komersialnya mencapai 7,5%.

"Inikan utang Bulog ke Himbara Rp 13 triliun, dengan bunga komersial 7,5%. Kira-kira kalau setahun itu dari Rp 4,5 triliun harus bayar 7,5%, itu cukup besar, saya rasa pemerintah harus segera bayar," tegas Sudin kepada Law-Justice.co.

Sudin mengatakan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IV DPR RI dengan Bulog, Komisi IV DPR RI meminta Kementerian Keuangan untuk segera membayar utang kepada Bulog.

Hal tersebut supaya perusahaan dapat segera beroperasi, melakukan tugas dan fungsinya sebagai stabilisator pasokan dan harga pangan pokok
nasional.

"Selanjutnya dalam RDP kemarin, Komisi IV DPR RI meminta kepada Kementerian Keuangan dan Kementerian teknis terkait untuk segera menyelesaikan administrasi penagihan dan pembayaran atas tagihan Perum Bulog," katanya.

Selain itu, Ketua Komisi IV DPR RI itu meminta kepada Pemerintah memberikan jaminan penyaluran melalui penugasan kepada Bulog dalam rangka penyaluran Cadangan Beras Pemerintah (CBP) termasuk dalam kegiatan bantuan sosial Pemerintah.


Laporan Keuangan dan Utang 10 BUMN (Dok.KEMENKEU)

Politisi PDIP tersebut menyatakan permasalahan lain Bulog adalah terkait dengan penyerapan beras saat panen.

Untuk itu, Ia meminta Bulog untuk dapat menyerap beras di waktu panen sehingga stabilitas harga di kalangan petani bisa terjaga.

Bila perlu, pemerintah diminta mewajibkan pegawai negeri sipil (PNS) TNI/Polri untuk membeli beras dari Bulog agar bisa konsisten menyerap beras dari petani.

“Jadi kalau kita lihat nasibnya Bulog ini kasihan sekali, disuruh menyerap beras pada waktu panen agar menjaga stabilitas beras di petani jangan jatuh. Di satu sisi, penyalurannya masih kebingungan,” ujarnya.

Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron menyampaikan kontribusi Bulog menjadi penting untuk mempersiapkan komoditas bahan pokok.

Selain itu, Herman mengatakan kalau Bulog juga berperan sebagai stabilisator harga berbagai komoditas pokok dan pangan sangat strategis untuk itu peran Bulog perlu diperkuat.

“Bulog memang dibentuk menjadi stok penyangga atau buffer stock nasional untuk bahan pangan pokok. Bukan hanya beras, tetapi yang lain-lainnya pun bisa," kata Herman kepada Law-Justice.

Menurutnya, dahulu peran Bulog sangat kuat karena mengurusi bahan pangan pokok, khususnya sembako. Namun pada era reformasi, peran Bulog dibatasi hanya untuk komoditas beras dan gula pasir.

Untuk itu Herman mendorong pemerintah untuk lebih memperhatikan Bulog dalam melakukan pengawasan termasuk soal utang.

“Melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 (tentang Pangan) kami kuatkan lagi. Karena peran Bulog sebagai stabilisator harga di tingkat konsumen dan di tingkat produsen sebagai buffer stock nasional yang menjamin ketersediaan dan keterjangkauan harga di seluruh Indonesia," jelasnya.


Gedung Perum Bulog (Foto:Istimewa)

Politisi yang akrab disapa Hero juga mendorong agar keberadaan Bulog harus ditopang melalui anggaran belanja negara.

Sisi lain, menurut dia, status dan fungsi Bulog sebagai buffer stock nasional semestinya dikembalikan. Kemudian, Bulog juga harus memiliki outlet untuk penyaluran beras petani.

Hal ini, menurut Herman, perlu dilakukan agar peran Bulog dapat efektif dalam menjaga ketersediaan serta stabilitas harga pangan pokok dan pangan strategis nasional.

“Khusus Bulog ini menurut saya harus ada kekhususan, karena ini adalah sebagai lembaga yang dibentuk pemerintah untuk menjaga komoditas strategis masyarakat, komoditas pangan pokok sehari-hari," ungkapnya.

Ia juga mengingatkan bila suatu saat bisa ada gagal panen atau kemarau panjang, sehingga produktivitas panen menurun.

Hal tersebut penting untuk diantisipasi karena negara merupakan representasi Bulog dalam hal pangan.

"Kalau tidak ada stok, siapa yang nanti akan menyiapkan stok di pasaran kalau bulan negara. Negara representatifnya adalah Bulog," ucapnya.

Bayar Utang dan Bunga, Keuangan Bulog Terancam Kritis
Pandemi Covid-19 memberikan dampak tersendiri pada Perum Badan Urusan Logistik (Bulog). Karena pandemi tak kunjung mereda, pemerintah mengeluarkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada pertengahan 2021 lalu. Walhasil, aktivitas masyarakat dibatasi, termasuk kegiatan mencari rejeki.

Untuk membantu meringankan beban masyarakat yang "terkungkung" PPKM, Pemerintah, melalui Kementerian Sosial, menyalurkan sejumlah bantuan sosial kepada masyarakat. Salah satunya adalah bantuan sosial beras (BSB). Dalam penyaluran bantuan beras tersebut, Kementerian Sosial menggandeng Perum Bulog sebagai penyedia BSB tersebut.


Laporan keuangan Bulog tahun 2020 (Dok.BULOG)

Bulog lantas memenuhi permintaan tersebut dengan menyiapkan stok cadangan beras pemerintah (CBP) sebanyak 1 juta ton, untuk program bantuan sosial beras Kementerian Sosial, di masa PPKM.

Untuk pengadaan beras tersebut, pemerintah tidak menyediakan dana segar di muka. Karena itu Bulog harus menalangi terlebih dahulu dengan cara berutang ke sejumlah bank plat merah. Total biaya yang dibutuhkan untuk pengadaan 1 juta ton beras bansos tersebut sebesar Rp4,5 triliun.

Dan hingga akhir 2021, utang tersebut belum dibayar oleh pemerintah. Utang tersebut semakin menggunung karena dikenai bunga komersial sebesar 7,5 persen. Alhasil kini Bulog menanggung beban utang hingga Rp13 triliun.

"Tentunya potensi Bulog merugi itu pasti. Kenapa? Ya kita uangnya pinjam, bunga itu komersil berjalan terus," kata Dirut Bulog, Budi Waseso di Jakarta, pada Senin 18 Oktober 2021.

Terkait adanya utang tersebut, kini tak banyak yang bisa dilakukan Bulog. Saat dihubungi law-justice.co, Juru Bicara Bulog, Tomi WIjaya mengatakan, Bulog berharap pemerintah segera membayarkan utang tersebut, agar tidak berpengaruh pada posisi keuangan Bulog.

Menurut Tomi, hingga kini Bulog terus berupaya menagih utang tersebut ke pemerintah.

"Terus menagihkan saja mas yang bisa dilakukan. Itu bagian dari konsekuensi penugasan, harapannya segera dibayarkan saja," ujar Tomi Wijaya.

Namun potensi kerugian Bulog tak hanya dari pengadaan bantuan sosial beras (BSB) di masa PPKM saja.

Hilangnya sejumlah pangsa pasar Bulog juga membuka peluang ruginya BUMN tersebut, karena beras petani yang diserap menjadi Cadangan Beras Pemerintah (CBP) tida dapat disalurkan.

Sejak bantuan sosial (bansos) beras untuk rakyat sejahtera (rastra) dihentikan dan diganti menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Bulog kehilangan pangsa pasar sebanyak 2,6 juta ton beras dalam setahun.

Padahal beras CBP tersebut telah dibeli oleh Bulog, juga dengan dana pinjaman bank. Menurut Tomi Wijaya, sejak tidak ada penugasan bantuan sosial rutin, seperti Raskin, Rastra, Bansos Rastra, distribusi CBP jadi tak maksimal.

"Kegiatan penyaluran (beras) BULOG hanya stabilisasi harga melalui operasi pasar," jelas Tomi.

Laporan Kinerja Keuangan Perum BULOG (Dok.BULOG)

Warisan Utang di Bulog yang Tak Kunjung Tuntas
Terkait kondisi Bulog yang tengah terlilit utang, mantan Direktur Utama Bulog ikut angkat bicara. Salah satunya adalah Sutarto Alimoeso yang pernah memimpin Bulog pada periode 23 November 2009 hingga 23 November 2014.

Menurut dia, utang dalam sebuah perusahaan tidak akan bisa dihindari, termasuk pada Bulog.

Kepada Law-Justice.co ia menjelaskan, pola yang diterapkan Bulog sejak dulu, setidaknya sejak ia menjabat sebagai Dirut Bulog, selalu sama. Ketika ada penugasan dari pemerintah untuk pengadaan komoditi pangan tertentu, Bulog selalu berutang pada bank.

Ini disebabkan tidak adanya dana dari pemerintah kepada Bulog untuk menjalankan penugasan tersebut.

"Dari dulu begitu, pemerintah menugaskan, dari tugas itu kita cari pinjaman," ujar Sutarto.

Ia menambahkan, dana pinjaman yang cair dari bank akan diperinci lagi peruntukkannya, mulai dari modal, bunga bank dan biaya-biaya teknis lainnya.

Semua biaya dihitung secara transparan, lalu didiskusikan dengan BPK atau BPKP. Hitung-hitungan itu pula yang pada akhirnya untuk menentukan berapa besar biaya yang harus dibayar oleh pemerintah.

"Kemudian akan ketemu harga pokoknya. Itu yang harus dibayarkan oleh pemerintah," tambah Sutarto.

Dengan metode seperti ini, maka beban utang yang ditanggung oleh Bulog dapat ditekan.

Selain itu, tambah Sutarto, untuk mencegah timbulnya utang, pemerintah sebenarnya juga memiliki andil. Salah satunya adalah dengan memastikan pangan yang telah disediakan oleh Bulog dapat tersalurkan dengan baik.

Dengan begitu, biaya yang telah dipinjam Bulog dari perbankan, bisa segera dikembalikan dan Bulog terhindar dari bunga.


Stok di Gudang Beras Bulog (Foto:Robinsar Nainggolan)

"Pemerintah harus konsekuen, kalau memberikan penugasan, barangnya ini mau kemanakan?" jelas Sutarto.

Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri, Rizal Ramli ikut angkat bicara. Selain pernah menjabat sebagai Menko Ekuin, Rizal juga merangkap sebagai Dirut Bulog pada Maret 2000 hingga Februari 2001.

Menurut dia, untuk mencegah kerugian pada Bulog, harus ada perubahan di tataran kebijakan. Salah satunya adalah upaya tanggung renteng dari biaya stabilisasi harga pangan.

Dia mengatakan, jika pemerintah menugasi Bulog untuk mengamankan stok pangan melalui utang, maka sudah sepatutnya pemerintah menanggung bunga yang muncul akibat pinjaman tersebut.

Dengan begitu, potensi kerugian yang dialami Bulog dapat ditekan.

"Bunga dari pinjaman tersebut seharusnya disubsidi pemerintah, bukan Bulog. Karena kan Bulog menjalankan tugas negara," ujar Rizal Ramli kepada law-justice.co.

Untuk itu ia berharap Dirut Bulog saat ini, Budi Waseso, bisa memperjuangkan hal tersebut kepada sejumlah menteri ekonomi di atasnya, dan tentu juga kepada Presiden Joko Widodo.

Penyebab Tekornya Keuangan BULOG
Meski disebut berpotensi rugi hingga triliunan rupiah, secara keuangan, Bulog menunjukkan hasil yang positif. Hal tersebut tertuang dalam laporan tahunan Bulog pada 2020 lalu.

Dalam laporan keuangan tersebut, pada 2020, laba yang diperoleh Bulog meningkat hingga 190,28 persen dibanding tahun sebelumnya, 2019.

Meski begitu, nilai keuntungan yang diperoleh Bulog masih jauh lebih kecil dibanding utang yang ditanggungnya.

"Peningkatan Laba Usaha dari Rp281,81 miliar di tahun 2019 menjadi Rp818,03 miliar di tahun 2020," demikian tertulis dalam laporan keuangan tersebut.

Beban usaha Bulog pada 2020 turun 1,94 persen dibanding 2019, dari Rp3 triliun lebih menjadi Rp2,9 triliun.

Sementara jumlah kewajiban perusahaan atau liabilitas Bulog pada 2020 turun hingga 50 persen dibanding tahun sebelumnya, yakni 2019.

Menurut data pada laporan tahunan tersebut, liabilitas Bulog pada 2019 sebesar Rp26 triliun, namun pada 2020 turun menjadi Rp13 triliun.

Mengenai kondisi Bulog yang selalu terbuka potensi untuk merugi, Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam mengatakan, harus ada kajian mendalam mengenai peran dan fungsi Bulog yang sebenarnya.

Dia mengatakan, hingga kini masih belum jelas apa sebenarnya peran Bulog dalam upaya stabilisasi pangan di Indonesia.

Apakah bertugas untuk mengendalikan harga pangan di pasaran, atau untuk mencari untung atau laba.


Laporan Keuangan Bulog dan Equitas (Dok.BULOG)

"Fungsi Bulog ini sebenarnya apa dalam proses stabilisasi pangan, apakah dia (bertugas) mencari untung atau gimana?"

Menurut dia, pertanyaan tersebut harus tuntas terlebih dahulu untuk mencari tahu apa sebenarnya yang membuat Bulog bisa terus merugi.

Perlunya Perbaikan Pola Bisnis di BULOG
Terkait permasalahan Bulog, Pengamat BUMN Toto Pranoto menjelaskan terkait permasalahan utang BUMN yang masih terjadi sampai dengan saat ini karena tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan para perusahaan yang sangat besar.

Hal ini lantaran perusahaan milik negara itu membutuhkan investasi atau belanja modal yang cukup besar dan pemerintah berupaya memutar otak agar dapat menyehatkan kembali perusahaan miliknya.

Apalagi, pandemi Covid-19 telah membuat kinerja sejumlah BUMN oleng lantaran mengalami penurunan pendapatan dan tergerusnya laba, hingga banyak perusahaan tersumbat arus kas atau cash flow-nya.

Termasuk yang terjadi pada Bulog yang mempunyai utang yang lumayan besar dan terkendala dalam produksi.

“Unsur equitas tentu relatif terbatas sehingga dibutuhkan pinjaman untuk financing pengadaan aset. Namun poin pentingnya adalah seberapa jauh utilisasi aset dari hasil utang tersebut bisa men-generate revenue dan laba perusahaan yang memadai,” ujar Toto kepada Law-Justice.

Sehingga artinya apabila investasi perusahaan-perusahaan BUMN dapat berjalan baik maka kemampuan BUMN untuk membayar bunga dan pokok pun dapat berjalan lancar.

“Tapi kalau kondisi yang terjadi sebaliknya maka utang BUMN bisa menjadi sumber problem bagi perusahaan,” sambungnya.

Untuk itu, para BUMN termasuk Bulog yang masih memiliki utang-utang yang cukup banyak, Toto mengatakan perusahaan tersebut dapat menggunakan alternatif lain seperti melakukan refinancing untuk melunasi secara tepat waktu utang bunga maupun utang pokok.

Misalnya saja dengan memperpanjang tenor jatuh tempo atau memperbaiki struktur keuangan secara lebih sehat dengan meningkatkan equitas, baik bersumber dari pemegang saham ataupun memanfaatkan alternatif funding lewat Sovereign Wealth Fund (SWF) atau Lembaga Pengelola Investasi (LPI).


Varian produk yang dipasarkan oleh Perum BULOG (Dok.BULOG)

Dengan demikian, pendanaan SWF pun dinilai dapat berpotensi memperbaiki arus kas dan beban utang para perusahaan BUMN.

Adapun salah satu yang kerap terjadi dan paling krusial dalam praktek pengelolaan BUMN di Indonesia adalah terjadinya benturan kepentingan atau conflict of interest (COI) suatu kondisi kepentingan perusahaan dengan anggota Direksi, Dewan Komisaris atau kepentingan kekuatan politik dan sosial tertentu.

Menurut Toto, conflict of interest dapat terjadi kalau misalnya pengambilan keputusan oleh direksi BUMN tidak secara independen.

“Artinya keputusan tersebut “diwarnai" kepentingan pihak tertentu di luar perusahaan. Akibatnya keputusan tersebut berpotensi merugikan kepentingan perusahaan BUMN,” ujarnya.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Pertanian Khudori mengungkapkan bahwa potensi kerugian yang terjadi pada Bulog karena tidak adanya outlet untuk penyaluran beras yang pasti.

Khudori menyebut hal itu membuat beras yang diserap di hulu tidak ada kepastian akan disalurkan ke mana.

Outlet komersial Bulog yang kecil dan serapan beras nasional yang besar, menjadi tidak logis apabila mewajibkan penyerapan di hulu tetapi tidak ada jaminan yang pasti di hilir.

“Outlet komersial Bulog masih kecil. Sementara yang diserap itu besar. Tidak logis memang mewajibkan penyerapan di hulu tapi tidak ada jaminan outlet penyaluran yang pasti di hilir. Akibatnya apa? Beras menumpuk dan potensial rusak,” ungkap Khudori kepada Law-Justice.

Khudori memaparkan penyimpanan beras membutuhkan biaya besar untuk perawatan, biaya gudang, dan sebagainya.

Apabila kemudian nantinya beras rusak, maka harganya akan anjlok, dan kerugian akan berlipat ganda.

“Sudah begitu, tidak jelas kalau beras rusak atau turun mutu bagaimana mekanisme yang cepat agak kerugian tidak tambah besar. Sementara argo bunga bank jalan terus. Kompletlah,” paparnya.


Kondisi keuangan Bulog berdasarkan hasil audit dari BPK tahun 2017-2018 (Dok.BPK)

Khudori juga menyarankan, apabila ke depan Bulog masih diperintahkan menyerap beras di hulu, maka perlu ada outlet yang pasti di hilir.

“Kalau penugasan menyerap di hulu masih ada, ya harus ada outlet pasti di hilir,” tukasnya.

Law-Justice mencoba untuk meminta konfirmasi kepada Kementerian BUMN terkait problematika yang terjadi di Bulog.

Namun sampai saat ini, kementerian BUMN belum merespon pertanyaan yang dilontarkan oleh Law-Justice.

Namun sebelumnya, Komisi VI DPR RI melakukan Rapat Kerja bersama Menteri BUMN Erick Thohir beberapa waktu lalu.

Terkait dengan Bulog, Erick menegaskan kalau Bulog kini tidak masuk dalam daftar Holding BUMN Pangan.

Pasalnya, terdapat perbedaan fungsi kedua grup pangan tersebut dan ia menyatakan BUMN Pangan disiapkan untuk menyerap (off taker) dan memasarkan hasil pangan petani dan nelayan.

Sementara, Bulog ditugaskan untuk menjadi stabilisator harga pangan skala nasional.

Erick menyebut Bulog disiapkan untuk mengintervensi pasar ketika harga pangan melambung dengan menyerap hasil pangan dan disimpan di cold storage atau tempat penyimpanan.

"Memang ada pertanyaan kenapa Bulog tidak dimasukkan, visi BUMN ada dua, istilahnya ada dua grup pangan. Satu Bulog sebagai fasilitator di mana Bulog mengintervensi ketika harga naik dan Bulog bisa membeli barang-barangnya dengan nilai tertentu," kata Erick dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI, Selasa (25/01/2022).

Catatan BPK Terhadap Bulog
Dalam catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Semester I tahun 2019 didapati berbagai permasalahan dari kinerja keuangan Perum Bulog.

Beberapa catatan itu antara lain adanya kekurangan penerimaan Perum Bulog, terutama adalah pendapatan talangan penyaluran Cadangan Beras Pemerintah (CBP)
untuk bencana alam dan operasi pasar s.d. 31 Desember 2018 sebesar Rp649,43 miliar yang belum diterima dari pemerintah.

Adanya klaim asuransi kekurangan kuantum beras impor dalam proses pengiriman laut sebesar US$856,15 ribu.


Hasil audit BPK terhadap kinerja keuangan dan pemanfaatan anggaran untuk subsidi (Dok.BPK)

Pendapatan hasil kerja sama pemeliharaan dan penyaluran sapi siap potong dengan PT Berdikari (Persero) sebesar Rp78,14 miliar. Selain itu, Perum Bulog belum menyetorkan hasil penjualan beras operasi pasar CBP tahun 2018 ke kas negara per 31 Desember 2018 sebesar Rp888,68 miliar.

Sedangkan pada semester I 2018, audit BPK mengatakan, Perum Bulog belum menerima penerimaan sebesar Rp384,17 miliar atas penggantian pengadaan gabah/ beras dengan harga fleksibilitas dan bunga pinjaman dari Kementerian Pertanian, harga tebus subsidi beras sejahtera bagi masyarakat berpendapatan rendah tahun 2017 pada 5 divisi regional (divre) yaitu Sumut, DKI Jakarta & Banten, Jabar, Jatim dan Sulselbar, serta sisa biaya reprocessing dan distribusi untuk operasi pasar cadangan beras pemerintah pada Divre Sulselbar dan Jateng.

Ada lagi persoalan beras turun mutu pada 4 Divisi Regional (divre) belum diperbaiki sehingga berpotensi susut dan membebani perusahaan. Selain itu, pembebanan margin fee atas pengadaan gabah/ beras ke dalam tagihan harga fleksibilitas tidak didukung dengan ketentuan.

Perum Bulog belum menerima penerimaan atas penggantian pengadaan gabah/ beras dengan harga fleksibilitas minimal sebesar Rp347,76 miliar dan bunga pinjaman sebesar Rp23,21 miliar dari Kementerian Pertanian.

Harga tebus subsidi beras sejahtera (HTR) bagi masyarakat berpendapatan rendah tahun 2017 pada 5 divre yaitu Sumut, DKI Jakarta & Banten, Jabar, Jatim dan Sulselbar sebesar Rp13,05 miliar. Sisa biaya reprocessing dan distribusi untuk operasi pasar cadangan beras pemerintah (OP CBP) pada Divre Sulselbar dan Jateng sebesar Rp151,96 juta.

BULOG Gagal Dapat Dana PEN
Pemerintah batal memberikan dana dukungan tambahan bagi Badan Urusan Logistik atau Bulog. Bulog menjadi satu-satunya Badan Usaha Milik Negara yang dicoret dari 12 perusahaan yang mendapat dana dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).


Dirut Bulog Budi Waseso (Bisnis.com)

Mulanya, Kementerian Keuangan memasukkan Bulog sebagai BUMN prioritas yang mendapat dana dukungan tambahan senilai Rp13 triliun, namun angkanya diubah menjadi Rp10,56 triliun dan terakhir dihilangkan dari 12 BUMN prioritas penerima dana tersebut.

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani membenarkan bahwa Bulog memang tidak lagi dimasukkan dalam daftar tersebut. Akan tetapi, dia melanjutkan, dana yang mulanya dialokasikan langsung ke Bulog itu dialihkan ke dalam program bantuan sosial (bansos) Kementerian Sosial.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu menjelaskan, pemerintah mengalokasikan anggaran Rp114,69 triliun dalam progran dukungan tambahan itu, mayoritas dialokasikan untuk dana talangan untuk modal kerja.

BUMN yang mendapat dana itu diantaranya PT Garuda Indonesia Tbk sebesar Rp8,5 triliun, PT Kereta Api Indonesia Rp3,5 triliun, PT Perkebunan Nusantara Rp4 triliun, PT Krakatau Steel Tbk Rp3 triliun dan Perum Perumnas Rp650 miliar.

Kontribusi Laporan : Yudi Rachman, Rio Rizalino, Ghivary Apriman

 

(Tim Liputan Investigasi\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar