Bolehkah Polisi Periksa Ponsel Warga saat Patroli Lalu Ditayangkan?

Jum'at, 28/01/2022 16:41 WIB
Polisi periksa hp saat patroli lalu ditayangkan di media (Tribun)

Polisi periksa hp saat patroli lalu ditayangkan di media (Tribun)

Jakarta, law-justice.co - Aparat kepolisian kerap melakukan patroli untuk menciptakan ketertiban di masyarakat. Terkadang saat patroli tersebut, polisi menemukan kelompok atau orang-orang yang sedang melakukan kejahatan, kadang juga orang yang hanya sekedar bersantai.

Namun, demi menciptakan kenyamaman, polisi mengecek dan bahkan sampai memeriksa isi handphone. Lebih jauh dari itu, aksi tersebut pun direkam dan disebarkan melalui media, baik itu televisi maupun media sosial seperti Youtube.

Namun, ternyata langkah polisi itu tidak dibenarkan oleh Mahkmah Konstitusi (MK). Hal itu dilakukan MK saat menolak judicial review atau uji materi UU Kepolisian yang diajukan oleh Leonardo Siahaan dan Fransiscus Arian Sinaga. Keduanya mempersoalkan kewenangan kewenangan Polri memeriksa ponsel warga saat patroli hingga memvideokan untuk kepentingan konten media massa.

"Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," demikian bunyi putusan MK yang dikutip dari website MK, Jumat (28/1/2022).

MK memahami bila patroli polisi di malam hari adalah untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat. Namun yang menjadi permasalahan pokok permohonan a quo adalah kegiatan aparat Kepolisian yang sedang melakukan tugas memberhentikan orang yang dicurigai di jalan dan melakukan pemeriksaan identitas tersebut direkam dan ditayangkan di media televisi atau media lainnya.

"Bagi sebagian orang, tayangan di media televisi dan media sosial yang menayangkan kegiatan aparat Kepolisian sangat menarik untuk disaksikan. Tingginya minat masyarakat menonton tayangan demikian juga dapat dipahami karena orang-orang yang dianggap meresahkan dan mengganggu ketertiban umum itu berhasil diamankan oleh aparat Kepolisian," ujar majelis MK.

Tayangan-tayangan seperti ini sesungguhnya juga menjadi pengetahuan hukum terutama hukum pidana bagi masyarakat. Yang diharapkan akan memberikan efek jera kepada pelaku yang tertangkap sedang melakukan hal yang melangar hukum ataupun mengganggu ketertiban umum. Selain itu, bagi masyarakat luas agar dapat lebih memperhatikan keluarga dan lingkungan sekitar sehingga menjauhi perilaku melanggar hukum dan mengganggu ketertiban umum.

"Media masa baik itu televisi dan platform digital yang bekerjasama dengan Kepolisian untuk menayangkan kegiatan Kepolisian memiliki tanggung jawab besar untuk memberikan informasi yang cepat, tepat, akurat dan benar kepada masyarakat. Namun sebaliknya, media masa dengan semua tayangannya dapat menjadi pembentuk opini masyarakat. Oleh karenanya, meskipun kemerdekaan pers dijamin oleh Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (selanjutnya disebut UU 40/1999). Namun Pasal 5 UU 40/1999 membatasi kebebasan pers dengan kewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah," tutur MK.

MK menilai setiap tayangan di media manapun yang dapat disaksikan oleh masyarakat luas akan membentuk opini publik, karena memang itulah tugas media dan pers. Oleh karena itu, yang harus menjadi perhatian adalah bahwa dengan tayangan tersebut persepsi penonton yang berasal dari berbagai kalangan akan terbentuk dan tidak bisa dibendung dan dibatasi, yang terkadang akan menyudutkan seseorang dan menimbulkan stigma yang tidak baik.

"Padahal orang yang diberhentikan di jalan yang ditayangkan di media belum tentu terbukti melakukan pelanggaran, sedangkan opini masyarakat telah terlanjur terbentuk. Di sinilah pentingnya penerapan asas praduga tak bersalah, di mana orang yang dicurigai dan diberhentikan petugas seharusnya diperlakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia," beber MK.

Orang yang diberhentikan di jalan yang ditayangkan di media belum tentu terbukti melakukan pelanggaran. Di sinilah pentingnya penerapan asas praduga tak bersalah,
Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, seandainya pun terjadi tindakan yang merendahkan harkat dan martabat manusia saat aparat Kepolisian menjalankan kewenangannya dan kemudian ditayangkan di media, apakah dapat dikatakan norma a quo inkonstitusional karena tidak memberi batasan?

"Hal inilah yang menjadi persoalan utama yang harus dijawab," tutur MK.

MK menilai kewenangan polisi di Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 itu telah jelas rumusannya, dan tidak menimbulkan tafsir yang berbeda. Norma-norma yang mengatur tugas dan kewenangan demikian menurut MK tidaklah harus dijelaskan lebih lanjut karena sudah cukup jelas.

"Kewenangan memberhentikan orang yang dicurigai merupakan langkah awal dilakukannya pemeriksaan untuk menemukan tindak pidana atau pelanggaran hukum dalam suatu peristiwa. Kewenangan demikian, adalah kewenangan yang dimiliki oleh Kepolisian di negara manapun," ucap MK.

Lalu bagaimana bila patroli itu direkam dan ditayangkan di televisi dan/atau YouTube dan/atau media lainnya tanpa izin dari orang yang diperiksa?

"Bukan berarti norma a quo melanggar hak atas jaminan perlindungan harkat dan martabat apalagi merendahkan derajat manusia yang telah dijamin oleh Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Batasan-batasan dari kewenangan a quo dalam teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksana, yang tidak mungkin kesemuanya tertuang dalam undang- undang," kata MK.

Selain itu, semua kewenangan Kepolisian yang diatur dalam Pasal 16 UU 2/2002 tetap tunduk pada batasan-batasan yang diatur dalam peraturan perundang- undangan. Terlebih lagi, dalam Pasal 19 ayat (1) UU 2/2002 diatur secara tegas bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Kepolisian senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pasal 34 UU 2/2002 juga menegaskan bahwa sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Selain itu, Kepolisian juga memiliki Standar Operasional Prosedur, aturan disiplin, dan Peraturan Kapolri dalam pelaksanaan tugas, di mana setiap aparat Kepolisian terikat pada semua peraturan tersebut. Dan jika melanggar peraturan maka aparat yang bersangkutan harus mempertanggungjawabkannya baik secara hukum, moral, maupun secara teknik profesi dan terutama hak asasi manusia.

Sebagai pedoman hidup Kepolisian juga memiliki Tri Brata dan Catur Prasatya yang merupakan sumber nilai Kode Etik Profesi Kepolisian yang mengalir dari falsafah Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, sehingga harus tercermin pada aparat Kepolisian RI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

"Komitmen untuk memperhatikan hak asasi manusia dalam pelaksanaan tugas Kepolisian disebutkan dalam Penjelasan Umum UU 2/2002 pada pokoknya menyatakan perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia sangat penting karena menyangkut harkat dan martabat manusia," ujar MK dalam halaman 32.

Selain itu, setiap anggota Kepolisian wajib mempedomani dan menaati ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam dan Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

"Lebih lanjut, aparat Kepolisian juga harus memerhatikan perundang-undangan yang berkaitan dengan tugas dan wewenangnya antara lain KUHAP dan peraturan perundang-undangan lain yang menjadi dasar hukum pelaksanaan tugas dan wewenang Kepolisian," tutur MK.

Kesimpulan MK, permasalahan Leonardo Siahaan dan Fransiscus Arian Sinaga bukan masalah konstitusionalitas norma melainkan implementasi norma.

"Persoalan implementasi norma terkait dengan tayangan kegiatan Kepolisian yang marak di media masa menurut Mahkamah telah memiliki batasan yang jelas sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, kode etik profesi, serta peraturan pelaksana lainnya," ujar MK.

Oleh karena itu, kata MK, baik aparat Kepolisian maupun media masa diharapkan dapat selalu berhati-hati dalam menjalankan tugas dan fungsinya, agar tetap dalam koridor yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku.

"Dengan demikian, menurut Mahkamah Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 adalah norma yang konstitusional. Sehingga, kekhawatiran para Pemohon berkenaan dengan adanya tindakan merendahkan harkat dan martabat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, dan kekhawatiran akan diperlakukan semena-mena sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, merupakan persoalan implementasi norma a quo, bukan persoalan inkonstitusionalitas norma," tutup MK di halaman 33.

 

(Nikolaus Tolen\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar