Anggota DPR Ungkap Modus Obligor Bisa Kuasai Lagi Aset BLBI

Kamis, 27/01/2022 00:00 WIB
Ilustrasi Dana BLBI (Net)

Ilustrasi Dana BLBI (Net)

Jakarta, law-justice.co - Keterlibatan oknum pegawai Kemenkeu dalam kasus pengalihan aset Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terus mendapat sorotan dari sejumlah pihak. Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun meminta Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan mencermati praktik patgulipat obligor maupun debitur Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam menguasai aset yang sebenarnya telah disita pemerintah. 

Menurutnya, biasanya obligor maupun debitur BLBI menggunakan pihak lain sebagai kendaraan (vehicle) untuk kembali menguasai aset yang pernah dirampas negara. Misbakhun menjelaskan ada skema Master Settlement and Acquitition Agreement (MSAA) dan Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA) untuk mengembalikan aset negara dalam rangka penyelesaian perkara BLBI. 

Untuk itu, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) telah menyita berbagai aset dari obligor dan debitur BLBI. Setelah BPPN dibubarkan, berbagai sitaannya diserahkan ke Perusahaan Pengelola Aset (PPA). 

“Sudah jelas ketentuannya bahwa tidak boleh pemilik lama itu menjadi pemilik kembali dari aset, tetapi proses vehicling terjadi,” ujar Misbakhun dalam siaran resminya, Rabu (16/1/2022).

Dia mencontohkan sebuah pabrik tekstil di Solo, Jawa Tengah, yang sebelumnya disita untuk pemulihan aset negara. Ternyata, pemilik lama bisa memiliki pabrik itu lagi.  “Bagaimana mungkin setelah dibeli oleh seorang notaris, kembali kepada pemilik lamanya.

Kalau pemerintah mau menuntut, itu bisa,” ujar Misbakhun.  Politisi Partai Golkar itu menegaskan negara mengeluarkan banyak uang untuk BLBI. Sebab, dana BLBI yang dikucurkan mencapai Rp 600 triliun. “Menurut saya, perhatian yang lebih serius harus ditujukan ke soal itu,” tegasnya. 

Misbakhun menambahkan pemerintah dan BI masih menanggung beban pengucuran BLBI tersebut. Selain itu, pemerintah juga belum melunasi obligasi rekap ke BI yang bunganya 0,01 persen.  “BI tidak bisa melakukan upaya-upaya lain selain menjadikan itu lindung nilai. Ini masalah yang sangat serius berkaitan beban utang kita,” katanya.


(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar