Hikmahanto: Indonesia Tidak Kendalikan FIR di atas Kepulauan Riau

Rabu, 26/01/2022 11:04 WIB
Pakar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana. (indonews)

Pakar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana. (indonews)

Jakarta, law-justice.co - Profesor bidang Hukum Internasional dari Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana mengingatkan Indonesia akan kepentingan Singapura di balik perjanjian ruang udara. Sebab perjanjian Singapura tersebut belum dibuka ke publik secara utuh.

"Pemerintah mengklaim FIR yang berada di atas Kepulauan Riau dan sekitarnya telah berada di bawah kendali Indonesia dan tidak lagi Singapura. Klaim ini tentu sulit diketahui kebenarannya sebelum secara cermat Perjanjian Penyesuaian FIR dipelajari. Saat ini perjanjian tersebut belum dapat diakses oleh publik," kata Hikmahanto lewat keterangan resmi, Rabu (26/1/2022).

Kata dia, bila saatnya perjanjian ini hendak disahkan oleh DPR, maka publik akan mendapat akses.

"Namun bila merujuk pada siaran pers Kemenko Marves dan berbagai pemberitaan di Singapura sepertinya kendali FIR belum berada di Indonesia," tegas pakar hukum internasional itu.

Ada tiga alasan untuk ini. Pertama, kata Hikmahanto, siaran pers Kemenko Marves menyebutkan di ketinggian 0-37,000 kaki di wilayah tertentu dari Indonesia akan didelegasikan ke otoritas penerbangan Singapura.

"Ini yang oleh media Singapura disebut hal yang memungkinkan bagi Bandara Changi untuk tumbuh secara komersial dan menjamin keselamatan penerbangan," beber Hikmahanto Juwana.

Kedua, menurut media Singapura, seperti channelnewsasia, maka pendelegasian diberikan oleh Indonesia untuk jangka waktu 25 tahun. Repotnya jangka waktu ini dapat diperpanjang sesuai dengan kesepakatan kedua negara.

"Ini berarti pemerintah Indonesia tidak melakukan persiapan serius untuk benar-benar mengambil alih FIR di atas Kepulauan Riau," ucap Hikmahanto Juwana.

Apakah 25 tahun tidak terlalu lama? Lalu tidakkah perpanjangan waktu berarti tidak memberi kepastian?

"Memang konsep FIR bertujuan untuk keselamatan penerbangan, namun pada kenyataannya Bandara Changi dapat mencetak keuntungan besar bila FIR di atas Kepulauan Riau masih dikendalikan oleh Singapura," ujar Hikmahanto Juwana.

FIR atas ruang udara suatu negara yang tunduk pada kedaulatan negara bisa saja dikelola oleh negara lain. Hanya saja bila dikelola oleh negara lain menunjukkan ketidakmampuan negara tesebut dalam pengelolaan FIR yang tunduk pada kedaulatannya.

"Bagi Indonesia muncul sejumlah pertanyaan atas Perjanjian Penyesuaian FIR, antara lain, apakah hingga saat ini Indonesia belum dapat mengelola FIR di atas Kepulauan Riau? Apakah butuh 25 tahun lagi untuk akhirnya bisa? Ataukah 25 tahun tersebut mungkin tidak mencukupi sehingga perlu untuk diperpanjang lagi?" tanya Hikmahanto Juwana.

Lalu, kata Hikmahanto, menjadi pertanyaan di manakah kehormatan (dignity) Indonesia sebagai negara besar bila tidak mampu mengelola FIR diatas wilayah kedaulatannya dan menjamin keselamatan penerbangan berbagai pesawat udara.

"Apakah Indonesia rela bila Changi terus berkembang secara komersial karena FIR di atas Kepulauan Riau dipegang oleh Singapura dan tidak Soekarno-Hatta? Berbagai pertanyaan ini yang mungkin akan ditanyakan oleh Komisi 1 DPR saat Perjanjian Penyesuaian FIR dibahas untuk pengesahan," pungkas Hikmahanto Juwana.

Sebagaimana diketahui, Penandatanganan deal RI-Singapura ini dihadiri langsung oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong. Ada 15 dokumen kerja sama strategis yang ditandatangani, meliputi kerjasama strategis di bidang politik, hukum, keamanan, ekonomi, dan sosial budaya.

Salah satunya Perjanjian soal Flight Information Region (FIR) diteken kedua negara. Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly hadir.

Adapun Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menjadi pihak Indonesia yang menandatangani perjanjian ekstradisi RI-Singapura. Proses perjanjian ekstradisi ini sudah lama diupayakan, yakni sejak 1998.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar