Dr. Roy Tumpal Pakpahan SH, Pemimpin Redaksi Law-Justice.co

Analisis Hukum Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura & Konsekwensi Hukum

Kamis, 19/05/2022 00:03 WIB
Dr. Roy T Pakpahan SH, Pemimpin Redaksi Law-Justice.co

Dr. Roy T Pakpahan SH, Pemimpin Redaksi Law-Justice.co

Jakarta, law-justice.co - Pemerintah Indonesia menyatakan perjanjian ekstradisi dengan Singapura akan mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana di Indonesia untuk melarikan diri. Apalagi Indonesia telah memiliki perjanjian dengan negara mitra strategis, di antaranya Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Australia, Republik Korea, Republik Rakyat Tiongkok, dan Hong Kong.

Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura akan diberlakukan bersamaan dengan perjanjian pertahanan (Defence Cooperation Agreement atau DCA) 2007 dan persetujuan tentang penyesuaian batas wilayah informasi penerbangan Indonesia - Singapura (realignment Flight Information Region atau FIR).
 
Karena itu perjanjian ini tidak gratis, sebab Singapura masih dapat keuntungan dari Indonesia untuk pembagian batas FIR dan juga kompensasi Singapura boleh memakai wilayah darat, udara dan perairan Indonesia untuk latihan militer pertahanan.
 
Perjalanan perjanjian ekstradisi ini masih alot karena masih harus mendapat persetujuan dan diratifikasi oleh DPR. Pimpinan dan anggota DPR masih mempersoalkan beberapa efek perjanjian ini yang dinilai lebih menguntungkan Singapura, termasuk soal FIR tersebut.
 

Perihal ekstradisi selengkapnya diatur dalam Undang-Undang/UU Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi yang disahkan Presiden Soeharto pada 18 Januari 1979. Pengertian mengenai ekstradisi dijelaskan dalam Pasal 1 UU tersebut.

Berikut bunyinya: "Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya."

Menurut UU Nomor 1 Tahun 1979, ekstradisi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian. Dalam hal perjanjian belum ada, maka ekstradisi bisa dilakukan atas dasar hubungan baik antara Indonesia dan negara lain.

Dalam UU tersebut turut dijelaskan siapa saja yang dapat diekstradisi, yakni orang yang oleh pejabat yang berwenang dari negara asing diminta karena disangka melakukan kejahatan atau untuk menjalani pidana atau perintah penahanan.

Ekstradisi dapat juga dilakukan pada orang yang disangka melakukan atau telah dipidana karena membantu, mencoba, dan melakukan mufakat kejahatan, sepanjang pembantuan, percobaan, dan permufakatan jahat itu dapat dipidana menurut hukum NKRI dan hukum negara yang meminta ekstradisi.

Perjanjian ini diharapkan dapat mencegah dan memberantas tindak pidana yang bersifat lintas batas negara seperti korupsi, narkotika, dan terorisme. Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura memiliki masa retroaktif (berlaku surut terhitung tanggal diundangkannya) selama 18 tahun ke belakang.

Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Selain masa rektroaktif, perjanjian ekstradisi ini juga menyepakati bahwa penentuan kewarganegaraan pelaku tindak pidana ditentukan pada saat tindak pidana dilakukan.

Hal ini untuk mencegah privilege yang mungkin timbul akibat pergantian kewarganegaraan dari pelaku tindak pidana guna menghindari proses hukum terhadap dirinya. Perjanjian ekstradisi ini berlaku surut, memungkinkan koruptor RI yang sudah pindah warga negara tetap bisa dicokok. Sehingga koruptor, bandar narkoba, dan donatur terorisme tak bisa lagi sembunyi di Singapura.
 
Secara khusus, bagi Indonesia, pemberlakuan perjanjian ekstradisi dapat menjangkau secara efektif pelaku kejahatan di masa lampau. Juga, perjanjian ini bisa memfasilitasi penerapan Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Kedua negara sepakat untuk melakukan ekstradisi bagi setiap orang yang ditemukan berada di wilayah negara diminta dan dicari oleh negara peminta untuk penuntutan atau persidangan atau pelaksanaan hukuman untuk tindak pidana yang dapat diekstradisi.

Perjanjian ekstradisi ini akan menciptakan efek gentar (deterrence) bagi pelaku tindak pidana di Indonesia dan Singapura. Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura akhirnya ditandatangani setelah mulai diupayakan pemerintah Indonesia sejak 1998.
 
Adapun jenis-jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi menurut perjanjian ekstradisi ini berjumlah 31 jenis, di antaranya tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme, dan pendanaan kegiatan yang terkait dengan terorisme.

Indonesia juga berhasil meyakinkan Singapura untuk menyepakati perjanjian ekstradisi yang bersifat progresif, fleksibel, dan antisipatif terhadap perkembangan, bentuk dan modus tindak pidana saat ini dan di masa depan. Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura memungkinkan kedua negara melakukan ekstradisi terhadap pelaku tindak pidana yang meskipun jenis tindak pidananya tidak lugas disebutkan dalam perjanjian ini namun telah diatur dalam sistem hukum kedua negara

Dalam hukum internasional, ekstradisi merupakan sebuah proses di mana satu negara dapat meminta orang yang menurut hukumnya dinilai melakukan kejahatan meskipun yang bersangkutan berada di luar negeri.

Perjanjian ekstradisi biasanya menjadi dasar bagi suatu negara meminta pemulangan seorang tersangka yang berada atau tengah ditahan di negara lain. Orang yang diekstradisi termasuk yang telah didakwa atas kejahatan, tetapi belum diadili. Orang yang diadili tetapi berhasil melarikan diri dari penahanan, pun juga yang dihukum secara in absentia juga masuk dalam kategori yang bisa diekstradisi.

Dalam kasus lain, ekstradisi juga bisa dilihat sebagai sebuah proses di mana satu negara menangkap dan mengirim seseorang ke negara lain untuk penuntutan pidana atau menjalani hukuman penjara.
 
Ruang Lingkup Perjanjian Ekstradisi
 
Adapun ruang lingkup Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura adalah kedua negara sepakat untuk melakukan ekstradisi bagi setiap orang yang ditemukan berada di wilayah negara diminta dan dicari oleh negara peminta untuk penuntutan atau persidangan atau pelaksanaan hukuman untuk tindak pidana yang dapat diekstradisi.

Selain 31 jenis kejahatan tersebut, perjanjian tersebut bersifat adaptif. Artinya, berlaku terhadap jenis tindak pidana lain selama masih diatur dalam undang-undang ekstradisi kedua negara, baik yang berlaku sekarang atau yang akan datang.

Apabila pelaku kejahatan yang disasar ekstradisi berganti kewarganegaraan, maka hukum akan tetap berlaku. "Sebab, permintaan ekstradisi tidak dapat ditolak atas dasar kewarganegaraan apabila terkait dengan ketiga bentuk tindak pidana korupsi, penyuapan dan terorisme.

Sejumlah kalangan khawatir bahwa perjanjian ekstradisi yang diteken pemerintah ini menjadi barter dari perjanjian pertahanan (DCA) dan ruang kendali udara dengan Singapura. Anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi Demokrat, Didik Mukrianto, menegaskan bahwa kedaulatan negara tidak akan pernah sepadan jika ditukar dengan kepentingan apapun, termasuk buronan Indonesia di Singapura.

“Idealnya kedaulatan negara tidak boleh dibarter dengan kepentingan apapun jika itu merugikan Indonesia,” kata Didik. Dia mengatakan, pemberantasan korupsi adalah komitmen dunia, bukan hanya Singapura dan Indonesia. Dalam konteks perjanjian ekstradisi, Didik menilai idealnya RI dan Singapura saling bekerja sama dalam memberantas korupsi tanpa harus barter kepentingan lain.

Perjanjian ekstradisi ini sebelumnya pernah gagal diratifikasi DPR pada 2007. Ia mengatakan, saat itu ada pertimbangan yang cukup fundamental, sehingga DPR harus berhati-hati dalam membahasnya. Jika isi perjanjian-perjanjian tersebut mengancam kedaulatan dan merugikan Indonesia, mestinya kita tahu pilihannya, kedaulatan dan keselamatan negara di atas segalanya.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana melihat pemerintah terlalu menglorifikasi perjanjian ekstradisi seakan menjadi salah satu pencapaian yang langsung berlaku.

Padahal setiap penandatangan perjanjian ekstradisi masih harus diikuti dengan proses pengesahan atau ratifikasi oleh DPR. Setelah itu dilakukan pertukaran dokumen ratifikasi antara Indonesia dan Singapura, baru kemudian perjanjian ekstradisi berlaku.

"Glorifikasi sangat tidak berdasar jika Singapura masih mensyaratkan perjanjian ektradisi berlaku dikaitkan dengan berlakunya perjanjian pertahanan yang sangat berpihak pada kepentingan Singapura."

Pada 2007, kata dia, Presiden tidak mengirim surat Presiden ke DPR untuk pembahasan perjanjian ekstradisi karena publik tidak setuju dengan perjanjian pertahanan. Atas alasan tersebut perjanjian ekstradisi tidak pernah mendapat pembahasan, apalagi pengesahan dari DPR.

Hikmahanto mengingatkan bahwa glorifikasi sangat tidak berdasar karena belakangan Singapura sangat koperatif bila ada permintaan dari Indonesia terkait buron tertentu meski perjanjian ekstradisi belum efektif berlaku. Perubahan sikap Singapura ini karena Singapura tidak ingin dipersepsi oleh publik Indonesia sebagai tempat pelarian pelaku kejahatan kerah putih.

Analisis Hukum Pasal UU Ekstradisi

Secara hukum aturan dasar yang menjadi payung dari perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura adalah UU Nomor 1 Tahun 1979 yang mengatur tentang Ekstradisi. Dalam UU tersebut, jika melihat dari isi materi perjanjian ekstradisi dengan Singapura, ada beberapa pasal penting dalam UU ini yang harus sinkron dengan perjanjian ekstradisi tersebut, antara lain yakni;

a. Pasal 5 ayat 1, Ekstradisi tidak dilakukan terhadap kejahatan politik. Ayat 2, Kejahatan yang pada hakikatnya lebih merupakan kejahatan biasa daripada kejahatan politik, tidak dianggap sebagai kejahatan politik. Bagaimana pengaturannya jika tokoh kritis dari Indonesia yang selama ini menjadi oposisi pemerintah, lalu karena terus menerus diteror oleh berbagai pihak, akhirnya mengamankan diri di Singapura.

b. Pasal 6, Ekstradisi terhadap kejahatan menurut hukum pidana militer yang bukan kejahatan menurut hukum pidana umum, tidak dilakukan kecuali apabila dalam suatu perjanjian ditentukan lain. Kasus KKN dalam bisnis pengadaan Alutsista militer di Indonesia yang memakai perusahaan cangkang atau pihak ketiga yang juga punya basis di Singapura, bagaimana pengaturan dan eksekusi ekstradisinya kalau pelakunya tentara aktif dan penguasaan barang buktinya apakah sudah masuk dalam perjanjian ekstradisi yang baru ditandatangani ini. 

c, Pasal 13, Permintaan ekstradisi ditolak, jika kejahatan yang dimintakan ekstradisi, diancam dengan pidana mati menurut hukum negara peminta sedangkan menurut hukum Negara Republik Indonesia kejahatan itu tidak diancam dengan pidana mati atau pidana mati tidak selalu dilaksanakan, kecuali jika negara peminta memberikan jaminan yang cukup meyakinkan, bahwa pidana mati tidak akan dilaksanakan. 

Pelaku kasus Narkoba dan Terorisme yang di Singapura ancaman hukuman matinya jelas eksekusinya, sementara jika di Indonesia walau vonis hukuman mati bisa terjadi tapi dalam prakteknya eksekusi hukuman mati itu bisa berlarut-larut apalagi kalau ada proses Peninjauan Kembali (PK). Jika ada pemasok narkoba ke Singapura itu adalah bandar besar warga Indonesia, komit tidak Indonesia untuk mengekstradisi bandar itu ke Singapura. Diatur kah soal ini dalam perjanjian ekstradisi itu?

d. Dalam lampiran UU Ekstradisi, daftar kasus yang bisa diekstradisikan yaitu:

1. Pembunuhan

2. Pembunuhan yang direncanakan.

3. Penganiayaan yang berakibat luka-luka berat atau matinya orang, penganiayaan yang direncanakan dan penganiayaan berat.

4. Perkosaan, perbuatan cabul dengan kekerasan.

5. Persetubuhan dengan seorang wanita di luar perkawinan atau perbuatan-perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahui, bahwa orang itu pingsan atau tak berdaya atau orang itu belum berumur 15 tahun atau belum mampu dikawin.

6. Perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang yang cukup umur dengan orang lain sama kelamin yang belum cukup umur.

7. Memberikan atau mempergunakan obat-obat dan atau alat-alat dengan maksud menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang wanita.

8. Melarikan wanita dengan kekerasan, ancaman kekerasan atau tipu muslihat, dengan sengaja melarikan seseorang yang belum cukup umur.

9. Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur.

10. Penculikan dan penahanan melawan hukum.

11. Perbudakan.

12. Pemerasan dan pengancaman.

13. Meniru atau memalsukan mata uang atau uang kertas negeri atau uang kertas bank atau mengedarkan mata uang kertas negeri atau kertas bank yang ditiru atau dipalsukan.

14. Menyimpan atau memasukkan uang ke Indonesia yang telah ditiru atau dipalsukan.

15. Pemalsuan dan kejahatan yang bersangkutan dengan pemalsuan.

16. Sumpah palsu.

17. Penipuan.

18. Tindak pidana tindak pidana berhubung dengan kebangkrutan.

19. Penggelapan.

20. Pencurian, perampokan.

21. Pembakaran dengan sengaja.

22. Pengrusakan barang atau bangunan dengan sengaja.

23. Penyelundupan.

24. Setiap tindak kesengajaan yang dilakukan dengan maksud membahayakan keselamatan kereta api, kapal laut atau kapal terbang dengan penumpang-penumpangnya.

25. Menenggelamkan atau merusak kapal di tengah laut.

26. Penganiayaan di atas kapal di tengah laut dengan maksud menghilangkan nyawa atau menyebabkan luka berat.

27. Pemberontakan atau permufakatan untuk memberontak oleh 2 (dua) orang atau lebih di atas kapal di tengah laut menentang kuasa nakhoda, penghasutan untuk memberontak.

28. Pembajakan laut.

29. Pembajakan udara, kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan.

30. Tindak Pidana Korupsi.

31. Tindak Pidana Narkotika dan obat-obat berbahaya lainnya.

32. Perbuatan-perbuatan yang melanggar Undang-undang Senjata Api, bahan-bahan peledak dan bahanbahan yang menimbulkan kebakaran.

Sedangkan menurut perjanjian ekstradisi dengan Singapura ada 31 kasus yang disepakati. Dalam daftar lampiran UU Ekstradisi ada 32 jenis kasus. Satu kasus yang tidak dimasukkan dalam perjanjian ekstradisi dengan Singapura, kasus apa? Pemerintah Indonesia tidak transparan dalam mengungkap detil jenis kasusnya apa saja.

Secara khusus kasus yang membludak di Indonesia saat ini adalah kasus yang berkaitan dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik/ITE (Electronic Information and Transactions Law). Di Indonesia, untuk menjerat orang-orang yang kritis terhadap pemerintah, cara yang paling gampang dan ampuh adalah mengenakan delik hukum pelanggaran atas UU ITE. 

Singapura adalah salah satu negara otoriter yang demokrasinya masih tidak begitu baik kepada pihak oposisi. Lantas kalau ada tokoh kritis dari kedua negara yang menyelamatkan diri dan lari ke dua negara tersebut, apakah masuk dalam materi perjanjian ekstradisi ini. 

Harap diingat, Singapura terus menerus memperluas wilayah daratannya dengan mengimpor pasir laut dari Indonesia. Beberapa eksportir pasir ilegal juga berkontribusi untuk perluasan tersebut. Lantas kalau pelaku eksportir ilegal ini tersangkut kasus hukum di Indonesia dan lalu kabur ke Singapura, apakah pemerintah Singapura bersedia mengirimkannya ke Indonesia?.

Masih banyak hal yang perlu diperjelas dengan transparan dari isi materi perjanjian ekstradisi dengan Singapura ini. Rakyat berharap agar DPR jangan dengan gampang meratifikasi perjanjian ini. DPR harus membedah dan mengaudit bukan hanya materi perjanjian ekstradisi ini, tapi juga kaitannya dengan perjanjian FIR wilayah udara serta kompensasi wilayah kedaulatan Indonesia boleh dipakai menjadi wilayah latihan perang militer Singapura.

 

 

(Editor\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar