Desmond J.Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Menggiring Polri Dibawah Mendagri,Jalan Pintas Jauhkan Polri dari NKRI

Senin, 24/01/2022 05:28 WIB
Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (ist)

Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (ist)

Jakarta, law-justice.co - Akhir akhir ini usulan agar Polri berada di bawah kementerian kembali mengemuka. Sebelumnya gagasan ini sempat muncul di tahun 2014 yang lalu saat Jokowi dan Jusuf Kalla sepakat menjadi pasangan sebagai calon Presiden dan wakil Presiden Indonesia.

Pada awal kampanye Pilpres bulan Mei 2014, pasangan ini menyampaikan visi dan misinya. Diantara visi misinya  yang tertulis dalam dokumen pendaftaran di KPU, keduanya berkehendak untuk menata ulang kewenangan Polri yang penempatannya berada di bawah kementerian negara.

Jokowi-JK kalla saat itu mengatakan perubahan ini perlu dilakukan karena banyak hal yang tumpang tindih antara kewenangan pengambilan keputusan dengan kewenangan pelaksanaan kepolisian negara. "Dengan menempatkan Polri dalam Kementerian Negara yang proses perubahannya dilakukan secara bertahap," tulis Jokowi-JK dalam visi misi mereka yang dikutip media, Jumat (23/5/2014).

Tetapi entah kenapa, gagasan untuk menggiring Polri dibawah Kementerian negara itu tidak lagi terdengar kabar beritanya. Belakangan usulan mengenai Polri di bawah kementerian kembali mengemuka setelah Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Agus Widjojo mengusulkan dibentuknya lembaga setingkat menteri untuk merumuskan kebijakan nasional terkait fungsi keamanan negara.

"Dibutuhkan lembaga politik setingkat kementerian yang diberi mandat portofolio untuk merumuskan kebijakan nasional dalam fungsi keamanan dalam negeri," kata Agus, seperti dikutip Antara, Jumat (31/12/2021).

Dengan dibentuknya Lembaga setingkat Menteri tersebut nantinya Kementerian Dalam Negeri akan menaungi Kepolisian Republik Indonesia. Menurutnya, masalah keamanan memang masuk dalam portofolio Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).Namun karena tugas dan beban Mendagri sudah banyak sehingga perlu dibentuk Kementerian Keamanan Dalam Negeri dimana Polri berada di bawah koordinasinya.

Apakah penempatan Polri dibawah Kementerian Negara itu memang menjadi sesuatu yang baru di Indonesia ?, Apa yang melatarbelakangi sehingga muncul kembali gagasan untuk menempatkan Polri dibawah Kementerian Negara ?. Mungkinkah penempatan Polri di bawah Kementerian Negara itu bisa menjadi jalan pintas untuk menjauhkan institusi Polri dari “NKRI”(Negara Kepolisian Republik Indonesia) ?

Polri dibawah Mendagri

Saat ini aturan tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dituangkan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002. Terkait dengan kedudukan Polri, diatur pada Pasal 8 UU Nomor 2 Tahun 2002. Ayat (1) pasal 8 dinyatakan  bahwa Kepolisian RI berada di bawah presiden Republik Indonesia.  Kemudian, pada ayat selanjutnya disebutkan, "Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan" yang ada.

Dengan posisinya yang sekarang, institusi Polri ternyata babak belur dimata masyarakat ditandai dengan semakin menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada polisi yang selama ini menjadi penjaga dan pengayomnya. Setelah lebih dari 20 tahun reformasi , ternyata institusi Polri dinilai belum berubah sebagaimana harapan bersama.

Mungkin karena persoalan itu pula yang kemudian memunculkan gagasan untuk menempatkan Polri dibawah kementerian negara. Soal Polri yang dibawah Kementerian negara ini sebenarnya bukan menjadi hal baru di Indonesia.

Kalau kita buka lembaran sejarah, diawal awal kemerdekaan, polisi Indonesia sudah berada dibawah kementerian negara.  Saat itu polisi Indonesia punya kemiripan dengan polisi Jepang maupun zaman Hindia Belanda. Di zaman Belanda, kantor Hoofd van de Dienst der Algemene Politie (Kepala dinas kepolisan) berada di kantor Departemen Dalam Negeri (Depdagri) yang kemudian diteruskan saat Indonesia merdeka.

“Dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan tanggal 19 Agustus 1945 diambil ketetapan, bahwa Polisi termasuk lingkungan Departemen Dalam Negeri,” tulis M Oudang dalam Perkembangan Kepolisian di Indonesia (1952:65). Tjuk Sugiarso dalam Ensiklopedi Kepolisian, Tingkat Dasar (1986:9) menyebut di dalam Depdagri itu terbentuklah DKN (Djawatan Kepolisian Negara).

Orang yang ditunjuk memimpin Kepolisian di awal kemerdekaan adalah Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo. “Soekanto diperintahkan oleh Presiden Sukarno untuk membentuk Polisi Negara RI,” tulis buku Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia(2006:121) yang disusun Galuh Ambar Wulan dkk. Soekanto menjabat Kepala Kepolisian Negara (KKN) dari 29 September 1945 hingga 1959.

Di awal tugasnya sebagai KKN, Soekanto berada di bawah RAA Wiranatakoesoemah V, yang menjabat Menteri Dalam Negeri. Setelah November, atasan Soekanto ganti lagi, yakni Sutan Sjahrir, yang merangkap jabatan Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri, hingga bulan Maret 1946. Seperti dicatat dalam buku Bapak Kepolisian Negara Republik Indonesia: Jenderal Polisi R.S. Soekanto (2000:23-24), Soekanto punya pengalaman kerja sebagai polisi di masa kolonial Belanda. Bidangnya merentang, dari bagian reserse, lalu lintas, bahkan polisi politik macam Politieke Inlichtingen Dienst (PID), yang dikenal sebagai musuh kaum pergerakan nasional.

Ketika ibukota negara pindah, maka kepolisian pun ikut pindah, bukan ke Yogyakarta, tapi ke Purwokerto. Di Purwokerto inilah, muncul pemikiran untuk memulai polisi gaya baru yang benar-benar bersatu di bawah kepala polisi tingkat nasional. Di zaman kolonial, kepala polisi di Jakarta tidak mempunyai hubungan vertikal dengan kepolisian di tingkat provinsi, karesidenan, atau kabupaten, sebab Kepala Polisi di daerah berada di bawah kepala daerah setempat.

Soekanto pun mengajukan pertimbangan ke Perdana Menteri Sjahrir soal pentingnya Kepolisian Negera sebagai Kepolisian Nasional, bukan lagi per daerah. Maka, pada 1 Juli 1946, keluar Surat Penetapan No 11/S-D tahun 1946, yang mengeluarkan jawatan Kepolisian dari Depdagri untuk menjadi jawatan tersendiri di bawah kendali langsung Perdana Menteri—yang kala itu merupakan Kepala Pemerintahan. Tanggal keluar Polisi dari Departemen Dalam Negeri, sekarang dikenal sebagai Hari Kepolisian, atau Hari Bhayangkara.

“Sejak itu, jawatan Kepolisian melaksanakan tugasnya mencakup seluruh wilayah Republik Indonesia,” tulis buku Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia (2006:128). Setelah polisi lepas dari kepala-kepala daerah, maka dibentuklah Penilik Kepolisian yang berada di bawah kendali pusat kepolisian. Fungsinya adalah mengkoordinasikan polisi-polisi di daerah.

Wewenang para pejabat pamongpraja sebagai pejabat di bidang kepolisian pun semakin berkurang. Revolusi fisik kemerdekaan Indonesia 1945-1949, membuat polisi juga harus jadi kombatan pro Republik. Brigade Mobil (Brimob) adalah salah satu contoh kombatan di tubuh Kepolisian Negara.

 Pada akhir 1959, Soekanto digantikan oleh Soekarno Djojonegoro. Saat itu, Kepolisian akan dimasukkan ke dalam struktur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Setelah polisi lepas dari ABRI, meski banyak yang tak suka, polisi sempat berada di bawah Departemen Pertahanan Keamanan pada 1999. Pada 2000 akhirnya kepolisian kembali berada di bawah kepala pemerintahan, seperti di zaman Soekanto. Meski kini sudah tak lagi di bawah Depdagri, Kemendagri toh masih ada polisi di tubuh institusinya. Namanya: Satpol PP  aliasSatuan Polisi Pamong Praja.

Inikah Biangnya ?

Belakangan ini eskalasi ketidakpercayaan terhadap polisi semakin meningkat di Indonesia.Banyak kasus yang menjadi pemicunya seperti misalnya  laporan Project Multatuli tentang macetnya kasus pemerkosaan anak di Luwu Timur dan beberapa kasus lain yang melibatkan oknum Polri sebagai pelakunya.

Setelah itu cibiran dari massa terus bergulir di media sosial  karena munculnya kasus-kasus yang lainnya dari mulai pembantingan demonstran di Tangerang, dugaan pemerkosaan oleh Kapolsek di Parigi Moutong, oknum Polisi di kediri yang memperkosa mahasiswa hingga yang bersangkutan bunuh diri dipusara ayahnya, perdagangan narkoba dengan bandar di Asahan, adanya polisi yang menolak laporan warga dan masih banyak lagi yang lainnya. Bahkan ada kecurigaan aparat kepolisian telah menjadi alat rejim penguasa untuk mengamankan kekuasaannya.

Aroma tindak kekerasan yang dilakukan jajaran Polri masih sering menghiasi pemberitaan media massa .Dari laporan yang masuk ke Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), ada 3.539 korban penangkapan sewenang-wenang, 474 korban penyiksaan, dan tercatat setidaknya ada 52 orang meninggal dunia. Tidak hanya terhadap demonstran, polisi juga bertindak represif terhadap awak media.

Sementara itu Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) juga mencatat, banyak kasus kekerasan yang dilakukan polisi dalam setahun terakhir. Berdasarkan temuan KontraS, terdapat 651 kekerasan yang dilakukan polisi sejak Juni 2020-Mei 2021. KontraS juga mencatat, ada 390 kasus penembakan yang dilakukan personel Kepolisian atau 57,9 persen dari total tindak kekerasan dalam setahun terakhir. Penembakan tersebut merenggut nyawa 13 orang dan 98 orang lainnya mengalami luka-luka.

Rentetan peristiwa tersebut menunjukkan begitu banyak pekerjaan rumah dalam agenda reformasi Polri, terutama reformasi budaya kekerasan yang sudah mengakar bertahun tahun lamanya.Di samping kekerasan, kini Polri juga dikritik karena luasnya peran mereka dalam berbagai jabatan struktural, mulai dari kementerian, federasi olahraga, hingga PLT kepala daerah dibeberapa wilayah Indonesia. Hal ini membangkitkan ingatan kolektif masyarakat soal dwifungsi ABRI semasa Orde Baru berkuasa.

Dalam kaitan ini majalah Tempo mencatat sekurangnya ada 30 perwira polisi menduduki jabatan penting di lembaga pemerintah yang sekarang berkuasa. Sebagian lainnya duduk di kursi badan usaha milik negara alias BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Sebanyak 15 dari mereka menempati posisi komisaris di perusahaan pelat merah tersebut bahkan sebagian masih aktif sebagai perwira.

Adanya aparat keamanan yang menduduki jabatan sipil di masa Presiden Jokowi ini dinilai bak mengulang masa Orba berkuasa. Padahal, pada era reformasi, sejumlah regulasi telah dirombak agar supremasi sipil tidak lagi berada di bawah polisi atau tentara.

Pada hal Undang-undang menyebutkan bahwa polisi tidak boleh merangkap jabatan di luar tugas-tugas kepolisian, apalagi jika anggota polisi itu masih jenderal aktif  alias belum pension dari lembaganya. Pasal 28 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan,“Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian," begitu bunyi pasalnya.

Tapi pada kenyataannya ketentuan tersebut kemudian dilanggarnya dengan adanya beberapa perwira aktif Polri yang menduduki jabatan dilingkungan eksekutif sebelum masa pensiunnya tiba. Barangkali fenomena itulah yang kemudian menjadi salah satu parameter untuk menilai Polri telah gagal mereformasi dirinya. Dalam kaitan ini pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar pernah mengatakan, Polri telah gagal menjalankan reformasi dirinya. Perilaku aparat Polri menurutnya belum berubah meski proses reformasi telah berlangsung cukup lama.

“Posisi Polri yang saat ini dipisahkan dari TNI dan langsung di bawah presiden ternyata  malah menjadikan polisi anak emas yang  merupakan kegagalan dalam menjalankan reformasi,” ujar Bambang.

Keberhasilan reformasi Polri,  terang Bambang, selama ini hanya pernyataan subjektif dari Polri sendiri tanpa melibatkan lembaga lainnya.Perubahan di Polri, kata Bambang, malah lebih  banyak pada perubahan fisik semata seperti berdirinya gedung-gedung Polri yang megah, penambahan anggaran kerja hingga kelengkapan sarana prasarana . Padahal seharusnya perubahan mental yang diutamakan bukan yang lainnya.

Yang lebih mengkuatirkan lagi adalah adanya dugaan polisi telah menjadi alat rejim yang sedang berkuasa. Sinyalemen ini misalnya seperti diungkapkan oleh Lokataru Foundation yang menilai Polri masih menjadi alat politik bagi kepentingan penguasa. Kesimpulan tersebut diperoleh dari pengamatan dan pendalaman terkait kinerja Polri terutama paska Pemilu 2014 dan pemilu 2019 yang banyak memakan korba jiwa.

Manajer Program Lokataru Foundation Anis Fahratul Fuadah, menyatakan ketidaknetralan Kepolisian, terbukti setelah ditangkapnya 25 orang pendukung kubu Prabowo Subianto-Salahuddin Uno terkait kasus hoaks dan dugaan makar, sementara terhadap pendukung Joko "Jokowi" Widodo-Ma`ruf Amin yang melakukan hal serupa tidak mendapatkan sanksi apapun juga.

“Kedua misal kami mengadvokasi polisi yang mendapatkan pengerahan massa (mendukung paslon tertentu), kemudian kasus itu ditutup. Jadi kalau dilihat di lapangan secara kasat mata terlihat jelas bahwa ini masih jadi alat politik untuk presiden,” kata Anis di kantor Lokataru, Rawamangun, Jakarta Timur, Senin (1/7/19) seperti dikutip IDN Times.

Sinyalemen Polri telah berpolitik dan menjadi alat rejim yang sedang penguasa juga disampaikan oleh Asfinawati  Direktur YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia). Asfinawati mengkritisi sikap represif aparat kepolisian dalam menangani para demonstran atau massa yang berunjuk rasa menolak Omnibus Law Cipta Kerja di sejumlah daerah di Indonesia.

Menurut Asfinawati, tindakan represif polisi tidak terlepas dari instruksi pimpinan mereka. Saat rencana aksi nasional menolak RUU Cipta Kerja disahkan, Polri sudah lebih dahulu menginstruksikan jajarannya mencegah aksi protes terhadap UU sapu jagat itu terlaksana.

Perintah itu diberikan melalui sebuah telegram rahasia (TR) Kapolri yang kemudian bocor ke publik. TR Kapolri itu teregister dengan Nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 dan diterbitkan pada tanggal 2 Oktober dan ditujukan kepada para Kapolda.

"(Tindakan represif) ini sesuai dengan telegram Kapolri ya dan memang tampaknya tujuannya menggagalkan aksi," kata Asfinawati seperti dikutip Suara.com, Jumat (9/10/2020).Atas sikap represif aparat ditambah keberadaan TR Kapolri, Asfinawati memandang polisi bermain politik dengan menjadi alat dari pemerintah atau rezim yang sekarang berkuasa.

Berangkat dari fenomena yang dikemukakan diatas pada akhirnya memunculkan penilaian publik bahwa institusi Polri sudah begitu berkuasa di Indonesia sampai sampai ada yang memplesetkan akronim “NKRI” sebagai Negara Kepolisian Republik Indonesia.

Adalah deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Anton Permana ditangkap karena unggahannya di sosial media Facebook dan YouTube pribadinya. Anton Permana diketahui menggunggah status yang menyebut NKRI sebagai Negara Kepolisian Republik Indonesia di akun sosial media Facebook dan YouTube pribadinya.

"Yang bersangkutan menuliskan di FB dan YouTube. Dia sampaikan di FB dan YouTube banyak sekali. Misalnya multifungsi polri melebihi dwifungsi ABRI, NKRI jadi negara kepolisian republik indonesia," kata Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono di Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (15/10/2020) seperti dikutip media.

Menurutnya, unggahan itu sebagai bentuk penyebaran informasi bersifat kebencian dan SARA. "Disahkan UU Cipta Kerja bukti negara telah dijajah. Dan juga negara tak kuasa lindungi rakyatnya, negara dikuasai cukong, VOC gaya baru," jelasnya.

Menggiring Polri dibawah Mendagri

Ketika proses reformasi di tubuh Polri dinilai gagal maka mau tidak mau harus dilakukan upaya lain misalnya dengan  reposisi institusi kepolisian dibawah kementerian negara. Lembaga kepolisian ditempatkan dibawah Mendagri seperti yang diberlakukan di dibeberapa negaradi dunia.

Reposisi Kepolisian dibawah Mendagri, harus diakui sebagai  posisi yang sangat tidak menguntungkan bagi kepolisian, tetapi jika polisi gagal untuk melakukan reformasi ditubuhnya sendiri maka  ini menurut hemat saya merupakan pilihan yang paling baik yang perlu dipertimbangkan oleh Presiden dan DPR demi menyelamatkan kepolisian dan kemaslahatan bagi rakyat Indonesia.

Dengan menempatkan polisi di bawah Mendagri, hemat saya bisa menjadi upaya untuk mewujudkan polisi berwajah sipil yang selama ini menjadi dambaan seluruh warga bangsa.

Sejauh ini karakteristik kultur polisi saat ini yang banyak diwarnai sikap yang militeristik –yang memang menyimpang dari kultur polisi universal — agaknya hal itu tidak terlepas dari kultur politik makro nasional yang bernuansa birokratik, korporatif, dan militeristik ala tentara.

Agar hal serupa tak kembali terulang, mutlak dikembangkan budaya Polri yang berorientasi pada publik serta menggunakan pendekatan yang bercorak non-militeristik ala tentara. Artinya, budaya perseorangan aparat polisi harus didasarkan pada budaya organisasi (corporate culture). Sebab budaya polisi diwarnai oleh pelaksanaan tugas polisi yang bersifat perseorangan (the policemen’s working personality) yang diwarnai oleh lingkungannya (sociaty generated culture).

Di samping itu, guna mewujudkan keberadaan polisi sipil, Polri dituntut mampu menghilangkan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi di berbagai institusi kepolisian negara mana pun juga. Untuk menjadi polisi yang benar-benar sipil, mengutip pendapat AC German, hendaknya polisi kian menjauhkan diri dari hal-hal yang berbau militer dan selalu ingin berjabat tangan dengan masyarakatnya (moving away from military configuration and shaking hands with the entire community).

Polisi sipil bukan merupakan polisi kekuasaan, melainkan lebih mengedepankan kesopanan dan keramahan. Pendekatan kemanusiaan dalam konsep kepolisian sipil adalah pada pengakuan polisi terhadap setiap individu yang berhubungan dengan polisi sebagai fitur yang memiliki martabat serta harga dirinya.

Untuk mewujudkan polisi sipil memang harus dibangun secara terencana. Polri harus berupaya keras mewujudkan pola kerja yang menyalami dan merangkul masyarakatnya. Bahkan, berkaitan dengan persoalan internal institusi, Polri juga harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan perbaikan moral anggota, kebersamaan antarsesama anggotanya. Sehingga tercipta polisi sipil yang benar-benar tidak lagi dipengaruhi gaya militer, melainkan lebih menekankan semangat pelayanan dan pengayoman kepada warga negara yang menjadi “tuannya”.

Yang lebih penting dari itu semua adalah upaya untuk menjauhkan eksistensi Lembaga kepolisian dari keberpihakannya kepada pemilik modal, menjadi alat kekuasaan dan ikut ikutan berpolitik untuk kepentingannya. Sebab kalau ini benar benar terjadi maka sinyalemen NKRI (Negara Kepolisian Republik Indonesia) memang benar adanya. Oleh karena itu untuk mencegah fenomena ini terjadi, jajaran Polri bukan hanya semata mata menjalankan agenda reformasi yang telah dicanangkannya tetapi perlu dipikirkan habitat barunya. Mungkinkah dengan penempatan Polri dibawah Mendagri menjadi salah satu solusinya ?.

 

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar