Polisikan Sejarawan RI karena Tolak Istilah `Bersiap`, FIN Buka Suara

Kamis, 20/01/2022 11:18 WIB

Jakarta, law-justice.co - Karena pernyataan opininya dalam sebuah surat kabar lokal yang dianggap memalsukan sejarah kelam Indonesia-Belanda, Pegiat Sejarah asal Indonesia, Bonnie Triyana, dilaporkan ke kepolisian Belanda.

Bonnie, sebagai salah satu kurator tamu, memutuskan meniadakan istilah `bersiap` dalam pameran perjuangan RI menghadapi kolonialisme Belanda periode 1945-1947 yang digelar Rijksmuseum, Amesterdam. Pameran itu akan dibuka 11 Februari-22 Juni mendatang.

Dalam memori kolektif di Indonesia, periode itu dikenal sebagai Agresi Belanda, sementara di Belanda mengenang periode itu sebagai `Periode Bersiap`. Menurut sebagian pihak di Negeri Kincir Angin banyak serdadu Belanda tewas selama periode itu.

"Menolak istilah Bersiap sama saja seperti menolak fakta Holocaust (pembantaian umat Yahudi Eropa oleh tentara Nazi Jerman saat Perang Dunia II), menolak kejahatan terhadap kemanusiaan, menolak kejahatan perang yang dalam beberapa kondisi di Belanda bisa dihukum," kata juru bicara Federasi Indo-Belanda (Federatie Indische Nederlanders/FIN), Michael Lentze, kepada CNNIndonesia.com pada Selasa (19/1).

"Dan kami meyakini dalam kasus ini, Bapak Triyana telah melanggar hukum," paparnya menambahkan.

FIN merupakan salah satu pihak yang menuntut Bonnie atas pernyataannya itu ke kepolisian Belanda. Lentze menuturkan tuntutan FIN telah diserahkan kepada Jaksa Belanda.

"FIN telah melayangkan tuntutan terhadap bapak Bonnie Triyana karena dalam artikel opini di koran Belanda NRC, di mana dia mengajukan untuk meniadakan kata Bersiap dalam pameran yang termasuk sikap penyangkalan terhadap (sejarah) Periode Bersiap," papar Lentze.

"Kami yakin (penuntutan) yang akan dilakukan Jaksa Penuntut Umum Belanda," ujarnya menambahkan.

Dalam ed-op (editorial opinion) ditegaskan tim kurator memutuskan untuk tidak menggunakan kata bersiap sebagai istilah umum yang mengacu pada masa kekerasan di Indonesia pada masa revolusi.

Bonnie menilai istilah `Bersiap` yang digunakan hanya akan menebalkan cap sentimen rasialisme terhadap orang-orang Indonesia semasa periode 1945-1947. `Periode Bersiap`, dalam pandangan Bonnie, selalu menampilkan narasi tentang wajah orang Indonesia yang primitif, biadab, serta tersulut kebencian ras.

"Padahal akar persoalannya adalah ketidakadilan yang diciptakan kolonialisme, yang membentuk struktur masyarakat yang hierarkis secara rasial guna menyelubungi eksploitasi terhadap koloninya," tulis Bonnie dalam sebuah artikel opini di situs NRC, 10 Januari 2022.

Argumentasi Bonnie diungkapkan melalui sebuah fakta-fakta sejarah yang tertulis mengenai kebencian ras yang terjadi di Semarang, Banten, hingga Sumatra. Sebuah kondisi saat kebencian rakyat membuncah terhadap orang-orang Belanda, Tionghoa, hingga pribumi yang mendapat istilah `kolaborator Belanda` seperti aristokrat, wedana, hingga kesultanan.

Sementara itu, FIN menilai apa yang dilakukan Bonnie dan aksinya dalam pameran Rijksmuseum adalah sebuah pemalsuan sejarah.

FIN mengingatkan banyak serdadu Belanda yang tewas usai dibebaskan dari kamp tawanan perang usai Jepang minggat dari Nusantara.

Pihak Rijksmuseum sendiri menegaskan bahwa pameran tersebut berfokus pada memori tentang pengalaman pribadi orang-orang yang terperangkap "dalam konflik besar" dari pada masalah rasa bersalah.

Ketua Panitia Pameran Perang Kemerdekaan RI di Rijkmuseum, Jacobien Schneider, mengatakan ada kesalahpahaman menyusul pernyataan opini Bonnie dalam koran NRC.

"Kami jelaskan bahwa Rijksmuseum dan kuratornya sama sekali tidak menyangkal kekerasan dan penderitaan yang dimaksud dengan istilah tersebut atau rasa sakit yang dirasakan oleh banyak orang hingga hari ini," ucap Schneider saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com.

"Pameran mengakui dan menyajikan baik kekerasan yang terjadi pada periode ini terhadap rakyat Indonesia maupun kekerasan yang terjadi terhadap pihak Belanda atau penduduk lainnya dalam periode yang sama. Tanpa bermaksud tidak menghormati para korban kekerasan, kami berpikir bahwa satu istilah khusus untuk semua kekerasan yang terjadi selama periode tersebut tidaklah cukup," ucapnya menambahkan.

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar