Febri Diansyah, S.H.

Kekuatan Politik Hambat Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Rabu, 19/01/2022 23:31 WIB
Mantan aktivis ICW dan mantan Juru Bicara KPK, Febri Diansyah (ist)

Mantan aktivis ICW dan mantan Juru Bicara KPK, Febri Diansyah (ist)

Jakarta, law-justice.co - Sore itu, kantor Visi Law Office di bilangan Tebet Jakarta Selatan terlihat sepi dari luar. Namun di dalamnya ada sejumlah orang yang sedang membahas sesuatu di ruang rapat. Dari ruang tamu, ruang rapat tersebut dibatasi pintu kaca berwarna putih susu. Tak terlihat aktivitas di dalamnya, yang terdengar hanya sayup-sayup beberapa orang berbicara.

Setelah menunggu sekitar setengah jam, keluar seorang pria berpostur tinggi, tinggi berambut pendek dan memakai kemeja kotak-kotak lengan panjang berwarna putih. Dia adalah Febri Diansyah, mantan peneliti di ICW dan juga mantan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi. Kini ia mengelola kantor hukum yang diberi nama Visi Law Office bersama sejumlah rekannya.

“Maaf yah mas, jadi menunggu lama,” sapa Febri kepada law-justice.co ketika keluar dari ruang rapat. 

Setelah itu obrolan mengalir deras. Ia bercerita mengenai kantor Visi Law Office yang kini ia jalani bersama teman-temannya. Menurut dia, kantor hukum ini tak hanya menangani perkara litigasi dan nonlitigasi. Tapi kantor hukum ini juga tetap concern dengan isu-isu sosial, salah satunya adalah isu antikorupsi.

“Kantor ini juga menjadi alat perjuangan kami dalam memerangi korupsi, terutama dalam mendampingi korban dari praktik korupsi,” jelas Febri.


Febri Diansyah saat menjadi Juru bicara di lembaga KPK (Dok.ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

Nama Febri Diansyah seakan tidak bisa dilepaskan dari gerakan antikorupsi di Indonesia. Jiwa tersebut seakan sudah mendarah daging dalam dirinya. Publik mengenalnya sebagai Kepala Biro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi, atau Juru Bicara KPK, pada rentang waktu 2016 hingga 2020. Ketika itu wajahnya kerap tampil di hampir semua media massa, baik cetak maupun elektronik. Ia menjadi orang terdepan yang berhadapan dengan masyarakat, menjelaskan setiap detil kasus korupsi yang tengah ditangani oleh KPK.

Berkenalan dengan antikorupsi

Febri Diansyah mengenal nilai-nilai antikorupsi sejak dini, tepatnya berawal dari keluarga. Kepada law-justice.co Febri bercerita, ketika masih berusia 5 tahun, ia sering di ajak jalan-jalan dengan ayahnya, mengelilingi kota kelahirannya, Padang, Sumatera Barat. Momen kebersamaan itu digunakan sang ayah untuk menanamkan pemahaman mengenai isu-su sosial yang dekat dengan kehidupannya sehari-hari.

Salah satunya ketika mereka melihat fasilitas umum yang rusak, padahal baru saja dibangun oleh pemerintah setempat. Kepada Febri, ayahnya menjelaskan, fasilitas umum yang rusak tersebut tidak hanya sekadar rusak, melainkan ada penyebabnya. Salah satunya adalah anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukkannya.

“Yang harusnya dibangun dengan dana (misalnya) 10, tapi yang keluar hanya 6 atau 8. Itu semua dijelaskan sambil ngobrol, naik vespa,” kenang Febri Diansyah.

Dari sana, perlahan, kesadaran pria kelahiran 8 Februari 1983 ini mengenai isu-isu sosial, seperti korupsi mulai terbangun. Ia mulai peka dengan kondisi lingkungannya. Serentet pertanyaan muncul dalam benak Febri, ketika melihat ada jalan rusak, sekolah rusak atau jembatan rusak.

Awalnya tak tertarik dengan Ilmu Hukum

Meski dimulai sejak dini, kesadaran Febri Diansyah mengenai isu-isu korupsi sempat redup sesaat. Ketika menginjak jenjang pendidikan di Sekolah Menegah Atas, ia mengambil jurusan IPA yang jauh dengan isu-isu sosial, seperti korupsi. Kepada law-justice ia bahkan mengaku tidak tertarik dengan ilmu hukum, sampai menginjak jenjang pendidikan di perguruan tinggi.

“Mungkin karena belajar eksak, ketika kuliah inginnya masuk jurusan teknik, kimia atau fisika. Saya salah satunya yang berpikir seperti itu dulu,” kata Febri.

Ketika mengikuji Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), Febri memilih tiga jurusan, yakni Teknik Kimia, Teknik Nuklir dan Manajemen. Tak disangka ia malah diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Andalas jurusan Manajemen. Namun ternyata di sinilah kesadaran antikorupsi yang dulu pernah tumbuh saat kecil, kembali membuncah.


Febri Diansyah bekas juru bicara KPK yang kini berkarir sebagai penasehat hukum (Dok.Pribadi)

Febri bercerita, kala itu ia bergabung dengan organisasi kemahasiswaan, yakni pers kampus. Di sana ia aktif menulis dan melakukan liputan dengan beragam tema. Karena itu pula ia bersentuhan dengan banyak realita. Salah satunya adalah adanya ketimpangan hukum di masyarakat, sehingga membuat orang yang lemah kerap kali kalah. Salah satunya ia mencontohkan korban penggusuran yang ia temui saat liputan.

Dari pengalaman di pers kampus itulah keinginan untuk terjun dan berperan ranah hukum lebih intens muncul dalam dirinya.

“Saat itu saya berpikir, ilmu ekonomi yang saya pelajari mungkin tidak terlalu bisa dimanfaatkan untuk menghadapi beragam persoalan ketimpangan hukum tersebut,” jelas Febri.

Karena itulah, pada semester tiga, atau tepatnya pada 2002, ia kembali mengikuti UMPTN. Pilihan pertamanya adalah Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan ia diterima disana. Awalnya, orang tua Febri sempat mempertanyakan keputusannya itu. Pindah jurusan setelah dua tahun menjalani kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Andalas. Tak hanya itu, Febri juga harus berada jauh di pulau Jawa, sementara orang tuanya ada di Sumatera.

Namun setelah diberi penjelasan, orang tua Febri bisa memahami dan mengikhlaskan anaknya menempuh pendidikan di Universitas Gajah Mada Yogyakarta.  

Jatuh bangun kuliah di Yogyakarta

Bisa berkuliah di jurusan yang diinginkan, ternyata tidak selamanya berjalan mulus. Ada saja hambatan yang ia temui ketika menginjak semester pertama. Febri mengaku, awalnya ia agak kesulitan untuk beradaptasi logika-logika hukum, karena latar belakangnya sebagai anak eksak. Ia bahkan mengaku pernah mendapatkan nilai C untuk mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum.

“Padahal saya merasa sudah belajar dengan maksimal,” kenangnya sambil tersenyum.

Namun kegagalan itu tidak mematahkan semangatnya. Karena tekadnya sudah bulat, ia terus jalani dan nikmati setiap proses yang ia lalui.

Namun hambatan kembali ditemui ketika menginjak semester tiga. Febri terpaksa mengambil cuti kuliah selama setahun, karena faktor biaya. Uang di kantong semakin menipis, sehingga berpengaruh pada biaya kuliahnya. Ia lalu kembali ke kampung halamannya di Kota Padang, Sumatera Barat, dan bekerja di berbagai bidang.

Ia bercerita, demi menabung untuk meneruskan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, ia pernah bekerja sebagai desain grafis koran lokal. Ia juga pernah membuka usaha percetakan, seperti cetak kartu nama, sablon kaos dan kop surat. Selama satu tahun ia menggeluti beragam pekerjaan tersebut. Setelah uang terkumpul, ia lalu kembali ke Jogja untuk melanjutkan studinya.

Kembalinya Febri ke Jogja bukan berarti masalah ekonominya selesai. Di tengah studinya, soal keuangan masih menjadi masalah yang ia hadapi, utamanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk menyiasatinya, Febri mengambil pekerjaan sampingan di sela-sela waktu kuliahnya. Salah satunya terlibat dalam sejumlah penelitian mengenai hukum bersama para dosen, diantaranya Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar. Keduanya adalah pendiri dan peneliti di Pusat Kajian Anti Korupsi atau Pukat UGM.

Semasa kuliah, Febri juga aktif di organisasi Indonesia Court Monitoring (ICM), sebuah lembaga pengawasan peradilan di Yogyakarta. Alasan Febri mengikuti organisasi tersebut untuk mengasah ilmu hukumnya yang didapat di bangku kuliahnya, sekaligus mendapatkan uang saku tambahan. Ia masih ingat, dalam sekali memantau sidang, ia diberi upah Rp5 ribu perhari.

“Lima ribu saat itu nilainya cukup besar di Jogja, bisa untuk tiga kali makan dalam sehari pakai ayam,” kenangnya.

Penyeimbang di saat kuliah

Satu hal yang menarik dari diri Febri Diansyah, bahwa dirinya memiliki sisi lain yang mungkin belum banyak diketahui orang. Kepada law-justice.co, ia mengaku memiliki ketertarikan di bidang seni teater. Karena itulah, ketika berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, ia juga bergabung dengan unit kegiatan mahasiswa (UKM) di bidang teater, yang bernama Sanggar Kesenian APAKAH di Fakultas Hukum UGM.

Menurut Febri, katertarikannya pada seni teater menurun dari sang ayah, yang juga seorang seniman teater. Meski begitu, ayah Febri sempat melarangnya untuk turut terjun dalam seni teater. Sebab, menurut sang ayah, jika Febri telah terlanjur menikmati dunia seni, maka dia bisa lupa dengan isu-isu sosial yang ada di sekelilingnya.

Namun Febri tetap bergabung dengan sanggar seni teater tersebut. Tujuannya hanya untuk menjadi penyeimbang diri ketika menempuh pendidikan di fakultas hukum. Ia tak mau terlalu tenggelam dalam keseriusan dalam menghadapi doktrin hukum, pasal-pasal atau studi kasus. Dengan bermain teater, Febri mengaku mendapatkan keseimbangan hidup.

Keterlibatannya dalam sanggar APAKAH FH UGM tak tanggung-tanggung, ia mengaku pernah mengikuti sejumlah pementasan teater. Sambil menerawang, ia mencoba mengingat-ingat peran pertama yang ia lakoni dalam pentas teater tersebut. Sekejap ingatannya kembali. Ia lantas bercerita, karakter pertama yang ia perankan di atas pentas teater adalah sebagai orang gila.

“Judul teaternya waktu itu Wong Edan. Pesannya, jika semua orang adalah gila, maka yang waras bisa jadi dianggap gila,” cetus Febri sambil mengingat peran pertamanya itu.

Kiprah setelah lulus kuliah

Febri Diansyah menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada 2007. Tak lama setelah itu ia bergabung dengan LSM pemantau korupsi, ICW, sebagai peneliti. Bergabungnya Febri di ICW berkat informasi dari Zainal Arifin Mochtar, yang menyatakan saat itu ICW sedang membutuhkan orang untuk menyusun laporan bayangan (Shadow Report) dari Konferensi PBB ke dua tentang Antikorupsi di Bali.

Shadow report adalah laporan PBB versi masyarakat sipil. Menurut Febri, dalam sebuah perhelatan setingkat PBB, setiap negara akan membuat laporan. Namun terkadang laporan tersebut belum menyentuh aspek riil di masyarakat.

“Karena itu masyarakat sipil juga membuat laporan tersebut dalam versi mereka,” jelas Febri.

Berawal dari sanalah ia lantas meneruskan karirnya di ICW hingga menjadi peneliti di Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan. Selain terkait dengan disiplin ilmu hukum yang ia pelajari, lembaga tersebut juga cocok untuk menyalurkan aspirasi kritisnya terhadap isu-isu Antikorupsi.  

Febri mengaku sangat menikmati pekerjaannya sebagai peneliti di ICW. Ia bahkan sampai menolak tawaran dari sejumlah kantor hukum besar, hanya untuk fokus pada isu-isu antikorupsi. Namun ia menolak untuk menyebutkan kantor hukum yang ia maksud tersebut.

Berikprah di lembaga yang fokus dalam isu antikorupsi memiliki tantangan tersendiri. Sebab isu korupsi kerap bersinggungan dengan kekuasaan atau kepentingan orang-orang berpengaruh. Karena itu Febri seringkali menerima somasi dan bahkan dilaporkan ke polisi atas kerjanya di ICW. Saking seringnya, Febri sampai lupa berapa kali ia menerima somasi dan laporan tersebut.

Namun ia tidak mengambil pusing hal tersebut. Ia menganggapnya sebagai risiko dari pekerjaan. Sebab ia yakin betul dengan data yang dimiliki. Selain itu ia menganggap salah satu fungsi pekerjaannya adalah mengawasi kekuasaan. Dan sejumlah pelaporan tersebut tak jarang datang dari bagian kekuasaan yang terusik.

“Pelaporan-pelaporan itu hampir menjadi bagian dari perjalanan ICW. Peneliti lain juga banyak yang mengalami hal serupa, tapi kami hadapi saja semua itu,” tandas Febri.

Melangkah ke gedung KPK

Setelah lima tahun menjadi bagian dari LSM pemantau korupsi, ICW, Febri Diansyah memutuskan untuk mengambil sebuah langkah besar, yakni bergabung dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada 2012, ia ikut seleksi di KPK. Awalnya ia mengincar posisi penyidik. Namun di tengah jalan, ternyata posisi penyidik tak ada, tapi yang ada adalah penyelidik. Meski begitu Febri tetap mengikuti keseluruhan proses seleksi, hingga tahap akhir.

Ia kemudian dihubungi oleh panitia seleksi untuk wawancara kembali untuk posisi di bagian pencegahan. Akhirnya ia diterima di direktorat gratifikasi.

“Saat itu saya berpikir berkontribusi disana, ilmu hukum yang saya pelajari juga bisa terpakai,” kata Febri.


Gedung KPK (Vertanews.id)

Tiga tahun kemudian, posisi Juru Bicara KPK kosong, karena jubir terdahulu, Johan Budi naik menjadi deputi dan Plt Pimpinan dan kemudian selesai dari KPK. Febri lantas diminta oleh salah satu pimpinan untuk mendampingi Johan Budi di bagian humas. Permintaan ini ternyata adalah “kaderisasi” Febri untuk menjadi juru bicara. Setelah itu ia diminta untuk mendaftar ke bagian humas agar resmi menjadi Juru Bicara KPK.

“Awalnya saya tidak mau, karena niat awal saya bergabung di KPK adalah menjadi penyidik,” kenang Febri. Salah satu pertimbangan Febri menolak menjadi juru bicara adalah soal waktu. Ia sadar betul, menjadi juru bicara, terlebih untuk lembaga seperti KPK, tentunya akan menyita banyak waktu. Ini bisa membuat ia kehilangan banyak momen dengan keluarganya tercinta.

Namun karena kebutuhan lembaga, ia mengambil kesempatan pindah ke bagian humas untuk menjadi Juru Bicara KPK. Tapi keputusan itu ia ambil setelah mendapat restu dari sang istri. Akhirnya Febri mendaftar untuk pindah ke bagian humas. Dan setelah melewati serangkaian tes, pada Desember 2016, Febri Diansyah resmi menjadi Kepala Biro Humas KPK, yang salah satu tugasnya adalah menjadi juru bicara lembaga antirasuah tersebut.

Senja di KPK

Sebagai juru bicara, Febri Diansyah dituntut untuk paham betul setiap jengkal kasus yang ditangani KPK. Karena ia adalah orang pertama yang harus menjelaskan kepada publik mengenai kasus-kasus tersebut. Alhasil, ia mengerti betul bagaimana kerja KPK, termasuk hambatan-hambatan yang ada di depannya.

Febri mengatakan, ada sejumlah kasus di KPK yang mangkrak atau terhambat penyelesaiannya hingga kini. Febri menyebut beberapa kasus, diantaranya kasus dugaan korupsi pengadaan Helikopter AW 101, pada 2017. Kasus tersebut diduga merugikan negara sebesar Rp220 miliar. Menurut Febri, dulu KPK terkendala menangani kasus tersebut dalam hal pemeriksaan.

Febri juga menyebut kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dimana saat itu KPK menemui kendala dalam hal pemeriksaan karena tersangka berada di Singapura. Hambatan juga datang ketika terdakwa yang pertama diajukan diputus lepas di Mahkamah Agung.

Namun itu hanya sekelumit hambatan yang ditemui KPK dalam penanganan kasus-kasus korupsi. Menurut Febri, hambatan terbesar dalam kerja KPK adalah belum maksimalnya dukungan politik. Ia mengatakan, sebenarnya masih banyak yang bisa dilakukan KPK dalam hal pemberantasan korupsi, jika dukungan politik terhadap lembaga tersebut kuat. Namun hal itu tidak terjadi karena, menurut Febri, kalangan politik atau politisi khawatir jika arus pemberantasan korupsi semakin besar dan “memakan” diri mereka sendiri.

Ia mencontohkan Undang-undang KPK yang dibuat oleh DPR, namun banyak anggota DPR yang ditangkap oleh KPK.

“Sekarang pertanyaannya, kekuatan politik mana yang mau membesarkan ‘anak macan’ yang akan memangsa diri mereka sendiri?” urai Febri.

Hal itulah kemudian yang membuat banyak terjadi upaya pelemahan terhadap KPK, bahkan hingga kini. Puncaknya adalah ketika revisi Undang-undang KPK diketok di DPR pada 2019 lalu, di mana didalamnya sejumlah kewenangan KPK dikebiri. Ini membuah upaya pemberantasan korupsi jadi terhambat.

Febri bercerita, saat itu ia dan sejumlah rekannya di KPK merasa sudah semakin tidak percaya dengan dukungan politik di Indonesia terhadap pemberantasan korupsi. Ia dan sejumlah rekannya yang resah merasa, revisi UU KPK tersebut akan menjadi titik balik kekuatan lembaga tersebut.

“Namun saat itu kami berusaha bertahan dan berharap ada perubahan,” kata Febri.

Setahun kemudian, Febri merasa tidak ada perubahan dalam KPK. Ia mulai bertanya pada diri sendiri, apakah dirinya bisa berkontribusi maksimal dalam upaya pemberantasan korupsi di tengah semua perubahan yang terjadi di KPK?

Terlebih saat itu ia menerima gaji yang cukup tinggi sebagai Kepala Biro Humas. Ia merasakan adanya beban moral, sebab gaji yang ia terima berasal dari APBN, yang notebene adalah uang rakyat. Akhirnya Febri Diansyah memutuskan untuk berhenti dari KPK.

Ia sudah pikirkan matang-matang mengenai hal tersebut. Perasaannya campur aduk, namun kesedihan lah yang paling dominan.

“Seperti orang putus cinta,” kata Febri sambil tersenyum,

Setelah surat pengunduran diri selesai dibuat, ia serahkan surat tersebut ke tiap pimpinan KPK. Sebelum pamit dari gedung Merah Putih, di hadapan para pimpinan, ia menyatakan tidak akan pernah meninggalkan KPK dalam arti yang sebenarnya.

“Kecintaan saya terhadap KPK akan terus ada, baik itu ketika saya ada di dalam lembaga, maupun di luar lembaga,” papar Febri.

Menurut dia, ketika berada di luar KPK, ia dan masyarakat akan terus memantau lembaga tersebut. Dan itu merupakan salah satu bukti kecintaanya pada KPK dan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Setelah itu hidup Febri Diansyah terus berlanjut. Kini ia menjalankan kantor hukum yang diberi nama Visi Law Office bersama sejumlah rekannya. Di sela-sela pekerjaannya, ia banyak menghabiskan waktu dengan keluarga.

Ia juga menyalurkan hobinya memelihara hewan, terutama ikan dan kucing. Namun di balik itu semua, ia selalu optimis jika upaya pemberantasan korupsi di Indonesia akan terus ada.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(Rio Rizalino\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar