Nanik S Deyang

Ironis, Mereka yang Menentukan Siapa Presidennya

Rabu, 19/01/2022 09:19 WIB
Ilustrasi Baju Dina DPRD. (cnn).

Ilustrasi Baju Dina DPRD. (cnn).

Jakarta, law-justice.co - Dengan penghasilan 500T per tahun, sangat mudah bagi mereka membiayai pemenangan Capres sebesar 50T

Semalam saya enggak bisa tidur ada kemarahan yang membuncah, ingin nulis tapi malas ngetiknya akibatnya saya nggak bisa tidur tenang.

Saya susah dan capai mikir kartel sawit (CPO) yang berakibat harga minyak goreng dalam negeri tinggi, dan pemerintah seperti tidak berdaya. Sudah seminggu lebih pemerintah mengumumkan akan menggrojok 1,2 miliar liter, tapi sampai sekarang penetrasi itu belum dirasakan rakyat.

Saya makin senewen dan seperti hilang harapan saat pengamat ekonomi dari UI, Faisal Basrie mengatakan, bahwa para pengusaha batu bara yang mengeruk dari perut bumi pertiwi itu pendapatannya tiap tahun 500 Triliun!

Atau seperempat APBN kita. Dan buat mereka kecil kalau hanya mengeluarkan 50 Triliun untuk memenangkan Presiden dan Wapres yang mereka inginkan.

Hati saya ngilu sengilu-ngilunya, betapa kayanya sebetulnya Indonesia. Dari batu bara saja setahun bisa menghasilkan 500 Triliun, tapi hasil bumi dari perut bumi itu tidak dinikmati rakyat karena yang punya hanya segelintir konglomerat. Coba masuk kas negara 10 tahun saja kita sudah gak punya utang LN.

Berkali -kali saya memukul kepala saya, kenapa kekayaan alam yang luar biasa itu kok tidak dikelola BUMN, biar hasilnya masuk kas negara. Seperti Iran ( saya tak ngomong Syiahnya tapi saya ngomong bagaimana dia mengelola kekayaan alamnya). Di Iran semua kekayaan alam dikelola BUMN .

Tak heran di tahun 1990-an , Iran meski di embargo sama Amerika dan beberapa sekutu AS, cuek bebek aja , karena semua kekayaan alamnya dikelola BUMN sehingga kas negaranya gemuk, bahkan hutang luar negerinya 0 (nol).

Bayangkan Iran yang luasnya seuprit dan praktis hanya punya minyak saja sebagai kekayaan alamnya bisa gak punya utang LN, dan rakyatnya makmur, karena kekayaan alamnya semua dikelola BUMN.

Lha kita punya wilayah yang begitu luas, dengan kekayaan alam yang luar biasa melimpah ruah, tiap tahun menghasilkan ribuan triliun cuan tapi gak masuk kas negara, tapi masuk kantong konglomerat.

Dan setelah masuk ke kantong konglomerat maka sebagian duit itu untuk membiayai politik, membiayai Capres dan Cawapres yang mereka kehendaki, membeli partai, dan sebaliknya "membunuh" partai yang membahayakan akan jadi dominan.

Membiayai pengamat, media, lembaga survei , buzzer dan berbagai lembaga pemerintahan untuk menyokong skenario politik mereka, dll. Dan begitu terus bertahun-tahun , hingga sebetulnya demokrasi di Indonesia itu sebetulnya tinggal jargon saja.

Kembali ke laptop soal batu bara, PLN megap-megap mau mati karena kekurangan batu bara, sementara konglomerat pesta pora mengekspor batu bara yang sekarang harga nasionalnya memang tinggi.

Kebijakan Pak Jokowi sebetulnya luar biasa, dengan menyetop kran ekspor selama 1 bulan, mungkin Pak Jokowi mau uji coba reaksi pengusaha, dan benar saja LBP yang juga salah satu pemain bisnis batu bara atas nama pemerintah sebagai Meninves seminggu kemudian membuka kembali kran ekspor batu bara.

Sebenarnya masih ada cerita yang mengusik hati yaitu soal mafia perempuan berdarah Tionghoa yang beroperasi di wilayah Kalimantan yang kemarin saat rapat Menteri ESDM dengan Komisi VII DPR diungkap oleh anggota DPR RI.

Mereka bisa menangguk duit trilyun tanpa punya tambang, berarti ini ada pertambangan ilegal. Ah entahlah semalam saya diingatkan oleh teman. "Dey mereka itu backingnya orang-orang kuat nggak tersentuh, gak usah lu tulis deh".

Ah capai dengan negeri ini, oligarki mengangkangi, mafia dibekengi alat negara, jadi sesungguhnya rakyat itu dapat apa? Dapat banjirnya, dapat jalan yang rusak, dapat miskinnya, dapat asapnya, dapat bencananya, dapat susahnya mencari kehidupan karena perekonomiannya bukan makin moncer tapi amblek dan rakyat itu saya dan mayoritas dari 280 juta jiwa penduduk Indonesia.

Maka saya bawa kegundahan hati menuju gunung Sumbing , air mata rasanya makin sulit diajak kompromi saat saya menyeruput Chinamon , namun tiba-tiba saya mendengar keluhan petani kol/kubis bahwa harganya jatuh hanya 2000/kg, dan buncis hanya 3000/kg.

Pahit bangetttt menjadi rakyat di Indonesia ini ya yang besar mengeruk ratusan trilyun dengan mengendalikan politik, tetapi petani selalu dapat jebloknya. Coba kalau kol cuman 2000/kg, buncis 3000/ kg , terus harga minyak goreng 20 ribu/liter , ayam 40/kg, gula 14 ribu/kg, jadi rakyat makan apa dari yang dihasilkan? Makan angin.

Padahal harga pupuk non subsidi naik 100 persen, karena lagi-lagi pemain pupuk non subsidi kakaknya menteri yang juga pemain batu bara terbesar kedua di Indonesia.

Akhirnya Chinamon yang jadi andalan cafe Janji Hati Nepal van Java, saya biarkan dingin, sedingin hati saya yang merasakan luar biasa kesedihan perih ini. Quo vadis Indonesia?

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar