Bancakan Dana Abadi Umat
Siapa Mafia Penikmat Dana Haji Triliunan Rupiah?
Biaya pelaksanaan ibadah haji akan berpotensi naik dua kali lipat jika tidak disubsidi pemerintah (Dok.Pixabay/konevi)
Jakarta, law-justice.co - Pro dan kontra investasi dana haji bermula ketika Presiden Joko Widodo melantik Dewan Pengawas dan anggota Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) pada 2017 lalu. Ketika itu presiden menyatakan, investasi dana haji akan bermanfaat untuk menurunkan biaya haji yang dibebankan kepada masyarakat. Sebab, keuntungan dari investasi tersebut bisa menutupi subsidi biaya haji yang selama ini diberikan oleh pemerintah.
“Jadi bagaimana dana yang ada ini bisa dikelola, diinvestasikan ditempat-tempat yang memberikan keuntungan yang baik, sehingga keuntungan itu tadi bisa digunakan untuk menutupi ongkos lainnya, sehingga biayanya bisa turun lagi dan lagi,” ujar Presiden Jokowi saat itu.
Arahan presiden saat itu, dana haji diinvestasikan salah satunya di bidang infrastruktur. Salah satunya adalah jalan tol.
“Kesempatan ini, pemerintah harus memberi peluang. Misalnya ada jalan tol yang sudah ground fit yang mau dilepas, beri kesempatan dulu pada dana haji kita ini,” tambah presiden saat itu. Wacana ini kemudian menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Sebagian orang tak setuju dengan rencana menginvestasikan dana haji di infrastruktur, karena dinilai berpotensi rugi dan rawan penyimpangan.
Namun Kepala BPKH, Anggito Abimanyu membantah ada dana haji yang diinvestasikan di bidang infrastruktur. Menurut dia, dana haji saat ini sudah terkumpul Rp158 triliun. Dari keseluruhan dana tersebut tidak ada yang diinvestasikan pada infrastruktur. Menurut Anggito, dana haji tersebut diinvestasikan di beragam instrumen, selain infrastruktur.
Ilustrasi ibadah haji (Dok.Shutterstock)
“Dana haji kami investasikan pada surat berharga, pembiayaan bank syariah dan penyertaan modal syariah,” kata Anggito Abimanyu kepada law-justice.co.
Adapun dalam menginvestasikan dana haji tersebut, BPKH memilih risiko pengelolaan dana haji dari low to moderate. Anggito menambahkan, sebagian besar dana haji tersebut diinvestasikan surat berharga, yakni sebesar 70 persen. Sisanya 30 persen ditempatkan di instrumen syariah, termasuk bank.
Menurut Anggito, investasi yang dilakukan BPKH pada dana haji telah menghasilkan pertambahan nilai. Ia mengatakan, dalam satu tahun, pertambahan nilai yang didapat BPKH dari investasi dana haji tersebut bisa mencapai 30 persen, atau sekitar Rp50 triliun. Karena itu pula ia menyatakan pengelolaan dana haji saat ini sangat professional dan aman. Terlebih saat ini dana haji telah terdaftar di Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jadi masyarakat tak perlu khawatir.
“Dana haji di BPKH sekarang sudah dijamin oleh LPS,” terang Anggito.
Meski BPKH menyatakan tidak ada dana haji yang diinvestasikan di bidang infrastruktur, kemungkinan ke arah sana tetap ada. Peneliti dari lembaga kajian ekonomi, INDEF, Izzudin Al Farras Adha mengatakan, bisa saja secara tidak langsung dana haji tersebut diinvestasikan pada pembiayaan infrastruktur.
Menurut dia, salah satu instrumen investasi dana haji yang digunakan BPKH adalah surat berharga atau
sukuk. Nah, oleh pemerintah sukuk ini juga digunakan, salah satunya, untuk pembiayaan infrastruktur.
“Mungkin bisa dibilang secara tidak langsung (diinvestasikan di infrastruktur), namun sejauh ini tidak ada kebijakan atau aturan yang mengarahkan agar dana haji diinvestasikan pada infrastruktur” jelas Izzudin pada law-justice.co.
Transparansi Pengelolaan Dana Haji
Bagi sebagian orang, investasi dana haji dalam pembiayaan infrastruktur masih dalam wilayah abu-abu. Karena itu muncul tuntutan adanya audit investigasi terhadap dana haji dan pengelolaannya. Wacana tersebut semakin menguat setelah pemerintah, melalui Kementerian Agama, memutuskan untuk membatalkan pemberangkatan Jemaah haji asal Indonesia ke Tanah Suci. Pembatalan tersebut sudah dua kali dilakukan, pada 2020 dan 2021, karena alasan pandemi Covid-19. Hal itu membuat publik bertanya-tanya, kemana dana haji tersebut dana akan diapakan oleh pemerintah?
Terkait hal tersebut, BPKH menyatakan audit investigasi tidak diperlukan. Kepala BPKH, Anggito Abimanyu menyatakan, setiap tahun lembaganya diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan, dan hasilnya tidak pernah ada masalah.
“Pengelolaan dana haji cukup transparan, setiap tahun BPKH diaudit oleh BPK,” jelas Anggito.
Hasil Audit BPK Soal Pengelolaan Dana Haji (Dok.BPK)
Terkait adanya tuntutan audit dana penyelenggaraan haji, Kementerian Agama mempersilakan lembaga manapun untuk melakukan audit. Menurut Direktur Pengelolaan Keuangan Haji, Direktorat Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama, Jaja Jaelani, audit adalah hal yang biasa dalam sebuah pemerintahan.
“Semua ada dokumennya, kami bisa mempertanggungjawabkannya,” ujar Jaja.
Meski begitu, Kementerian Agama menyatakan siap memberangkatkan Jemaah haji ke tanah suci, kapan pun kebijakan penyelenggaraan ibadah haji kembali dibuka. Jaja Jaelani menyatakan, dalam penyelenggaraan ibadah haji, Kementerian Agama dalam posisi standby. Jika penyelenggaraan haji kembali dibuka, maka Kemenag akan bekerja. JIka tidak ada, seperti dua tahun ke belakang, maka Kemenag dalam posisi menunggu.
Jaja memastikan, selama dua tahun absen, dana operasional penyelenggaraan haji di Indonesia dalam kondisi aman, sama sekali tidak tersentuh.
“Jadi kalau ada penyelenggaraan haji, dananya (dari BPKH) baru akan dicairkan, setelah itu baru kami kelola,” jelas Jaja.
Bom Waktu Subsidi BPIH
Pembatalan penyelenggaraan ibadah haji dalam dua tahun terakhir membuat Jemaah haji gigit jari. Itu artinya, waktu tunggu mereka untuk berangkat ke tanah suci semakin panjang. Menurut Direktur Pengelolaan Keuangan Haji, Direktorat Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama, Jaja Jaelani mengatakan, jumlah jemaah haji yang masuk daftar tunggu (waiting list) di Indonesia mencapai 25 juta orang. Sementara lama waktu tunggu Jemaah haji tersebut bervariasi, mulai dari belasan hingga puluhan tahun.
“(waiting list) yang terlama dari Sulawesi Selatan, yakni 43 tahun,” ungkap Jaja.
Maslah lain yang ditemui pada pengelolaan dana haji adalah adanya beban subsidi Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) yang harus ditanggung oleh pemerintah, melalui Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Hal tersebut diungkap oleh peneliti dari lembaga kajian ekonomi, INDEF, Izzudin Al Farras Adha. Ia mengatakan, pengelolaan dana haji di Indonesia mengandung risiko karena Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang dibebankan kepada Jemaah haji lebih kecil dibanding Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang ditanggung pemerintah.
Biaya pelaksanaan ibadah haji akan berpotensi naik dua kali lipat jika tidak disubsidi pemerintah (Dok.Pixabay/konevi)
Ia mengambil contoh Bipih dan BPIH pada 2019 lalu, dimana besaran Bipih sekitar Rp35 juta, sementara BPIH sekitar Rp70 juta. Selisihnya sebesar 50 persen disubsidi oleh pemerintah, melalui keuntungan yang didapat melalui sejumlah instrument investasi yang digunakan oleh BPKH.
Namun, lanjut Izzudin, subsidi tersebut tidak bisa terus diberikan oleh BPKH. Menurut dia, pada awal 2021, BPKH pernah melakukan kajian mengenai subsidi BPIH, dan hasilnya BPKH memperkirakan hanya bisa memberikan subsidi hingga 3 tahun ke depan, atau sampai 2025.
“Ini berdasarkan proyeksi, simulasi, dan asumsi mereka (BPKH), bahwa subsidi hanya bisa sampai 2025 saja,” papar Izzudin.
Ketika hal ini dikonfirmasi ke BPKH, kepala BPKH, Anggito Abimanyu menyatakan, kondisi tersebut belum tentu terjadi. Menurut dia, kajian mengenai subsidi BPIH yang terhenti pada 2025 hanya simulasi dan sebatas asumsi.
“Itu hanya model bukan realitas, penuh dengan asumi dan skenario/simulasi yang beragam,” ujar Anggito Abimanyu.
Namun Komnas Haji dan Umrah menilai, terhentinya subsidi BPIH pada 2025 bisa saja terjadi, jika sistem subsidi yang selama ini dijalankan oleh BPKH tidak segera dibenahi. Menurut Ketua Komnas Haji dan Umrah, Mustolih Siradj, sistem subsidi yang dijalankan BPKH saat ini sangat berbahaya dan bisa menjadi bom waktu di kemudian hari.
Terlebih di saat seperti sekarang, dimana berbagai skema maupun instrumen investasi dan keuangan domestik maupun global tengah dibayang-bayangi cengkeraman resesi akibat dihantam pandemi Covid-19 sehingga memiliki risiko sangat tinggi dalam investasi.
“Jika ternyata investasi yang dilakukan BPKH jeblok dan tidak memperoleh keuntungan maka yang akan tergerus dan menjadi taruhan adalah uang setoran pokok jamaah,” ujar Mustolih kepada law-justice.co.
Jebloknya nilai investasi yang dilakukan oleh BPKH diungkap oleh peneliti Indef, Izzudin Al Farras Adha.
Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Anggito Abimanyu. /Dok. BPKH
Menurut dia, dalam setahun, pertambahan nilai yang diperoleh BPKH dari sejumlah investasi yang dilakukan, hanya berkisar 7-8 persen. Angka ini berbeda dengan pernyataan BPKH sebelumnya yang mengatakan pertambahan nilai yang didapat BPKH dari investasi dana haji tersebut bisa mencapai 30 persen.
Pertambahan nilai investasi tersebut di atas masih lebih kecil dibanding nilai subsidi yang harus ditanggung oleh BPKH dalam penyelenggaraan haji, yakni 50 persen. Ini yang membuat BPKH bisa kerepotan menanggung subsidi BPIH.
Menurut Mustolih Siradj dari Komnas Haji dan Umrah, pada akhirnya Jemaah haji yang akan menjadi korban dari kondisi ini. Sebab, jika penyelenggaraan haji ingin terus dilakukan, maka mencabut subsidi bisa menjadi pilihan. Ini artinya, biaya haji akan naik dan biaya setoran haji akan bertambah.
“Jadi konsekuensinya, bukan Jemaah haji yang baru daftar saja yang biaya setornya dinaikkan, tapi manakala melunasi, biayanya juga akan bertambah,” kata Mustolih.
Nasib Dana Jemaah Haji
Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) saat ini mengelola sekitar triliunan dana haji, tentu hal tersebut membuat lembaga tersebut berada dalam sorotan. Dana yang dikelola oleh BPKH ini juga mendapat perhatian dari masyarakat yang merupakan calon jemaah haji.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Law-Justice di media sosial, ada beberapa masyarakat yang memprihatinkan dana haji tidak aman. Hal tersebut ditambah pula ada masyarakat yang merupakan calon jemaah haji pernah ditipu oleh salah satu biro travel haji.
Seperti yang dialami oleh Zulfikar, walaupun hal itu dialami oleh kedua orang tuanya namun terdapat kekhawatiran terkait keamanan dana haji. Saat ini juga keberangkatan haji sudah dua tahun ditunda karena merebaknya pandemi Covid-19 di dunia termasuk Indonesia dan Arab Saudi.
"Pesan saya sih mas, ini pihak pengelola harus amanah karena inikan uang umat ya mas," kata Zulfikar kepada Law-Justice.
Zulfikar juga mengatakan dalam hal ini pemerintah juga perlu aktif untuk mengawasi pengelolaan dana haji oleh BPKH. Ia juga menyebut jangan sampai jadwal pemberangkatan tidak sesuai jadwal karena pada dasarnya calon jemaah juga sudah bayar.
"Ini uang panas jadi harap hati hati dan semoga uang haji ini amat," katanya.
Selain Zulfikar, Narasumber kedua Hardi juga melontarkan kegelisahanya terkait dana haji meskipun ia baru daftar pada tahun 2018 lalu. Hardi menceritakan kalau ia dan istrinya mendaftar ibadah haji pada tahun 2018 dan tidak akan berangkat dalam waktu dekat.
Ia mendesak kepada pihak pengelola untuk hati hati dalam mengelola uang haji tersebut dan mendesak adanya audit untuk pastikan uang itu aman.
"Kalau perlu mas, ormas seperti NU atau Muhammadiyah ikut kawal juga," lontar Hardi kepada Law-Justice.
Hardi juga menegaskan kalau dirinya tidak mendukung bila dana haji tersebut untuk diinvestasikan dalam bentuk apapun. Pasalnya, hal tersebut termasuk dalam perjudian dan untuk meminimalisir terjadinya resiko terhadap dana haji.
Ekonom senior Rizal Ramli
"Tentu saya tidak setuju (dana haji diinvestasikan)," tegasnya.
Sementara itu, Ekonom senior Rizal Ramli menjelaskan dana haji dalam bentuk uang tunai hanya tinggal Rp18 miliar.
Sedangkan dari Rp120 triliun dana haji, Rp90 triliun sudah dimasukan ke dalam investasi jangka panjang dalam bentuk produk syariah dan Sukuk.
"Iya Rp18 miliar, itu uang cash ya. Yang lainnya itu dalam bentuk deposito," kata Rizal Ramli, dalam Youtube Karni Ilyas Klub, yang tayang pada Sabtu malam, 12 Juni 2021.
Rizal Ramli kemudian menjelaskan uang haji yang dimasukan ke dalam investasi akan lari ke mana. Rizal Ramli mempertanyakan secara faktual APBN aman apa tidak untuk menyimpan dana haji.
Pasalnya menurut Rizal, APBN tidaklah aman karena untuk membayar bunga utang saja Indonesia masih harus mengutang.
"Bagaimana ini bisa dibilang aman?" tanya Rizal.
Rizal Ramli lantas menjelaskan soal kebutuhan haji dalam situasi normal, di mana sekitar 220.000 per tahun. Kemudian dikali Rp70 juta per orang, maka didapat kebutuhan haji per tahunnya Rp15 triliun.
"Kalau kita mau kirim haji, tiga bulan sebelumnya sudah harus bayar. Down payment atau lengkap," ujarnya.
Penyelenggara Haji dan Umroh Butuh Kepastian
Sementara itu, Ketua Umum Serikat Penyelenggara Umroh dan Haji (SAPUHI) Syam Resfiadi mengatakan adanya pandemi covid ini membuat ibadah haji ditiadakan pada tahun 2020 dan 2021.
Untuk itu, ia meminta pemerintah memperhatikan nasib Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) atau biro haji dan umroh usai keputusan tidak mengirim jemaah pada ibadah haji 2021.
Ia mengungkapkan biro haji dan umroh tidak mendapatkan pemasukan sama sekali selama dua musim. Di sisi lain, mereka tetap harus mengeluarkan biaya operasional seperti gaji pegawai, tarif listrik, sewa kantor, dan sebagainya.
Kondisi ini membuat banyak biro haji dan umroh yang merugi lantaran arus kas menjadi minus hingga harus menutup usahanya atau menjualnya.
"Pendapatan tidak ada otomatis rugi dong perusahaan, akhirnya akan gerogoti perusahaan. Dana perusahaan yang tersedia terbatas mungkin kemampuan cash flow hanya tiga bulan operasional atau setengah setahun tiba-tiba sudah setahun lebih, pasti sudah minus," kata Syam kepada Law-Justice.
Jemaah Haji Puas dengan Pelayanan Kemenag di Musim Haji Tahun Ini ( foto: infonawacita.com)
Saat ini, ia belum memiliki data berapa banyak perusahaan biro haji dan umroh yang tutup akibat pandemi. Ia menilai pemerintah juga perlu melakukan pendataan, survei, dan akreditasi ulang untuk mengetahui jumlah biro haji dan umroh yang masih bisa bertahan maupun kolaps selama pandemi.
Namun, ia menilai putusan pemerintah menutup ibadah haji dua tahun belakangan sebagai keputusan yang tepat meskipun berat bagi biro haji dan umroh.
Pasalnya, meskipun izin diberikan, namun waktu yang tersisa untuk memenuhi semua persyaratan penyelenggaraan ibadah haji cenderung terbatas.
"Itu keputusan yang menurut kami juga selaku penyelenggara swasta, keputusan yang bijak. Walaupun itu perlu pertimbangan secara politis dan segala macam, pemerintah agak lambat mengambil keputusan ini, yang kami harapkan seharusnya sebelum Ramadhan kemarin, seharusnya sudah ada komitmen dari kedua negara, tapi masih selalu menunggu menunggu akibatnya kami semakin mepet waktunya," ucapnya.
Selain itu, berdasarkan proyeksi perhitungannya biaya ibadah haji berpotensi naik apabila dipaksakan terselenggara tahun 2021. Pasalnya, ia memperkirakan kuota untuk masing-masing biro haji dan umroh hanya minimal lima jamaah atau maksimal 20 jamaah.
Belum lagi, ada biaya yang timbul dari implementasi protokol kesehatan. Misalnya, pembatasan kapasitas bus hanya 20 orang, kapasitas hotel berkurang dari empat orang menjadi dua orang, karantina di Indonesia dan Arab Saudi, vaksin tambahan di luar vaksin covid-19, dan sebagainya.
"Intinya dengan jumlah yang sedikit itu akan membuat biaya menjadi lebih tinggi karena protokol kesehatan," tuturnya.
Terkait dengan problem subsidi haji, Syam mengatakan semua pihak terkait bermusyawarah lebih lanjut terkait pembicaraan besaran subsidi haji.
"Sepertinya perlu dibicarakan antara Kemenag, DPR dan BPKH bila terkait subsidi," katanya.
Syam mengatakan, perlunya pihak terkait seperti Kemenag, DPR, dan BPKH bermusyawarah agar besaran subsidi untuk jamaah haji reguler bisa diputuskan bersama.
Pasalnya, selama ini jamaah yang berangkat tahun berjalan ongkos hajinya disubsidi oleh pihak terkait.
Persoalan dana haji menjadi isu sensitif jadi dalam mengambil keputusan pemerintah tidak bisa gegabah.
"Harus dimusyawarahkan agar tidak sepihak keputusannya," ujarnya.
Syam menambahkan selama ini yang berkaitan dengan penyelenggaraan haji umrah diputuskan antara pemerintah dan DPR, tidak diputuskan berdasarkan individu. Karena masalah haji ini menyangkut dengan kepentingan banyak pihak.
"Karena itu haji diputuskan bersama DPR dan BPKH," imbaunya.
DPR Ikut Awasi Pengelolaan Dana Haji
Sementara itu Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily menegaskan bahwa dana haji yang tersimpan untuk jemaah dari Indonesia dipastikan aman.
Ace menyatakan kalau dana tersebut berada dalam pengelolaan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) secara transparan dan Ia meminta agar masyarakat tidak mudah percaya terhadap kabar yang tidak benar mengenai dana haji.
“Kami ingin menyampaikan ke masyarakat tentang kondisi keuangan haji yang selama ini pada saat proses pemberangkatan haji karena pandemi. Karena masih banyak timbul informasi-informasi yang keliru di dalam masyarakat soal dana haji,” tegas Ace kepada Law-Justice.
Kemenag menyiapkan petugas pelaksana haji ( foto:asn.id)
Ace menyayangkan terkait berhembusnya informasi palsu yang muncul diantaranya adalah informasi keliru yang menyebut dana haji dipergunakan untuk infrastruktur. Serta dana haji dipergunakan untuk hal-hal lain yang bukan untuk kepentingan pemberangkatan haji. Ia di Komisi VIII terus melakukan pengawasan terkait pengelolaan dana haji.
“Kami nyatakan bahwa dana haji dikelola dengan baik oleh BPKH dan diawasi langsung oleh kami dari Komisi VIII DPR RI,” ucapnya.
Ace memaparkan bila saat ini dana haji dari jamaah asal Indonesia tercatat pada angka di kisaran 150 Triliunan. Sebagian besar dana haji telah diinvestasikan dan juga ada yang ditempatkan di bank penerima setoran yakni Bank Syariah.
“Oleh karena itu, bagi calon jamaah haji, kami mohon tenang,” paparnya.
Ace menambahkan calon jemaah haji bisa mengecek langsung dana haji secara online melalui virtual account yang disediakan Pemerintah Indonesia.
“Cek dana haji bisa dilakukan melalui virtual account. Dana haji dikelola secara transparan,” tambahnya.
Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf mengatakan dalam setiap agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dewan Pengawas maupun Badan Pelaksana BPKH, pihaknya selalu meminta agar BPKH menyusun skema perhitungan keuntungan dari dana haji yang ditabung oleh jemaah.
"BPKH perlu membeberkan pada kami mengenai keuntungan yang dapat diperoleh berdasarkan yang dibayarkan oleh Jamaah,”kata Bukhori.
Lebih lanjut terkait ibadah haji, Ketua DPP PKS ini juga menyoroti persoalan Virtual Account (VA) yang bisa saja menjadi polemik.
Bukhori menilai VA atau rekening jemaah untuk menerima nilai manfaat pengelolaan dana haji yang diterima setiap tahunnya harus berwujud riil dan tidak berdasarkan kebijakan yang politis.
“Contohnya, sepanjang tahun 2020 dana VA dialokasikan sebanyak Rp1 Triliun, selanjutnya pada tahun 2021 senilai Rp2 Triliun. Walaupun masing-masing jemaah haji sama-sama menyimpan uang Rp25 Juta, semestinya kebijakannya adalah jemaah haji yang dananya paling lama terendap, maka nilai manfaat yang diperoleh sepatutnya semakin besar,” ucapnya.
Jemaah haji harus merogoh kocek lebih dalam untuk membiayai ibadah haji (Dok.Merdeka)
Sebab itu, Bukhori menuturkan BPKH seharusnya mampu mendesain kebijakan yang mendorong jemaah haji membayar sesuai dengan biaya riil yang berlaku.
Tidak hanya itu, supaya jemaah haji merasakan dampak riil keuntungan dari investasi, maka nilai manfaat yang tersimpan di VA sudah semestinya diberikan dalam bentuk riilnya.
“Semua ini perlu proses karena ada masa jeda antara situasi dimana calon jemaah membayar utuh ongkos riil dengan situasi yang berlaku saat ini sebab akan terjadi lompatan yang signifikan,” ucapnya.
Terkait adanya persepsi yang menyebut DPR dan Pemerintah tidak kunjung membahas biaya riil haji yang rasional.
Bukhori menilai pangkal masalah sesungguhnya justru terdapat pada kegiatan sosialisasi BPKH yang dinilai terlalu minim.
Untuk itu Politisi PKS tersebut mendorong kepada BPKH untuk aktif melakukan sosialisasi supaya masyarakat juga bisa mengerti.
“Kami sulit sekali meyakinkan publik bahwa biaya riil ibadah haji itu besar. Padahal, masyarakat perlu tahu harga sebenarnya. Sebab itu, Komisi VIII DPR RI sangat terbuka untuk bekerjasama dengan BPKH dalam menyampaikan informasi terkait kebijakan strategis seputar keuangan haji sehingga bisa sampai ke akar rumput,” ucapnya.
Di sisi lain, Bukhori menambahkan, juga perlu digaris bawahi bahwa kebijakan untuk merasionalisasikan biaya haji yang perlu dibayar jamaah mesti dilakukan secara gradual, tidak bisa dilakukan tiba-tiba.
“Maka itu, supaya tidak menjadi gaduh, sosialisasi perlu digencarkan secara masif sebagai langkah awal pengkondisian," tambahnya.
Bukhori juga menyatakan bila pengelola dana haji perlu mengedepankan kehati-hatian, karena ini merupakan satu uang dan amanah dari para calon haji.
"Jangan sampai di kemudian hari itu mengalami atau menimbulkan suatu kerugian untuk masyarakat,” katanya.
Terkait besaran subsidi haji, Bukhori mengacu pada Pasal 44 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 terkait Haji, dikatakan bahwa sumber pembiayaan penyelenggaraan haji, salah satunya bisa bersumber dari APBN selain dari BIPIH, dana efisiensi, dan nilai manfaat.
Pemerintah perlu memberikan subsidi terhadap biaya penyelenggaraan haji. Subsidi diperlukan untuk menekan biaya haji yang diperkirakan bakal naik, seiring bertambahnya biaya untuk protokol kesehatan.
"Negara harus hadir dalam situasi ini. Pemerintah mesti memberikan subsidi haji, khususnya alokasi anggaran untuk kebutuhan pelaksanaan protokol kesehatan seperti swab test, isolasi, dan kegiatan yang masih terkait," pungkasnya.
Audit BPK Soal Dana Haji
Dalam hasil audit BPK terhadap pengelolaan dana haji, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyimpulkan hasil pemeriksaan atas efektifitas pengelolaan penempatan dan investasi keuangan haji tahun 2018-semester I 2020 pada Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dan instansi terkait lainnya, menunjukkan bahwa pengelolaan penempatan dan investasi keuangan haji kurang efektif.
Dalam temuan hasil pemeriksaan, Pemilihan dan penetapan Bank Penerima Setoran (BPS) BPIH pengelola Penempatan Keuangan Haji belum sepenuhnya mempertimbangkan aspek kesehatan Bank, kehati-hatian, nilai manfaat, likuiditas, cadangan kerugian, dan pengelolaan penempatan simpanan dan nilai manfaat belum sepenuhnya dijamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Hasil audit BPK soal dana haji (Dok.BPK)
Antara lain, karena Kepala BP BPKH belum sepenuhnya melakukan koordinasi dengan LPS terkait pembentukan peraturan penjaminan simpanan dan nilai manfaat keuangan haji, serta BPKH dalam menyusun dan menetapkan Peraturan terkait Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) belum sepenuhnya selaras dengan peraturan perundangundangan di atasnya.
Nilai manfaat yang dihasilkan dari pengembangan keuangan haji belum cukup memadai untuk membiayai Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) calon jemaah dan jemaah tunggu baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Karena Kepala BP BPKH belum mempertimbangkan perolehan nilai manfaat dalam perhitungan likuiditas keuangan haji sebesar dua kali BPIH; dan BPKH belum menyusun dan menetapkan formula baku perhitungan perkembangan keuangan haji untuk jangka pendek dan jangka panjang.
Selain itu, BPK menemukan nilai manfaat atas pengelolaan investasi keuangan haji belum sesuai dengan target yang ditetapkan dalam Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT). Hal ini terjadi karena Deputi Investasi Surat Berharga dan Emas (ISBE) dan Pengadaan belum sepenuhnya melakukan investasi secara tepat waktu dan sesuai Rencana Investasi Tahunan (RIT). Selain itu, Deputi ISBE dan Pengadaan serta Divisi Investasi Langsung dan Investasi Lainnya belum optimal dalam merealisasikan investasi keuangan haji dalam bentuk emas, investasi langsung, dan investasi lainnya.
BPK pun memberikan rekomendasi agar BPKH Berkoordinasi dengan LPS terkait pembentukan peraturan penjaminan simpanan atas pengelolaan nilai manfaat, menyusun pedoman tindak lanjut terhadap pengelolaan penempatan dana pada bank yang diketahui dalam kondisi tidak sehat, memerintahkan Kepala Divisi Penempatan segera melakukan tindakan tegas terhadap bank yang tidak memenuhi RAC; serta menyusun dan menetapkan peraturan terkait CKPN yang selaras dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.
BPK juga memberikan rekomendasi dan masukan kepada Menteri Agama supaya dalam menyusun dan menentukan besaran BIPIH mempertimbangkan kebutuhan biaya riil per jemaah dan sustainabilitas keuangan haji, mempertimbangkan perolehan nilai manfaat dalam perhitungan likuiditas keuangan haji sebesar dua kali BPIH, serta menyusun dan menetapkan formula baku perhitungan perkembangan keuangan haji untuk jangka pendek dan jangka panjang.
Selain itu, Badan Pemeriksa Keuangan memerintahkan Deputi ISBE dan Pengadaan supaya melakukan investasi secara tepat waktu dan sesuai RIT serta memerintahkan Deputi ISBE dan Pengadaan serta Divisi Investasi Langsung dan Investasi Lainnya supaya meningkatkan realisasi investasi keuangan haji dalam bentuk emas, investasi langsung, dan investasi lainnya.
Kontribusi Laporan : Rio Rizalino, Ghivary Apriman, Yudi Rachman
Komentar