Ketua DPD RI Sebut Indonesia Kini Terjerumus ke Kubangan Liberal

Jum'at, 14/01/2022 17:53 WIB
Ketua DPD RI LaNyalla Matalitti nilai perjalanan Indonesia saat ini sudah terjerumus ke kubang liberal kapitalis. (Instagram @lanyallamm1)

Ketua DPD RI LaNyalla Matalitti nilai perjalanan Indonesia saat ini sudah terjerumus ke kubang liberal kapitalis. (Instagram @lanyallamm1)

Jakarta, law-justice.co - Perjalanan Indonesia saat ini dinilai tidak sejalan dengan cita-cita luhur pendiri bangsa, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal itu disampaikan oleh Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti dan mengatakan Indonesia telah terjerumus ke dalam kubangan liberalisme kapitalistik.

Dia menilai para pendiri bangsa akan menangis jika tahu arah perjalanan Indonesia saat ini. Hal itu dikatakan LaNyalla saat menyampaikan keynote speech pada acara Sekolah Pimpinan HMI dengan tema `Genealogi Kepemimpinan Bangsa Menuju Era Emas 2045` Pengurus Besar HMI, Kamis (13/1).

Hadir pada kesempatan itu Ketua Umum PB HMI Raihan Airatama, Ketua Pelaksana Pimpinan Sekolah HMI Heno Angkotasan, Sekretaris Pelaksana Pimpinan Sekolah HMI Ali Yusuf Siregar dan para peserta Sekolah Pimpinan HMI.

"Jika kita berbicara tentang genealogi kepemimpinan bangsa, sudah tentu kita harus membedah bagaimana bangsa ini lahir dan menjadi sebuah negara," ujar LaNyalla dalam keterangan tertulis, Jumat (14/1/2022).

Untuk melihat lebih dekat cita-cita para pendiri bangsa, LaNyalla membuka rekaman beberapa percakapan para pendiri bangsa dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Ia mengulas, Muhammad Yamin dengan tegas mengatakan Negara Rakyat Indonesia adalah Pemerintahan Syuriyah, pemerintahan yang didasarkan atas permusyawaratan antarorang berilmu dan berakal sehat yang dipilih atas faham perwakilan.

"Sementara Ki Bagoes Hadikoesoemo mengatakan bahwa kita harus mempersatukan pendapat-pendapat yang bertentangan, sehingga menjadi bulat," imbuh LaNyalla.

Sementara itu, lanjut LaNyalla, Mr Soepomo meyampaikan bahwa pengangkatan pemimpin negara itu hendaknya janganlah diturut cara pilihan menurut sistem demokrasi barat, yang menyamakan manusia satu sama lain, seperti angka-angka belaka yang semuanya sama harganya.

Lalu, sambung LaNyalla, Bung Karno memungkasi dengan mengatakan, kalau mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.

"Itulah sebagian pemikiran para pendiri bangsa yang berada dalam suasana kebatinan yang sama. Pemikiran-pemikiran jernih tersebut lahir karena mereka merasakan bagaimana menjadi bangsa yang terjajah," tutur LaNyalla.

LaNyalla menggarisbawahi demokrasi Pancasila berbeda dengan isme-isme yang ada, seperti liberalisme di barat atau komunisme di timur.

"Demokrasi Pancasila dengan titik tekan permusyawaratan perwakilan adalah jalan tengah yang lahir dari akal fitrah manusia sebagai mahluk yang berfikir dengan keadilan," cetusnya.

Ia menjabarkan ciri utama dari demokrasi Pancasila adalah semua elemen bangsa ini, yang berbeda-beda, harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan tertinggi yang berada di dalam sebuah lembaga tertinggi di negara.

"Itulah mengapa pada konstitusi kita yang asli, sebelum dilakukan amandemen pada tahun 1999 hingga 2002, MPR adalah lembaga tertinggi negara. Karena, MPR adalah perwujudan kedaulatan rakyat dari semua elemen bangsa ini, baik elemen partai politik, elemen daerah-daerah dan elemen golongan-golongan. Utusan daerah adalah representasi seluruh daerah dari Sabang sampai Merauke. Harus ada wakil-wakil dari daerah, meskipun daerah tersebut terpencil, terisolasi secara sosial-kultural, daerah khusus dan sebagainya," papar LaNyalla.

Ia pun menyinggung amandemen Undang Undang Dasar pada tahun 1999 hingga 2002 dalam empat tahap. Dari amandemen itu, MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Utusan daerah dan utusan golongan dihapus digantikan Dewan Perwakilan Daerah.

Sementara itu, kata LaNyalla, Presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh partai politik dan dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga, mandat rakyat diberikan kepada dua ruang politik yaitu kepada parlemen dan kepada presiden. Masing-masing bertanggung jawab langsung kepada rakyat melalui mekanisme pemilu 5 tahunan.

LaNyalla pun mempertanyakan di mana konsepsi dasar atau genealogi pola dan sistem kepemimpinan bangsa dengan prinsip dasar dari demokrasi Pancasila yang semuanya harus terwakili.

"Jawabnya sudah tidak ada lagi. Karena sejak amandemen itu, Indonesia telah secara tegas meninggalkan demokrasi Pancasila menjadi demokrasi Liberal," cetusnya.

Untuk itu, LaNyalla meminta Indonesia menyiapkan generasi menuju Indonesia Emas di tahun 2045 yang diprediksi akan menjadi bonus demografi, di mana penduduk usia produktif mencapai 70 persen dari jumlah total populasi Indonesia.

"Karena itu, satu-satunya jalan adalah kita harus berani bangkit. Harus berani melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa ini demi Indonesia yang lebih baik, demi masa depan generasi berikut," tutupnya.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar