Putusan MK soal UU Cipta Kerja Dinilai Tak Jelas

Kamis, 13/01/2022 20:52 WIB
Wakil Ketua DPD Mahyudin nilai putusan MK soal UU Cipta Kerja tak jelas (Foto: Dakta.com)

Wakil Ketua DPD Mahyudin nilai putusan MK soal UU Cipta Kerja tak jelas (Foto: Dakta.com)

Jakarta, law-justice.co - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Cipta Kerja dinilai tidak jelas oleh Wakil Ketua DPD RI Mahyudin. Putusan itu telah menggarisbawahi kalimat pembatalan atau penangguhan UU Cipta Kerja yang belum menemukan kesimpulan yang tegas.

“Putusan ini belum menemukan kesimpulan yang tegas, apakah UU Cipta Kerja telah dibatalkan? Apakah tetap diberlakukan dengan syarat? Ataukah hanya ditangguhkan berlakunya sehingga hukum yang diterapkan tetap mengacu pada aturan perundangan sebelumnya?,” ucap Mahyudin saat Executive Brief di Gedung Nusantara III Komplek Parlemen, Jakarta, Kamis (13/1).

Senator asal Kalimantan Timur ini menilai bahwa putusan MK itu telah memunculkan tiga masalah formil. Pertama, pembentukan UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No. 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). “Metode omnibus yang diadopsi dan digunakan untuk membentuk UU Cipta Kerja ini belum diatur dalam UU P3,” jelasnya.

Mahyudin menambahkan UU Cipta Kerja juga tidak memenuhi asas kejelasan tujuan, dan asas kejelasan rumusan. Lantaran ditemukan banyaknya substansi yang berubah antara rancangan yang dibahas dengan yang disahkan.

“Terakhir, UU ini juga tidak memenuhi asas keterbukaan, karena tidak ada ruang partisipasi yang maksimal, terlebih lagi naskah akademik dan RUU Cipta Kerja tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat,” tutur Mahyudin.

Tiga masalah formil itu, sambungnya, maka DPD RI perlu menyiapkan substansi materi atau isi dari UU Cipta Kerja itu sendiri. Sumbangsih pemikiran, saran, dan masukan dari berbagai pihak terutama yang memiliki keterkaitan dan urgensi yang tinggi terhadap pembahasan Revisi UU Cipta Kerja sangat dibutuhkan.

“Kami berharap dapat mempertajam pemahaman, ide, gagasan dan pemikiran yang dapat mendukung proses pembahasan Pansus UU Cipta Kerja DPD RI kedepannya,” harap Mahyudin.

Dalam kesempatan yang sama, Dekan Fakultas Manajemen Pemerintahan IPDN, Dr. Halilul Khairi menjelaskan UU Cipta Kerja telah memberikan dampak negatif pada otonomi daerah. UU ini mengakibatkan penarikan kewenangan daerah ke pusat.

“Akibatnya adanya pembatasan hak mengatur oleh daerah. Akibatnya penurunan retribusi daerah,” imbuhnya.

Sedangkan Pakar Hukum Tatanegara Refly Harun mengatakan bahwa dirinya juga merasa bingung atas putusan MK terhadap UU Cipta Kerja ini. Pasalnya, putusan itu tidak jelas apakah UU ini masih berlaku atau tidak, bahkan ada yang mengatakan tidak dan masih berlaku. “Saya tidak bisa menengahi perdebatan ini, karena putusan MK tidak konsisten,” terangnya.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar