Uji Materi Penghapusan Presidential Threshold, Gatot Dicecar Hakim MK

Selasa, 11/01/2022 22:40 WIB
Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo. (Liputan6)

Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo. (Liputan6)

Jakarta, law-justice.co - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Enny Nurbaningsih mempertanyakan kerugian yang dinilai dialami oleh Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dalam sistem pemilihan presiden melalui ketentuan ambang batas pencalonan atau presidential threshold.


Dalam persidangan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang digugat oleh Gatot itu, Enny meminta penggugat untuk mengelaborasi bentuk kerugian yang dialami sehingga sistem presidential threshold harus dihapus.

"Persoalannya adalah perlu elaborasi apa sesungguhnya yang menjadi hak konstitusional yang oleh pemohon dianggap dirugikan dengan berlakunya Pasal 222 tersebut. Kemudian menunjukkan buktinya, apa bukti kerugiannya?" tanya Enny dalam persidangan tersebut, Selasa (11/1/2022).

Enny menjelaskan dalam latar belakang dan legal standing Gatot Nurmantyo, tidak menjelaskan rinci bentuk kerugian yang mungkin dialami dengan sistem presidential threshold. Pasalnya, Gatot tidak terbukti mencalonkan diri atau dicalonkan oleh partai politik untuk maju dalam pemilu.

"Kemudian berikutnya, yang saya belum bisa melihat bentuk kerugian konstitusional dari pemohon ini apa sesungguhnya? Apa pemohon ini pernah dicalonkan atau mencalonkan diri dari gabungan parpol seperti itu?" tanya dia.

"Di sini hanya menyebutkan pemohon hilang hak konstitusionalnya untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya calon, tapi apa bentuk dari kehilangan hak konstitusional itu? Apakah pernah mencalonkan atau dicalonkan oleh parpol. Ini perlu dielaborasi lebih jauh," sambung Enny.

Selain itu Enny juga mengatakan dalam catatan MK, sudah ada 15 kali putusan mengenai pengujian Pasal 222 dalam UU Pemilu. Dalam seluruh sidang uji materi itu, Enny mengatakan setiap penggugat memiliki legal standing atau kedudukan hukum yang sama.

Kondisi serupa terjadi pada legal standing yang diajukan oleh Gatot Nurmantyo beserta kuasa hukumnya dalam menggugat UU Pemilu ke MK. Enny menilai jika tak ada perbedaan dalam legal standing dengan gugatan-gugatan sebelumnya, maka sulit untuk MK mengabulkan keinginan penggugat.

"Karena dasar uji yang digunakan itu sesungguhnya sudah digunakan oleh pemohon terdahulu dan sudah diputus oleh mahkamah sehingga disini perlu dipertegas," ucap Enny.

Dalam sidang uji materi ini, Gatot Nurmantyo hadir secara daring bersama kuasa hukumnya Refly Harun.

Refly mengatakan legal standing Gatot Nurmantyo berkedudukan sebagai Warga Negara Indonesia yang berhak memilih dan dipilih sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 1 angka 34. Kedudukan itu dinilai potensial dirugikan dengan berlakunya presidential threshold yang membatasi kemunculan calon pemimpin bukan pemenang pemilu legislatif.

Kemudian Pasal 222 UU Pemilu dianggap bertentangan dengan 3 pasal dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yaitu Pasal 6 ayat (2), pasal 6A ayat (2) dan ayat (5).

"Seharusnya tidak ada yang namanya ambang batas, yang mulia hakim konstitusi. Dalam argumen ini juga kami menampilkan secara sosiologis fakta dan pendapat para ahli. Intinya adalah mereka mengatakan bahwa yang namanya ambang batas 20 persen bertentangan dengan konstitusi," tuturnya.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar