Beda Pandangan Ahli Hukum Pidana soal Kasus Polisi Tembak Laskar FPI

Selasa, 11/01/2022 21:40 WIB
Olah TKP Penembakan Laskar FPI (Antara)

Olah TKP Penembakan Laskar FPI (Antara)

Jakarta, law-justice.co - Jaksa menghadirkan dua ahli pidana dalam sidang kasus penembakan laskar FPI di Km 50, Tol Jakarta-Cikampek. Para ahli memiliki pendapat berbeda terkait kasus tersebut, sebab ada ahli yang menilai unsur kesengajaan dalam kasus penembakan laskar FPI tersebut tidak terbukti karena sedang membela diri.


Para ahli pidana awalnya diminta menjelaskan unsur dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain pada Pasal 388 KUHP. Salah satu ahli pidana dari Universitas Trisakti, Dian Adriawan mengungkap arti unsur dengan sengaja dalam pasal tersebut.

"Bisa sengaja sebagai tujuan atau sengaja dengan kesadaran," kata Dian, dalam sidang di PN Jaksel, Jl Ampera Raya, Jakarta Selatan, Selasa (11/1/2022).

Dia mengatakan unsur `dengan sengaja` merupakan salah satu bentuk kesalahan yang dilihat dari kealpaan (kelalaian).

Diketahui, dari 6 korban laskar FPI, awalnya 2 orang telah dalam kondisi meninggal dunia karena luka tembak. Kemudian 4 orang laskar FPI dibawa di dalam mobil terdakwa masih dalam kondisi hidup, kemudian terjadi perselisihan di dalam mobil hingga terjadi insiden penembakan di Km 50.

Jaksa menguraikan awal mula insiden penembakan tersebut. Terdakwa Briptu Fikri Ramadhan mengaku dianiaya karena senjatanya hampir direbut anggota laskar FPI yang berada di sampingnya, sedangkan lehernya tercekik, tangannya ditarik ke belakang, dan kepalanya dipukuli oleh anggota Laskar FPI yang berada di belakangnya. Kemudian terdakwa Fikri berteriak dan meminta tolong pada rekannya terdakwa Elwira yang duduk di kursi penumpang depan. Kemudian Elwira melakukan penembakan terhadap anggota Laskar FPI.

Jaksa memaparkan dari hasil visum ditemukan luka tembak pada dada kiri korban laskar FPI. Sementara itu, pihak kuasa hukum terdakwa mempertanyakan ahli apabila peristiwa penembakan tersebut terjadi saat terdakwa mengalami penganiayaan, serta senjatanya hampir direbut dan membahayakan nyawa rekannya apakah hal tersebut termasuk pembelaan atau tidak.

Merespons pertanyaan itu, Dian mengatakan para terdakwa yang sedang membawa seseorang yang diduga melanggar hukum semestinya dalam posisi sigap. Dengan demikian jika terjadi perlawanan, maka hal tersebut merupakan risiko pekerjaan.

"Ini kan posisinya membawa orang yang diduga melawan hukum. kalau membawa orang yang kejahatan itu dia kan harusnya dalam posisi siap sigap," kata Dian.

Selain itu, Dian menilai dalam insiden penembakan tersebut juga tidak terjadi keseimbangan, di mana pihak kepolisian memegang senjata sedangkan korban tidak memegang senjata.

"Jadi walaupun misalnya ditarik tangannya ke belakang itu adalah resiko daripada si petugas untuk membawa pelaku pidana. Kemudian di tembak dari depan ya mnurut saya sih itu sudah termasuk berlebihan ya, karena satu bersenjata dan satu tidak bersenjta. Kecuali kalau misalnya si korbannya juga bersenjata atau diluncuti," ujarnya.

Sementara itu, Dian mengatakan perbuatan terdakwa Yusmin Ohorela merupakan membantu dalam kejahatan karena ikut membawa korban ke dalam mobil tetapi tidak melakukan penembakan.

"Tindakan Yusmin membawa pelaku dalam mobil dia melakukannya membantu, bukan turut serta karena dia tidak melakukan apa yang dilakukan terdakwa lain tapi hanya melakukan pembantuan. Sedangkan pembantuan hanya membantu saja melakukan kejahatan. Dia sebagai sopir mengendarai mobil," ungkapnya.

 

Unsur Dengan Sengaja Tak Terbukti

Sementara itu, ahli pidana dari Universitas Pancasila, Agus Surono mengatakan peristiwa tewasnya 2 anggota laskar FPI di lokasi berbeda hingga akhirnya terjadi penembakan 4 laskar FPI di Km 50 merupakan satu rangkaian. Agus Surono juga menyimpulkan kasus tersebut lebih cenderung pada Pasal 49 ayat 1 KUHP, di mana perbuatan pembelaan karena adanya serangan.
Berikut ini bunyi pasal tersebut:

Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana".

"Dalam konteks yang saya pahami maka saya berkesimpulan bahwa dalam peristiwa tersebut sesuai dengan apa yang saya ketahui di kualifikasi sebagai Pasal 49 ayat 1 KUHP," kata Agus.

Jaksa dalam sidang tersebut menyoroti soal luka tembakan tersebut melukai tepat pada dada dan mengapa tidak melakukan pelumpuhan saja karena menurut jaksa senjata tersebut belum tersebut. Namun Agus mengatakan saat itu hanya terjadi kondisi apakah terdakwa yang menjadi korban atau sebaliknya, sedangkan situasi tersebut berlangsung singkat dan mendesak. Sedangkan apabila tidak dilakukan tindakan tegas, menurutnya tidak dapat dipastikan apa dampak terkait kasus tersebut.

"Saya tadi sudah menjawab dalam kondisi ketika seseorang dalam situasi yang terdesak saya yakin seyakin yakinnya bahwa mau tidak mau apakah pilihannya apakah saya akan menjadi korban atau pelaku yang akan menjadi korban. Pilihannya ada kedua ini, ini yang saya pikir ini sulit, karena kalau tidak melakukan pembelaan maka konsekuensinya juga dia yang menjadi korban," ungkapnya.

Selain itu Agus menilai tidak ada teori proporsionalitas yang mengharuskan `alatnya seimbang` terkait pembelaan diri. Ia mencontohkan apabila seseorang melakukan pembelaan diri bisa saja mengenai orang lain sehingga menyebabkan meninggal dunia.

Sebelumnya, Ipda M Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan didakwa melakukan pembunuhan dan penganiayaan yang menyebabkan kematian dalam kasus Km 50. Kedua polisi itu sebenarnya didakwa bersama seorang lagi, yaitu Ipda Elwira Priadi tetapi yang bersangkutan sudah meninggal dunia karena kecelakaan.

"Bahwa akibat perbuatan terdakwa (Ipda Yusmin) bersama-sama dengan Briptu Fikri Ramadhan serta Ipda Elwira Priadi (almarhum) mengakibatkan meninggalnya Luthfi Hakim, Akhmad Sofyan, M Reza, M Suci Khadavi Poetra," ucap jaksa saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Senin (18/10/2021).

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar