Tapering Menghantui Dunia, IMF Beri Peringatan ke Indonesia

Senin, 10/01/2022 21:10 WIB
IMF. (CNBC)

IMF. (CNBC)

Jakarta, law-justice.co - Dana Moneter Internasional (IMF) memberikan peringatan terbaru kepada negara-negara berkembang mengenai tapering. Lembaga finansial global itu mengatakan bahwa kawasan berkembang dunia akan mengalami perlambatan ekonomi dengan adanya hal ini.


Dalam laporan AFP, IMF pada Senin (10/1/2022) menyebut bahwa bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed sudah bersiap dalam menaikkan suku bunga. Ini didorong oleh inflasi yang merajalela di Negeri Paman Sam yang sudah memukul konsumsi rumah tangga.

IMF lalu menjelaskan perlambatan ekonomi global juga akan dipengaruhi oleh munculnya varian baru Covid-19, Omicron. Pasalnya beberapa negara menanggapi kemunculan varian ini dengan melakukan pembatasan yang ketat dan berimbas pada pemulihan ekonomi yang lambat.


"Mengingat risiko bahwa ini bisa bertepatan dengan pengetatan Fed yang lebih cepat, negara-negara berkembang harus bersiap menghadapi potensi gejolak ekonomi," ujar lembaga itu.

Suku bunga yang tinggi sendiri menjadikan biaya pembiayaan untuk beberapa negara berkembang akan meningkat. Hal ini juga dikhawatirkan mengganggu kemampuan beberapa negara dalam melunasi utang yang didapatkan dalam bentuk dollar AS.

"Sementara biaya pinjaman dolar tetap rendah bagi banyak orang, kekhawatiran tentang inflasi domestik dan pendanaan asing yang stabil membuat beberapa pasar negara berkembang tahun lalu, termasuk Brasil, Rusia, dan Afrika Selatan, mulai menaikkan suku bunga," tambah IMF.

"Kenaikan suku bunga Fed yang lebih cepat dapat mengguncang pasar keuangan dan menyebabkan kondisi keuangan yang lebih ketat dalam skala global."

Untuk melawan situasi itu, IMF menyarankan agar negara-negara ekonomi berkembang menyesuaikan respons berdasarkan keadaan dan kerentanan negara masing-masing.

"Dan bank sentral yang menaikkan suku bunga untuk melawan inflasi harus terlibat dalam komunikasi yang jelas dan konsisten sehingga warga lebih memahami perlunya stabilitas harga," tutup pemberi pinjaman internasional itu.

Informasi saja, sebelum membahas tapering, hal yang perlu diketahui adalah kebijakan moneter berupa Quantitative Easing atau sering disingkat QE.

Secara sederhana QE bisa dibilang kebijakan moneter non-konvensional yang ditempuh bank sentral untuk meningkatkan likuiditas di perekonomian ketika kebijakan konvensional dinilai sudah tidak efektif lagi.

Kebijakan QE hanya dilakukan ketika terjadi kondisi kahar (force majeur) alias mendesak seperti saat ekonomi resesi dan butuh formula untuk menstimulasi agar ekonomi bangkit. Di negara maju, suku bunga sudah rendah dan mendekati nol persen dan sulit turun lebih dalam lagi.

Namun penurunan suku bunga saja tak cukup. Maka bank sentral dalam kasus ini The Fed akan `mencetak uang`. Dari uang yang dicetak tersebut akan dibelikan obligasi pemerintah atau bahkan dalam kasus khusus obligasi perusahaan dengan rating yang memadai juga turut diborong.

Jumlah yang besar untuk dibelikan obligasi ini akan membuat harga aset pendapatan tetap tersebut naik. Kalau harga naik berarti yield turun. Dengan penurunan yield diharapkan biaya meminjam (borrowing cost) bisa turun dan appetite orang untuk pinjam uang guna ekspansi usaha atau konsumsi meningkat yang berujung pada mendorong ekonomi untuk muter lagi.

Namun konsekuensi ketika ekonomi muter lagi adalah inflasi. Bank sentral tak bisa membiarkan inflasi bergerak liar, terlalu tinggi (hyperinflation) atau terlalu rendah dan malah turun (deflation). Ketika likuiditas yang berlimpah tadi memicu inflasi maka injeksinya harus dikurangi.

Nah, pengurangan injeksi likuiditas inilah yang disebut sebagai tapering. Artinya bank sentral tak akan membeli obligasi atau aset lain dengan jumlah yang jumbo terus menerus. Besarannya dikurangi. Dampaknya peningkatan likuiditas tak akan tinggi.

Selama ini banjir likuiditas inilah yang menyebabkan harga aset mulai dari saham, obligasi, kontrak komoditas hingga cryptocurrency beterbangan.

Dengan likuiditas yang berkurang artinya bahan bakar untuk mendorong penguatan aset tersebut menjadi lebih terbatas.

Ditambah lagi dengan harga aset yang sudah terbang tinggi dapat memantik aksi profit taking. Aksi jual di pasar bisa membuat harga aset turun. Setidaknya inilah dampak tapering tahun 2013 silam.

 

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar