Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Menimang-nimang Calon "Presiden Boneka" Indonesia Selanjutnya

Senin, 10/01/2022 05:27 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Pemilihan presiden Indonesia selanjutnya pasca presiden yang sekarang berkuasa memang masih terbilang lama. Pilpres baru di tahun 2024 nanti, momen pemilihan pemimpin baru Indonesia itu akan tiba. Sungguhpun masih cukup lama, namun baunya sudah mulai tercium dalam perbincangan politik di kalangan elite maupun rakyat jelata.

Dari nama nama tokoh yang beredar di sosial media, kandidat yang muncul terkesan itu-itu juga orangnya. Belum ada fenomena munculnya tokoh debutan baru yang membuat persaingan orang nomor satu di Indonesia menjadi lebih berwarna.

Beredarnya tokoh tokoh “lama” calon pemimpin bangsa di masa depan yang terkesan masih itu itu juga mengesankan bahwa regenerasi kepemimpinan nasional belum berjalan sebagaimana harapan kita bersama. Hal in juga mengandung makna bahwa warna kepemimpinan mendatang sepertinya tidak akan jauh berbeda dengan tipikal kepemimpin Indonesia yang sekarang berkuasa.

Sejauh ini selalu muncul anggapan bahwa presiden yang sekarang berkuasa adalah presiden boneka. Sebagai presiden boneka tentu saja segala gerak gerik kebijakannya adalah mengikuti arahan dari para dalang yang memainkanya.

Apakah benar presiden Indonesia yang berkuasa sekarang adalah presiden boneka ?, Bagaimana upaya para dalang dalam mempersiapkan presiden boneka Indonesia selanjutnya ?,Diantara kekuatan para dalang itu kira kira kelompok mana yang akan menjadi pemenangnya ?

Sang Presiden Boneka ?

Di Indonesia, yang namanya boneka itu identik dengan wayang yang merupakan salah satu khasanah kekayaan budaya bangsa. Kalau wayang biasanya dimainkan oleh orang tua lengkap dengan lakon ceritanya. Sementara boneka identik dengan mainan anak anak khususnya mereka  yang berjenis kelamin wanita.Namun antara wayang dan boneka punya status yang sama yaitu hanya bisa menggerakkan badannya  manakala sang dalang berkenan untuk memainkannya.

Istilah boneka menjadi popular dalam jagad perpolitikan di Indonesia setelah kata kata itu disematkan pada sosok pemimpin bangsa Indonesia. Dalam kontestasi pemilu 2014 yang lalu calon Presiden Prabowo Subianto sempat menyebut Jokowi sebagai capres boneka. Saat itu Prabowo menyatakan sudah saatnya rakyat menentukan pilihan yang benar, yaitu memilih pemimpin yang bisa membawa kemakmuran bagi bangsa. "Bagi Gerindra, menang bukan asal menang, tapi untuk menyelamatkan masa depan bangsa," katanya.

Penyebutan Jokowi sebagai presiden boneka kembali mengemuka setelah muncul pernyataan dari Megawati yang menyebut Jokowi sebagai petugas partai kemudian diperkuat oleh sikap Jokowi yang terlihat  begitu manut terhadap Mega.Tentu publik masih ingat  ketika Jokowi bertemu Mega, kemudian dia menunduk, lalu mencium tangannya.

Bagi pendukung Jokowi sikap ini dinilai wajar wajr saja sebagai wujud penghormatan dari orang muda kepada yang lebih tua.Sikap  menunduknya Jokowi kemudian mencium tangan Mega merupakan cara Jokowi sebagai orang Jawa menyalami orang yang lebih tua usianya. Tidak hanya kepada Mega, kepada yang tokoh lain  yang dipandang lebih tua, Jokowi pasti melakukan hal yang sama.Akan tetapi bagi penentangnya, sikap Jokowi ini ditafsirkan sebaliknya karena mengandung indikasi Jokowi sebagai penguasa boneka.

Labeling Jokowi sebagai presiden boneka semakin menguat setelah berulangkali Mega menyebut Jokowi sebagai petugas partai yang bisa mengandung makna bahwa meskipun sebagai seorang presiden ia harus tunduk dan patuh pada partai yang telah mengusungnya. Dalam hal ini ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri menegaskan setiap kader partai yang duduk di kursi legislatif maupun eksekutif menyandang status petugas partai tak  terkecuali Joko Widodo yang sekarang menjadi presiden Indonesia.

Hingga kini, kesan bahwa Jokowi adalah pemimpin boneka masih melekat di kalangan publik seluruh Indonesia.  Hasil survei Indo Barometer menunjukkan indikator kegagalan tertinggi dalam pemerintahan Jokowi-karena adanya  anggapan dikendalikan oleh pihak lain dan dinilai sebagai pemimpin boneka. Hal itu dipaparkan dalam survei yang diluncurkan pada  (22/3/17) yang lalu sebagaimana banyak dikutip media.

Bahwa Jokowi hanya sebagai petugas partai juga ditegaskan oleh ketua DPR Puan Maharani anak kesayangan Mega. Dalam sebuah kesempatan, Puan pernah mengingatkan bahwa Jokowi sebelumnya berhasil menjadi presiden diusung oleh PDI-P. Karena itu, secara etika politik, Jokowi masih menjadi bagian dari partainya. "PDI-P bersama Jokowi dan Jokowi masih sebagai petugas partai, kader PDI-P," ucapnya.

Ketika orang menyebut Jokowi sebagai presiden boneka, tentu kemudian orang bertanya-tanya lalu siapa yang menjadi dalang-dalangnya?. Para dalang inilah yang diduga kuat menjadi penentu perjalanan pemerintahan yang sekarang berkuasa. Secara formal yang menjadi presiden dan berkuasa penuh memang Jokowi, namun faktualnya bisa jadi dilapangan banyak tangan yang menentukan atau sekurang-kurangnya mempengaruhi kebijakan-kebijakannya. Lalu siapa-siapa sajakah mereka?.

Pengamat politik Refly Harun saat Jokowi berkuasa diperiode pertama, pernah menyebut ada enam orang kuat yang berada di lingkaran Presiden yang sekarang berkuasa. Karena ketokohan orang-orang tersebut melebihi pembantu Jokowi yang lainnya. Mereka diantaranya adalah Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan, Ketum Partai Nasdem Surya Paloh,  mantan Wapres Jusuf Kalla, Mantan Kepala BIN terdahulu, Hendropriyono, serta Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dan Budi Gunawan kepala BIN (Badan Intelijen Negara).

Menurut Ahli Hukum Tata Negara ini, keenam orang tersebut memiliki kekuatan dan pengaruh lebih besar ketimbang elite-elite politik lainnya. Artinya, menurut Refly Harun, kemungkinan keputusan-keputusan yang diambil Jokowi  ada andil dan pengaruh dari mereka.Lalu di periode kedua pemerintah Jokowi saat ini siapa kira kira “ orang kuat” yang ada disekitarnya ?

Dalam hal ini memang banyak orang yang menilai sosok Jokowi sebagai presiden boneka dilihat dari sikap politik dan kebijakan kebijakan yang diambilnya. Sebagai contoh Jokowi pernah membela mati-matian Mega saat debat  Capres terkait aset negara yang dijual Mega. Jokowi juga terkesan tunduk pada Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang notabene adalah menterinya.

Dalam kaitan ini Direktur Indonesian Resources Studies, (IRESS) Marwan Batubara menilai Luhut merupakam sosok yang berbahaya di dalam pemerintahan Joko Widodo. Marwan meyakini, Jokowi memahami bagaimana publik saat ini tengah menyorot sepak terjang Luhut dalam pemerintahannya.

Sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, kata Marwan, Jokowi harus bertindak tegas dan membuktikan kepada masyarakat bahwa dia bukanlah petugas partai dan pemimpin boneka. "Oleh sebab itu, sebagai pemimpin tertinggi, Jokowi harus segera bertindak terhadap LBP (Luhut Binsar Pandjaitan). Hal ini juga sekaligus untuk membuktikan bahwa Jokowi bukan hanya Petugas Partai atau pemimpin boneka!," demikian kata Marwan Batubara, sebagaimana dikutip law-justice.co Sabtu (4/4/20).

Sejalan dengan Marwan Batubara, akademisi Profesor  Salim Said menyebut bahwa meskipun menjadi Presiden, Jokowi tidak berkuasa.Pernyataan itu diungkapkan Salim Said dalam diskusi yang tayang di kanal Youtube Karni Ilyas Club dengan tema "REUNI ALUMNI ILC - SATU TAHUN KARNI ILYAS CLUB" Sabtu, 25 September 2021 seperti dikutip galamedia.

Tetapi benarkah Jokowi hanya presiden boneka yang tidak punya kuasa apa apa ?.  Ekonom Senior, Rizal Ramli justru menilai sebaliknya. Ia menyatakan bahwa Presiden Jokowi justru sangat besar kekuasaannya.Indikasinya menurut Mantan menteri koordinator kemaritiman itu, dilihat dari takluknya semua parpol kepadanya. Dia Bahkan bisa menekan para ketum partai dibawah pengaruhnya

"Menurut saya Jokowi itu sebenarnya berkuasa. Partai-partai itu takut kepada Jokowi karena dia punya kekuatan. Punya legal power untuk bikin susah orang, tangkap orang dan sebagainya," kata Rizal dalam kanal Hersubeno di YouTube, seperti dikutip law-jutice.co 30/08/20.

Pada akhirnya orang memang memiliki penilaian yang berbeda terhadap sosok Jokowi sebagai presiden Indonesia yang sekarang berkuasa. Ada yang menilainya sebagai presiden paling lemah karena sebagai penguasa boneka. Ada pula yang menilai sebaliknya, ia adalah presiden yang sangat berkuasa.

Apapun itu, menurut hemat saya seorang presiden memang harus menjadi “boneka”. Tetapi harus jelas bonekannya siapa ?, apakah bonekanya kaum oligarki, penguasa modal atau boneka rakyat jelata yang menjadi pemilik kedaulatan yang sesungguhnya ?, Dari rangkaian sikap dan kebijakan kebijakan yang diambilnya kiranya kita bisa menilai ia sebagai boneka siapa.

Persiapan Presiden Boneka Selanjutnya

Menurut  Jeffrey A. Winters, Direktur Buffet Institute of Global Affairs , Jokowi adalah produk oligarki di masanya. "Kemenangan luar biasa populer Jokowi atas gubernur petahana terjadi berkat dukungan dari kalangan mahasiswa hingga asosiasi ibu rumah tangga yang mendoronganya menuju kemenangannya.

Namun, bagian penting kisah demokratis ini dimungkinkan oleh gerakan oligarki di mana kekuasaan kaum berduit menempatkan Jokowi di hadapan para pemilihnya. Meski dia mendapat dukungan akar rumput, dia bertarung dalam pemilihan gubernur bukan karena inisiatif atau gerakan politik akar rumput," begitu katanya seperti dikutip tirto. 9/12/21.

Dalam hal ini Jokowi berhasil menang karena partai politik dan kaum elite memutuskan untuk mengusungnya. Karena itulah hingga dia menjadi presiden dua periode seperti sekarang, dia tidak bisa melawan kepentingan elite dan partai politik yang telah mengusungnya. Dilihat dari latar belakangnya sangat wajar kalau pemerintah saat ini dinilai telah berpelukan begitu mesra dengan oligarki karena ia menjadi produknya.

Oleh karena itu kemesraan itu tidak boleh berlalu begitu saja tetapi harus dipertahankan kalau bisa untuk selama lamanya. Momen pemilu 2024 adalah saat yang tepat untuk menjaga asa agar kondisi nyaman yang saat ini sudah tercipta dikalangan taipan dan pejabat yang bisnisnya menggurita. Cara mempertahankannya tentu saja adalah memastikan calon pemimpin bangsa adalah merupakan jago dari mereka.Lalu siapakah gerangan jagoannya ?

Terkait dengan ini saya kutip tulisan dari wartawan senior Nanik S. Deyang yang membuat catatan awal tahun dibawah judul “ Oligarki Akan Gunakan Segala Cara Untuk Mempertahankan Kekuasaan 2024”. 

“Pada malam tahun baru itu  si Pak tua action ngelihat lokasi banjir pakai kaos dan celana jeans dengan sandal, bukannya saya senang tapi sedih melihatnya” tulisnya. “Setiap hari lihat aksinya kok saya makin sedih, karena beberapa kali bertemu taipan bilang, mereka akan memenangkan bapak itu jadi Presiden Indonesia.Mengapa taipan pilih dia? karena bapak itu menurutnya adalah fotocopy dari bapak sekarang, dan itu akan membuat ruang-ruang gerak taipan makin leluasa.

Kalau taipan masih oke, namanya juga pengusaha pilih yang paling memberikan untung besar dan kenikmatan berusaha. Tapi ada yang kurang ajar sebenarnya, menurut taipan itu, bukan mereka aja yg menghendaki, tapi juga para pejabat sekarang yang ternyata memiliki bisnis yang mengggurita. "Mereka juga harus selamatkan bisnisnya "...Bapak itu akan dipasangkan dengan menteri keturunan tionghoa, yang sekarang jungkir balik dari uruaan WC sampai berbagi lomba Tarkam.

Lalu si taipan berhitung duit yang kemungkinan cair dari kawan-kawannya, ditambah uang bisa dikumpulkan si calon wakil presiden, karena kalau yang maju ada darah-darah tionghoa, pasti seluruh tionghoa akan mensuportnya

Sekarang, kata taipan yang kebetulan sohib saya juga itu, gerakan survei terus digencarkan untuk menjadikan dia juara. Katanya lagi, orang Indonesia itu mayoritas percaya dengan survei yang diadakan oleh berbagai Lembaga

Mendengar cerita si taipan, saya jadi mikir pola 2019 nampaknya akan dipakai, semua sistem digerakkan untuk mewujudkan bahwa hasil survei itu benar adanya. Memang kalau menghitung duit yang dikucurkan taipan, dukungan pejabat incumbent dan pos-pos yang sekarang ditempati orang-orang untuk menjadikan dia bos Indonesia, Pilpres 2024 itu sama dengan Pilpres 2019, dimana oligarki sebagai juaranya.

Kalau benar demikian kenyatannya sebagaimana ditulis oleh wartawan diatas maka masyarakat Indonesia memang sudah harus mulai waspada.  Saat ini  terlihat gejala pada pemilik modal yang tergabung dalam kelompok oligarki sudah mulai beraksi untuk melahirkan presiden boneka Indonesia selanjutnya. Bagaimana caranya ? dalam hal ini Hatta Taliwang mantan anggota DPR pernah membuat tulisan di law justice.co 27/11/21 tentang dugaan cara oligarki melahirkan presiden boneka.

Intinya adalah kaum oligark pemilik modal atau sekelompok pemilik modal baik asing maupun nasional berkonspirasi dengan cara memanfaatkan Instrumen menggolkan jagoannya.  Mereka melakukan pengamatan dan profiling atas calon calon Presiden yang potensial yang bisa disetirnya.. Calon yang populer dan prorakyat tidak akan dipromosi tetapi calon yang potensial populer namun dipandang lemah karakter dan kemungkinan akan mudah diatur akan dipromosikannnya. Bisa jadi yang terakhir ini sudah lama diuji dan dibina.

Selanjutnya dengan memanfaatkan kekuatan media massa milik para kapitalis/oligarki, mereka secara massif akan mengungkapkan  kelebihan dan kebaikan calon yang akan diusungnya. Sebaliknya terhadap pesaing potensialnya mulai diungkap kekurangan dan kelemahannya. Kalaupun ada kelebihannya diusahakan sedemikian rupa untuk ditutupi atau tidak diberitakan supaya rakyat tidak mengetahuinya.

Seiring dengan pemberitaan media, lembaga-lembaga survey mulai mengarang opini publik dengan prosentse yang sudah diorder sesuai kehendak pihak yang memodalinya. Pengaturan angka-angka prosentase tingkat popularitas dan keterpilihan diatur sedemikian rupa sehingga tampak ilmiah tampilannya. Dengan cara ini rakyat mulai percaya bahwa capres tersebut memang akan sulit dikalahkan nantinya.

Upaya mempersiapkan pemimpin boneka selanjutnya ini juga akan melibatkan kaum intelektual atau akademisi yang lemah mentalnya. Mereka diminta untuk memberi stempel bagus pada sang calon yang sudah mulai menggelembung namanya berkat rekayasa pemberitaan media massa dan hasil survey yang telah dikeluarkan sebelumnya.

Tidak ketinggalan adalah keterlibatan para relawan,LSM, Ormas, buzzer dan sebagainya. Relawan-relawan yang mayoritas awam politik  mulai membabi buta bela jagoannya. Mereka secara membabibuta diminta untuk menjelekkan pesaingnya yang sebenarnya mungkin lebih berkualitas dibandingkan dengan calon yang di usungnya.Mereka mulai aktif kampanye dan propaganda melalui medsos, diskusi, seminar, sebar pamflet dan sarana kampanye lainnya.

Mereka menganggap diri dan kelompoknya seolah sedang mengemban missi mulia untuk memenangkan pertarungan dengan segala cara. Bahkan mungkin robot robot di media sosial pun dioperasikan untuk membentuk opini massa. Buzzer-buzzer bayaran beroperasi tanpa moral yang penting tercapai tujuannya.

Sementara itu para bandar politik tidak lupa bersafari, berkeliling merayu pimpinan partai  agar mereka bersedia menjadi  pengusung  jagoannya dengan membeberkan hasil survei dan berbagai situasi optimis yang berhasil dibangun via media massa dan medsos sehingga Pimpinan Partai tak punya pilihan kecuali menyerah ke para bandar yang merayunya.

Rayuan maut ini bisa membuat pimpinan partai tak punya daya kritis lagi untuk menyeleksi syarat bagi calon Kepala Negara/Presiden yang layak sesuai harapan rakyat pada umumnya. Apalagi kalau para bandar membawa sekarung amunisi yang sangat besar nilainya.

Tidak boleh dilupakan adalah peran dari institusi pengadil dalam hal ini KPU yang selama ini diduga sudah jadi wahana empuk untuk disusupi kepentingan pemodal/oligarki dengan kekuatan uangnya. Pengkondisian KPU sudah bisa dimulai sejak sejak verifikasi partai  hingga nanti saat coblosan dan penghitungan suara tiba.

Jika nantinya proses pemilu ternyata berujung sengketa maka Lembaga Pengadilan sudah harus dipersiapkan sejak awal mula. Lembaga Lembaga seperti Mahkamah Konstitusi (MK) perlu dikondisikan sedemikian rupa sehingga menjadi tidak independent lagi posisinya. Keberhasilan menjinakkan MK ini nampaknya kini memang sudah terasa dengan lahirnya keputusan keputusan MK yang kontroversial sehingga membuat anak anak bangsa mengelus dada.

Selanjutnya untuk menjamin jagoan para kapitalis/oligarki itu menang, maka aparat-aparat/birokrat-birokrat dengan kewenangan dan taktik serta pengalaman yang dimiliki bisa saja bermain demi kemenangan dengan janji jabatan atau karir atau uang dan lain-lain bagi yang bisa menyetor suara dengan optimal seperti prilaku birokrat di era Orba.

Tidak boleh dilupakan juga tentunya untuk mengkondisikan TNI, Kejaksaan, Kepolisian hingga KPK. Lembaga Lembaga ini tentunya akan lebih mudah dijinakkan untuk membela jagonya kaum oligark dengan iming iming harapan promosi jabatan misalnya.

Bahkan, pressure psikologis bisa saja diberikan kepada calon pesaing atau pendukung pesaing sehingga mesin politik pesaing jadi pincang atau lumpuh karena mereka tidak mau repot terjerat kriminalisasi yang bisa menamatkan kariernya.

Terakhir kemungkinan untuk melibatkan pihak mancanegara sebagai amunisi untuk memenangkan jagoannya. Dalam hal ini pihak asing dan antek-anteknya (bidang politik/ekonomi) tentu tidak tinggal diam juga melihat calon yang menguntungkanya berlaga. Mereka tentu dengan berbagai cara akan ikut mendukungnya.

Begitulan kira kira langkah langkah yang disusun oleh para dalang kaum oligark dalam memenangi jagoan yang di usungnya.  Diduga modus seperti ini sudah dipraktekkan sejak Pilpres SBY dan pada Pilpres Jokowi yang sekarang berkuasa. Kalau modus ini sudah diketahui publik mungkin akan dimodifikasi lagi untuk kamuflase misinya. Bagi mereka perkara seperti ini bukan sesuatu yang sulit dan luar biasa karena disokong oleh dana besar dan partai besar yang sulit ditandingi yaitu partai media massa

Dengan modus dan instrumen tersebut di atas, maka Indonesia sepertinya  tidak akan mungkin lepas dari cengkraman pemilik modal/oligarki dan nasib rakyat bangsa dan negara akan terus diexploitasinya. Ujung ujung hanya kelompok tertentu saja yang makin sejahtera sementara mayoritas rakyat akan tetap miskin kehidupannya

Dengan pola pola seperti itu pula rasanya tidak mungkin lahir presiden yang pro rakyat atau pro bangsa dan negara kecuali menjadi boneka berbagai kepentingan pemodal/oligarki baik oligarki lokal maupun mancanegara.

Adu Kuat

Momen pemilu 2024 mendatang yang akan melahirkan pemimpin baru bangsa Indonesia menjadi ajang adu kekuatan untuk memenangkan calon calon yang menjadi jagoannya. Kelompok para dalang yang beraliansi sebagai dalan perkumpulan oligark kini terlihat sudah mulai mengelus elus  “putra mahkotanya”.

Mereka tidak ingin situasi politik dan kenyamanan yang dirasakannya selama ini berlalu begitu saja karena itu harus dijaga dan dibela.Kelompok ini terlihat sudah begitu matang mempersiapkan segala galanya sebagaimana disinggung pada tulisan sebelumnya.

Lalu bagaimana dengan kelompok lainnya yang berusaha berjuang untuk lahirnya  pemimpin bangsa yang benar benar bersedia membela rakyat untuk tercapainya tujuan berbangsa dan bernegara ?. Kelompok ini memang terkesan tidak teroganisir karena memang mengandalkan kekuatan elemen elemen masyarakat sipil yang minim kekuatan sumberdayanya.Suaranya sayup sayup terdengar kemudian tenggelam tergilas oleh situasi yang ada.

Tetapi mereka ini terlihat tetap bersemangat untuk memperjuangkan lahirnya pemimpin bangsa yang bukan boneka dan bukan terpilih karena pencitraannya. Salah satu cara yang diperjuangkan adalah berusaha mengupayakan  PT (Presiden Threshold) 0 % dari yang ada saat ini yaitu sebesar 20 %. Dengan adanya PT 0 % akan dimungkinkan lahirnya pemimpin baru yang lebih berkualitas karena rakyat menjadi punya banyak pilihan dalam menentukan calon pemimpinnya.

Namun perjuangan “pintas” ini nampaknya juga tidak berjalan mulus karena sudah ada kendala menghadang di depan sana. Sinyalemen adanya dugaan Mahkamah Konstitusi (MK) telah masuk angin manakala harus memutuskan perkara judicial review yang di majukan kelembaganya sudah begitu nyaring kedengarannya.

Belajar dari perkara perkara judicial review sebelumnya seperti revisi UU KPK, Minerba dan UU cipta kerja nampaknya nasib ajuan judicial review untuk PT % juga akan bernasib sama. Terkait dengan soal ini Tokoh Nasional yang juga Ekonom Senior, Rizal Ramli menyoroti hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menyebut hakim Mahkamah Konstitusi (MK),  sering menggunakan argumentasi open legal policy dalam menangani setiap pengajuan judicial review ke lembaganya.

Open legal policy merupakan kebijakan hukum terbuka yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR). Jika konstitusi sebagai norma hukum tertinggi tidak memberikan batasan yang jelas bagaimana seharusnya materi dalam undang-undang diatur didalamnya.

Lewat akun Twitter pribadinya, dia menyebutkan bahwa hakim MK yang doyan menggunakan argumentasi open lecal policy masuk kategori penjilat penguasa.Dia mengatakan, argumentasi hukum itu digunakan untuk menghindari tanggung jawab konstitusional pada hal MK dibuat untuk menguji apakah UU bertentangan dengan UUD 1945. “Semua yang bertentangan dengan UUD harus dianggap  tidak konstitutional! Gitu aja ribet, sono kuliah lagi," ujarnya di twitter sambil mentautkan akun resmi MK sebagaimana dikutip law justice.co 03/01/22.

Dia kemudian mengungkapkan bahwa aturan tentang ambang batas pencalonan presiden 20 persen tidak tercantum dalam UUD 1945. Artinya, aturan itu tidak konstitusional."(Threshold) Itu hanya untuk blocking calon-calon pilihan rakyat, dan menjadi basis dari demokrasi kriminal! Kok gitu aja ora ngerti. Hakim MK sono, kuliah lagi filsafat dan logika," demikian penjelasan bernada sindiran mantan Menteri Perekonomian era Presiden Gus Dur ini.

Dengan demikian jika nantinya MK memutuskan soal PT itu adalah open lecal policy sifatnya, maka boleh dikatakan Lembaga itu telah menghindar dari kewajibannya untuk menyatakan bahwa PT 20 % adalah illegal dan karenanya harus dinyatakan inkonstitusional hukumnya.

Wajar kalau kemudian lewat akun Twitter pribadinya, Rizal Ramli menyebutkan bahwa hakim MK yang doyan menggunakan argumentasi open lecal policy masuk kategori penjilat penguasa. Karena akibat keputusannya membuat persoalan PT dikembalikan ke ranah kewenangan pembentuk Undang Undang yaitu DPR dan pemerintah yang sekarang berkuasa pada hal PT. 20 % itu selama ini mereka juga yang menentukannya.

Dengan fenomena yang terjadi di MK saat ini kiranya masih panjang jalan untuk mewujudkan lahirnya pemimpin bangsa yang benar benar sesuai harapan rakyat yaitu untuk mencapai tujuan negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Masih cukup terjal jalan untuk bisa mewujudkan lahirnya pemimpin boneka rakyat yang sesungguhnya. Apakah ini juga menjadi sinyal kekalahan kelompok yang selama ini berjuang meloloskan bangsa Indonesia dari jerat oligarki yang sudah terlanjur demikian menggurita ?.

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar