Perpres Jokowi soal Sanksi Pidana yang Tak Mau Divaksin Dikuatkan MA

Sabtu, 08/01/2022 13:07 WIB
Gedung Mahkamah Agung RI di Jakarta (Foto: Law-justice.co)

Gedung Mahkamah Agung RI di Jakarta (Foto: Law-justice.co)

Jakarta, law-justice.co - Gugatan warga terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2021 resmi ditolak Mahkamah Agung (MA). Itu tandanya, sanksi pidana bagi yang tidak mau divaksin dikuatkan MA.

Perpres itu bernama lengkap Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Di Pasal 13A ayat 2, Pasal 13A ayat 4, dan Pasal 13B yang mengatur tentang kewajiban vaksinasi bagi masyarakat serta sanksinya apabila dilanggar baik berupa sanksi administratif dan juga sanksi pidana. Aturan sanksi pidana ini di judicial review ke MA oleh Saka Murti Dwi Sutrisna dkk tapi kandas.

"Tolak," demikian bunyi putusan judicial review yang dikutip dari websiite MA.

Duduk sebagai ketua majelis Prof Supandi dengan anggota Is Sudaryono dan Yodi Martono Jauzie.

Sebagaimana diketahui, Saka memberikan kuasa ke Abdul Hamim Jauzie. Ia menilai ketentuan di Perpres tersebut dianggap oleh pemohon cacat secara formal dan materiil karena bertentangan dengan prosedur pembentukan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Serta tidak sejalan dengan semangat jaminan hak asasi manusia (HAM) di bidang pemenuhan kesehatan dalam UU No 36/2009 tentang Kesehatan, UU No 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular.

"Dan UU No 11/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya," ujar Saka.

Secara substansial, kata Saka, Pasal 13 dan Pasal 15 UU Nomor 12/2011 mengatur materi muatan perpres seharusnya dapat mengakomodasi materi yang diperintahkan oleh UU, materi untuk melaksanakan peraturan pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Serta yang tidak kalah pentingnya tidak boleh mengatur ketentuan pidana.

"Dengan diaturnya ketentuan pidana dalam Pasal 13B Perpres 14/2021 tersebut, maka sudah sepatutnya tidak dibenarkan," kata tim pengacara yang terdiri dari Audaraziq Ismail, Bitra Mouren Ashilah, Mohammad Faisol Soleh, Rhendra Kusuma, dan Sandi Yudha Prayoga itu.

Meskipun disandingkan ketentuan pidana dalam UU No 4/1984, menurut Saka dkk, sama sekali tidak beralasan. Sebab, ketentuan pidana dalam UU tersebut hanya mengatur dua bentuk tindak pidana dan sama sekali tidak mengakomodir ketentuan mengenai pelanggaran kewajiban vaksinasi.

Persoalan lain yang juga ditentang adalah masalah bentuk pemberian label `wajib` bagi masyarakat untuk vaksinasi. Padahal jelas vaksinasi merupakan bagian dari `hak` atas kesehatan yang dijamin oleh konstitusi serta aturan penerjemahnya, yaitu UU No 36/2009, UU No 4/1984, dan UU No 11/2005.

"Justru sebaliknya, label `wajib` merupakan domain yang seharusnya disematkan pada Negara melalui Pemerintah dan bukan berada pada masyarakat," pungkas Saka.

Tapi apa daya, argumen Saka dkk kandas. MA menguatkan Perpres itu.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar