Food Estate Jokowi Disebut Mirip Sistem Tanam Paksa Penjajah Belanda

Jum'at, 07/01/2022 13:00 WIB
Jokowi dan Prabowo dalam proyek Food Estate (Dok.Setneg)

Jokowi dan Prabowo dalam proyek Food Estate (Dok.Setneg)

Jakarta, law-justice.co - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut program Food Estate (FE) yang dirancang Presiden Joko Widodo dan dijalankan Kementerian Pertahanan mirip dengan Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda di masa silam.


Dikutip dari CNNIndonesia, Cultuurstelsel yang dilakukan di bawah Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya kopi, tebu, teh, dan tarum.

"Jika dianalisa, sistem FE sebenarnya serupa dengan sistem tanam paksa, sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan ekonomi Indonesia telah kembali ke era kolonialisme," ujar Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Sartika dalam acara peluncuran Catatan Tahunan KPA, dikutip Jumat (7/1/2022)

Dia menilai ada kemiripan dalam pola pelaksanaan yang digunakan Food Estate dengan sistem tanam paksa. Misalnya, pertama, Dewi melihat Cultuurstelsel dilakukan dengan perampasan tanah melalui Domein Verklaring. Sedangkan tak jauh berbeda, Food Estate dilakukan dengan cara merampas tanah melalui klaim Proyek Strategis Nasional (PSN).

Selain itu, Cultuurstelsel mewajibkan setiap desa menyisihkan 20 persen tanah untuk ditanami komoditas ekspor dan hasilnya diserahkan kepada Belanda. Menurut Dewi, ada sedikit kemiripan dengan food estate,

"[Sedangkan FE] pemerintah pusat mewajibkan pemda memastikan kesediaan tanah secara cepat dan luas di setiap wilayah target. Konsekuensinya, tanpa transparansi proses dan resiko, Pemda menyasar tanah warga untuk menanam komoditas yang ditentukan hingga mengubah budaya agraris dan tenurial masyarakat," papar Dewi.

Pemerintah mencanangkan tanah seluas 3,99 juta hektar di 7 (tujuh) provinsi sebagai alokasi tanah untuk program ini. Alokasi terbanyak bertempat di Provinsi Papua dengan 3,2 juta hektare tanah.

Tidak berhenti di situ, menurut Dewi, kegagalan panen dalam sistem Food Estate maupun Cultuurstelsel mesti ditanggung oleh petani sendiri. Padahal, dalam Food Estate, petani pemilik tanah akan berubah statusnya menjadi buruh tani harian atau kontrak di lokasi Food Estate.

Kesamaan lainnya adalah pemerintah pusat memberikan insentif perpajakan bagi perusahaan pengelola Food Estate. Hal tersebut mirip dengan Cultuurstelsel yang memberikan prosenan tanaman sebagai hadiah oleh penjajah untuk penguasa lokal atau kepala desa.

Dewi melanjutkan bahwa aspek yang juga digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda dalam menerapkan Cultuurstelsel dan pemerintah Indonesia saat ini adalah pengerahan aparat dalam menghadapi konflik dengan petani atau warga.

"[Terbukti], sepanjang tahun 2021, tercatat sebanyak empat letusan konflik agraria di sektor fasilitas militer yang tumpang tindih dengan tanah-tanah rakyat. Aparat TNI terlibat secara langsung melakukan intimidasi, penggusuran dan melakukan kekerasan," ujarnya.

Beberapa kasus seperti konflik antara TNI AD dengan warga di Bara-Baraya, Makassar, atau sengketa TNI AL dengan 300 warga Desa Kalasey II, Minahasa, Sulawesi Utara.

Staf khusus Menhan Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak dihubungi mengenai hal ini, namun enggan merespons tudingan KPA.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar