Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Setelah 76 Tahun Usianya, Benarkah DPR Kini Telah Kembali ke Era Orba?

Jum'at, 07/01/2022 05:28 WIB
H.Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)

H.Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Dalam kesempatan memberikan sambutan pada acara Hari Ulang Tahun (HUT) ke-76 DPR RI yang jatuh pada hari Minggu 29 Agustus tahun lalu, Ketua DPR RI Dr. (H.C) Puan Maharani menegaskan komitmen DPR untuk terus memperbaiki kinerjanya.

Puan memastikan, lembaga perwakilan rakyat yang dipimpinnya tak akan berhenti melakukan berbagai perbaikan untuk meningkatkan kerja-kerja legislasi, pengawasan dan anggaran, sebagaimana diamanatkan Konstitusi negara.

Harapan mbak Puan sebagai pimpinan DPR tentu saja juga menjadi harapan kita bersama sebagai warga bangsa yang peduli pada peningkatan kelembagaan negara termasuk DPR agar dapat berfungsi optimal dalam menjalankan amanah yang dibebankan kepadanya.

Namun ditengah tengah optimism dan harapan itu muncul penilaian yang kurang mengenakkan terhadap kelembagaan DPR yang sudah terbilang tua usianya. Adalah  Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) yang menilai kinerja DPR RI tumpul dan hanya menjadi `stempel` pemerintah semata.

Hal tersebut menurut Formappi tercermin dari kemudahan DPR menyetujui regulasi seperti Rancangan Undang-Undang (RUU), Rancangan APBN dan pertanggungjawaban APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).

"Kendali Pemerintah itu dilakukan melalui parpol-parpol koalisi yang selanjutnya menjadi acuan fraksi-fraksi di parlemen," ujar Peneliti Formappi Lucius Karus dalam catatan Refleksi Akhir Tahun 2021, sebagaimana banyak dikutip media.

Benarkah DPR saat ini telah kembali ke era Orde baru  (Orba) yang hanya menjadi tukang stempel kebijakan pemerintah belaka ?, Mengapa setelah 76 tahun usianya DPR dinilai telah kembali ke era Orba ? Seperti apa harapan rakyat terhadap Lembaga DPR yang menjadi wakil mereka ?

Kembali ke Era Orba ?

Rezim Orba memang sudah lama tumbang sejak mahasiswa bergerak mengakhiri 32 tahun kekuasaannya.Meskipun sudah lama tumbang tapi masa masa kelam selama Orba berkuasa sering di singgung oleh generasi yang lahir sesudahnya. Salah satu fenomena yang sering di sebut sebut sebagai warisan buruk Orba adalah kondisi Parlemen atau DPR yang ada di masanya.

DPR pada masa Orba dikenal sebagai Lembaga “tukang stempel” kebijakan pemerintah semata. "Tukang stempel" merupakan istilah yang sering digunakan sebagai kritik masyarakat pada era Orba untuk  menjuluki  DPR-nya yang cenderung "manut" terhadap kemauan pemerintah yang sedang berkuasa di masanya.

Selain sebagai “tukang stempel “, DPR pada masa Orba juga populer dengan istilah "5 D; datang, daftar, duduk, diam, dan duit." Istilah tersebut muncul dari persepsi negatif masyarakat karena kebanyakan anggota DPR dianggap tidak berani menyurakan aspirasi dan melakukan pengawasan terhadap pemerintah yang sedang berkuasa. DPR bak Macan ompong yang tak berdaya menerkam mangsanya.

DPR pada masa Orba sesungguhnya mempunyai fungsi yang sama dengan DPR yang sekarang yaitu fungsi legislasi, keuangan dan pengawasan. Namun ketiga fungsi tersebut dijalankan sekedarnya saja. Ambil contoh dalam melaksanakan fungsi legislasi misalnya, DPR tetap melaksanakan prosedur dan mekanisme pembuatan undang-undang sampai tahap akhir yaitu sidang paripurna. Namun di balik itu, sidang dengan pelbagai kegiatan lainnya sebenarnya telah didesain oleh rezim penguasa. Bahkan UU yang akan dihasilkan pun telah disiapkan oleh rezim jauh sebelum pengetukan palu sidang untuk pengesahannya. Sehingga sidang yang dilakukan oleh DPR hanya formalitas belaka.

Dikutip dari jurnal karya Yeby Ma`asan Mayrudin, Mochtar Mas`oed menjelaskan mengenai DPR Era Orba sebagai: "... praktek pada era Orba sebetulnya mengulang praktek yang ada pada rezim Soekarno berkuasa dimana sudah menjadi tradisi bahwa badan eksekutif langsung mengendalikan politik legislatif. Hasilnya adalah suatu parlemen yang umumnya tanggap terhadap perintah lembaga eksekutif dan patuh melaksanakan perintah itu, dengan akibat mengurbankan proses pembahasan dan pertimbangan yang seksama."

Sejak reformasi 1998 yang ditandai dengan tumbangnya Orba, kondisi DPR telah mengalami pelbagai transformasi di beberapa lini sehingga lebih berdaya. Terdapat perbedaan yang sangat mendasar parlemen reformasi sekarang ini dibandingkan dengan parlemen di zaman Orba.

Amandemen konstitusi yang dilakukan sebanyak empat kali paska reformasi telah banyak membuat perubahan sistem ketatanegaraan serta bentuk dan fungsi lembaga negara. Salah satunya yaitu penguatan peran DPR yang begitu lemah saat Orba berkuasa.

Perubahan kelembagaan DPR pasca tumbangnya Orba ditandai dengan adanya perbaikan perbaikan diantaranya:

Pertama, terkait keanggotaan. Pada era Orba bahkan sampai tahun 2004, anggota DPR/MPR merupakan anggota yang terbagi dalam beberapa fraksi yaitu fraksi-fraksi partai politik, fraksi Golongan Karya (pada tahun 1999 berubah menjadi Partai Golkar), fraksi ABRI (tahun 1999 – 2004 menjadi fraksi TNI/Polri) dan fraksi utusan-utusan daerah. Namun sejak dilaksanakannya pemilu secara langsung tahun 2004, keanggotaan dan fraksi yang ada di DPR merupakan seluruhnya merupakan fraksi-fraksi partai politik. Dihapuskannya fraksi TNI/Polri dan fraksi utusan-utusan daerah sejak 2004, membawa imbas yang cukup baik dalam aktivitas DPR sendiri mengingat selama ini kedua fraksi tersebut terutama militer acap kali dimanfaatkan oleh rezim yang berkuasa.

Kedua, terkait pelaksanaan fungsi. Pada dasarnya DPR zaman Orba  juga memiliki tiga fungsi yang sama dengan DPR sekarang yaitu  fungsi legislasi, keuangan dan pengawasan. Namun pada prakteknya ketiga fungsi tersebut dijalankan hanya sekadar formalitas belaka.  Oleh karena itu sejak awal-awal reformasi banyak penelitian dan desakan yang menginginkan perluasan dan penguatan fungsi DPR sebagai akibat dari pengekangan oleh rezim Orba. Upaya ini membuahkan hasil sehingga DPR saat ini menjadi lebih berdaya : memiliki power, fungsi, tugas dan kemampuan yang sangat besar dibandingkan sebelumnya. Sebagai contoh DPR pasca reformasi sangat leluasa memanggil pejabat tinggi negara, menteri maupun non-menteri untuk dimintai klarifikasi atas suatu masalah yang terkait dengan lembaganya. Bahkan perdebatan dalam rapat dengar pendapat antara DPR dan pemerintah sudah lazim terjadi yang sangat mustahil dapat disaksikan di zaman Orba berkuasa.

Ketiga, terkait struktur kelembagaan. DPR sejak tahun 1999 telah memiliki pimpinan dan birokrasi yang terpisah dari pimpinan dan birokrasi MPR. Pada zaman Orba,  Ketua DPR itu sekaligus merangkap sebagai Ketua MPR. Hal ini merupakan suatu kemajuan yang positif karena memang ada pembedaan tugas yang cukup tegas antara kedua lembaga tersebut di dalam ketatanegaraan kita.

Namun setelah adanya perbaikan perbaikan pasca tumbangnya Orba, kondisi DPR yang sekarang setelah 76 tahun usianya dinilai telah kembali ke era sebelumnya. DPR dinilai kembali tidak berdaya tak ubahnya seperti kondisi ketika Orba berkuasa.

Penilaian DPR sekarang mirip seperti zaman Orba tidak terlepas dari kinerja yang ditunjukkan selama setahun terakhir ini yang dinilai publik banyak minusnya sehingga mengecewakan masyarakat Indonesia.

Meskipun DPR belakangan dinilai minus kinerjanya tapi secara jujur patut diakui bahwa DPR tidaklah sepasif pada masa Orba. Sebagai bahan perbandingan untuk tugas dibidang legislasi misalnya, DPR di era Orba begitu pasif kerjanya sehingga sampai pasca pemilu 1971 tidak ada satupun undang-undang yang menjadi usul inisiatifnya.

Berbeda halnya dengan DPR saat ini meskipun disebut sebut telah kembali ke era Orba namun faktanya masih terlihat kinerjanya. Dibidang legislasi misalnya, selama tahun 2021 yang lalu dimana ada sebanyak 33 Rancangan Undang-Undang (RUU) masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021 yang disampaikannya dalam Rapat Paripurna.

Dari jumlah RUU tersebut 21 RUU diantaranya merupakan usulan dari DPR sisanya yaitu sebanyak 10 RUU usulan dari Pemerinah dan 2 RUU usulan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dari 33 RUU prioritas di tahun 2021 tersebut baru 8 RUU yang berhasil di sahkan menjadi Undang Undang. Capaian yang sangat minim ini tentunya sangat mengecewakan publik karena tidak sesuai dengan ekspektasinya.

Tapi sepertinya yang membuat publik kecewa bukan semata mata karena minimnya RUU yang telah berhasil di sahkan oleh DPR bersama dengan mitra kerjanya. Yang membuat kecewa adalah perubahan sikap DPR yang terkesan terlalu manut dengan kehendak pemerintah yang sedang berkuasa.

Sebagai gambaran pembahasan RUU CIpta kerja yang diajukan oleh pemerintah pada masa pandemi yang terkesan dipaksakan pengesahannya. Karena meskipun RUU tersebut dinilai cacat materi dan prosedur  pembuatannya tapi DPR tetap mengesahkannya. Tidak ada ada adu argumentasi dan “perlawanan” terhadap substansi RUU Cipta kerja meskipun diluar banyak elemen masyarakat menentangnya.Ditahun tahun sebelumnya juga marak penolakan masyarakt terhadap RUU yang dibahas di DPR yang akhirnya disahkan juga seperti UU revisi KPK, RUU Minerba, RUU Corona dan sebagainya.

Banyaknya penentangan terhadap RUU yang dibahas pemerintah bersama DPR dimasa pandemi virus corona menunjukkan bahwa RUU yang sedang dibahas bersifati tidak aspiratif dan tidak partisipatif sehingga memunculkan pertanyaan :sesungguhnya Undang Undang tersebut dibuat untuk kepentingan siapa ?

Berangkat dari fenomena tersebut kemudian publik menilai bahwa DPR era sekarang sudah menjadi DPR seperti era Orba yang cuma menjadi stempel pengesahan kebijakan yang dikehendaki oleh pemerinah yang sedang berkuasa. Sinyalemen ini semakin mendapatkan legitimasinya manakala disandingkan dengan fungsi DPR yang lainnya dibidang pengawasan dan anggaran yang dinilai ikut mengecewakan pula.  Tetapi apakah memang benar demikian faktanya ?. Dalam hal ini masyarakat sah sah saja menilainya. Karena mereka sebagai pemilik kedaulatan yang sebenarnya sudah sewajarnya untuk menilai wakil wakilnya.

Pada sisi lain kelembagaan DPR sebagai pihak yang disorot harus menerima dengan lapang dada. Karena bagaimanapun kritik dan saran adalah masukan berharga untuk memperbaiki kinerjanya. Jangan sampai kewenangan besar yang dimiliki sekarang menjadi tidak bermakna karena telah menjadi Lembaga yang mengekor kepentingan pemerinah yang sedang berkuasa.

Apa Yang Menjadi Biangnya ?

Munculnya penilaian dari beberapa elemen masyarakat seperti yang disuarakan oleh Formappi tentu tidak muncul secara tiba tiba. Penilaian tersebut tentu berdasakan pengamatannya yang mungkin sudah berlangsung cukup lama.

Menurut hemat saya, adanya penilaian bahwa DPR telah kembali ke masa Orba dan  terkesan hanya menjadi stempel kebijakan pemerintah yang berkuasa tidak terlepas dari situasi politik nasional yang mengiringinya.

Paling tidak ada tiga hal yang mempengaruhi kondisi DPR saat ini yang telah dikesankan kembali pada masa Orba dan hanya menjadi stempel kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa.

Pertama, Konsekuensi dari Koalisi Gemuk,  dimana  lebih dari setengah  partai politik telah memilih untuk berkoalisi dengan pemerintah yang sedang berkuasa. Sebut saja, PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB, Nasdem, Perindo, PKPI, PSI dan Hanura dan Gerindra.

Gemuknya koalisi pendukung pemerintah ini telah membuat demokrasi di Indonesia terganggu kesehatannya. Karena  dengan sendirinya kubu Oposisi menjadi semakin "kurus" dan akhirnya tidak berdaya.

Secarah konsep demokrasi apabila salah satu kubu terlalu "Gemuk" akan berpengaruh nantinya kepada proses check and balances sehingga menimbulkan kesan " one man show" sehingga tidak ada yang mengontrolnya.

Sebab sejatinya demokrasi lahir untuk menghalau kesewenang wenangan diantara para penguasa dan kesewanang wenangan itu dapat di kontrol dengan konsep Check and Balance, namun ketika salah satu kubu terlalu "Gemuk" mungkinkah chek and balances akan berjalan sebagaimana harapan kita bersama ?.

Di Indonesia ada keengganan atau kesungkanan bagi anggota DPR untuk menjalankan fungsi pengawasannya secara ketat manakala sudah merapat ke penguasa.Pada hal seharusnya meskipun sudah berada di lingkaran kekuasaan, fungsi kontrol mestinya tetap jalan karena merupakan amanat dari perundang undangan dan demi lurusnya jalanya pemerintahan yang berkuasa.

Kedua, Diduga Telah Terjadi “Perselingkuhan”  antara DPR dengan Pemerintahan yang sedang berkuasa. Pada hal awalnya dengan desain konstitusi yang menyeimbangkan kekuatan eksekutif dan legislatif itu dimaksudkan untuk berjalannya prinsip checks and balances dalam kehidupan bernegara. Tapi dalam perjalanan kemudian, dua kekuatan itu berkolaborasi dengan terbentuknya koalisi besar sehingga mengancam hilangnya fungsi chek and balances yang seharusnya dijalankannya.

Dalam kaitan ini rupanya partai politik tak bisa menahan diri untuk tidak semuanya bergabung ke pemerintah yang berkuasa. Dalam hal ini kita memang memerlukan pemerintahan yang kuat tapi kuat dalam pengertian di sini, tidak menguasai segala-galanya. Artinya, ada kekuatan yang cukup di DPR untuk bisa mengimbangi posisi pemerintah yang berkuasa.

Dengan merapatnya kekuatan partai politik di DPR untuk mendukung Pemerintah maka potensi untuk terjadinya praktek “perselingkuhan” sangat terbuka. Hal ini ternyata sudah terbukti paling tidak bisa dilihat pada proses pelaksanaan fungsi legislasi di DPR yaitu pembuatan Undang Undang yang nyaris tidak ada “perlawanan” dalam proses pembahasan dan pengesahannya.

Bahkan dalam beberapa kasus DPR yang diharapkan menjalankan fungsi kontrolnya justru malah menjadi juru bicara eksekutif sehingga mengaburkan peran dan fungsinya sebagai wakil rakyat yang telah memilihnya.

Terjadinya “ perselingkuhan “ ini tentu saja membuat DPR menjadi enggan untuk bersuara karena merasa bertanggungjawab untuk ikut mengamankan kebijakan kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah yang berkuasa.

Ketiga, menjadi wakil partai bukan wakil rakyat. Meskipun sejatinya DPR itu adalah wakil rakyat namun dalam prakteknya harus diakui peran partai sangat dominan sehingga ruang gerak anggota DPR mengalami  pembatasan pembatasan sehingga tidak bisa sepenuhnya menjalankan peran dan fungsinya.

Kondisi tersebut tentu saja telah membuat anggota DPR gagap dalam menyuarakan aspirasinya karena merasa diawasi setiap gerak geriknya  termasuk suaranya oleh partai pengusungnya. Maka jangan heran kalau ada anggota DPR yang awalnya mungkin vokal kemudian mundur teratur karena adanya batasan batasan yang ada diluar kekuatannya.

Itulah hal hal yang sekurang kurangnya menjadi penyebab mengapa saat ini gedung DPR semakin sunyi tanpa suara sehingga mirip kondisinya dengan DPR di era Orba berkuasa. Ada sayup sayup suara perorangan anggota DPR tapi hampir pasti suara mereka tidak banyak berpengaruh terhadap perubahan konstelasi politik yang ada.

Di tengah situasi politik seperti itulah anggota DPR menjalankan fungsi dan tugasnya. Ia seperti mendayung diantara dua karang yang berbeda. Satu sisi adalah menjalankan perannya sebagai penyalur aspirasi rakyat dan menjalankan idealismenya. Disisi lainnya ia harus patuh terhadap rambu rambu partai dan pengaruh penguasa. Bisa dipahami kalau kemudian banyak anggota DPR yang memilih jalan aman yang penting tercukupi kepentingan dirinya dan tidak terganggu untuk kursinya di periode berikutnya. 

DPR Harapan Rakyat

Siapapun dia sebagai wakil rakyat tentu akan merasa prihatin dan merasa tidak nyaman manakala Lembaga tempatnya mengabdi dicitrakan negatif oleh masyarakat yang diwakilinya. Karena hal ini akan bermakna kegagalan dalam mengemban tugas dan amanah yang diberikan kepadanya.

Rata rata anggota DPR sesungguhnya menyadari betul betapa besar harapan rakyat pada wakil wakilnya. Rakyat  berharap agar para wakil rakyat itu benar  benar menempatkan dirinya sebagai wakil rakyat yang bekerja sepenuh hati untuk kepentingan rakyatnya.  Rakyat berharap wakil wakilnya bisa lebih kritis menjalankan fungsi fungsi legislative, pengawasan dan penggunaan anggaran negara. Pandai memanfaatkan hak hak hak DPR seperti hak inisiatif, hak angket,hak tanya,hak untuk melakukan investigasi, hak bujet, dan sebagainya demi kepentingan rakyat yang diwakilinya.

Saat ini harapan harapan tersebut sepertinya masih menjadi barang langka sehingga harapan itu baru sebatas utopia belaka. Semoga saja terjadi perubahan peta politik nasional yang membuat situasinya menjadi lebih baik untuk berkembangnya demokrasi di Indonesia.  Perubahan situasi politik nasional yang membuat wakil wakil rakyat bisa kembali menemukan habitat yang sebenarnya dalam memperjuangkan kepentingan rakyat yang diwakilinya.

 

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar