PNPK Desak Pemerintah Segera Lakukan MoU MLA dengan Singapura

Kamis, 06/01/2022 13:35 WIB
Ilustrasi Mutual Legal Assistance (MLA) (Foto: Istimewa)

Ilustrasi Mutual Legal Assistance (MLA) (Foto: Istimewa)

[INTRO]
Presidium Nasional PNPK (Poros Nasional Pemberantasan Korupsi), Haris Rusly Moti, mengapresiasi pernyataan yang pernah Presiden Jokowi dalam upaya mengejar sekaligus mengembalikan asset para bandit keuangan yang ada di luar negeri. 
 
Untuk itu Haris mendorong agar Pemerintahan Jokowi segera menandatangani perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) dengan Singapura. Tidak hanya dengan Swiss dan Rusia. 
 
"Karena kejahatan keuangan adalah kejahatan transnasional kelas satu yang dilakukan melalui  pencurian sumber daya alam, penghindaran pajak, pelarian keuntungan secara ilegal,  korupsi, pencucian uang, hingga uang hasil drug, perdagangan manusia, judi, dan lain sebagainya," kata Haris Rusly Moti, kepada wartawan di Jakarta, Rabu (5/1/2022). 
 
Dijelaskannya, MLA adalah sebuah mekanisme penyitaan aset hasil kejahatan keuangan melalui pertukaran informasi keuangan dalam proses pemidanaan para pelaku kejahatan keuangan. Melalui MLA aset hasil kejahatan keuangan disita seluruhnya oleh negara. 
 
Berbeda tentunya dengan Tax Amnesty yang memberikan pengampunan terhadap kejahatan keuangan dengan syarat membayar denda sejumlah tertentu. Indonesia telah melaksanakan Tax Amnesty jilid 1, namun gagal. 
 
Ditambahkannya, saat ini ada rencana melaksanakan Tax amnesty jilid 2, tampaknya akan gagal lagi. Sebetulnya Tax Amnesty tidak sejalan dengan agenda rezim internasional dalam digitalisasi, Automatic Exchange of information (AEOI), dan era "keterbukaan vulgar", yang akan menutup sama sekali ruang bagi uang hasil korupsi dan berbagai jenis kejahatan keuangan. 
 
"Karena itu, kami menyampaikan dua catatan awal tahun 2022 terkait perlawanan terhadap oligarki kejahatan keuangan yang telah merampas hajat hidup orang banyak, mengakibatkan kebangkrutan negara dan kemelaratan rakyat, diantaranya kenaikan harga," paparnya. 
 
Pertama, walaupun Presiden Jokowi telah bergerak jauh sampai ke kutub utara untuk mengejar aset para bandit keuangan, namun sampai sekarang Presiden Jokowi tampak tak berdaya mengutak atik atau menyentuh aset para oligarki jahat, khususnya bandit BLBI, yang disimpan di Singapura. 
 
Buktinya sampai saat ini tidak ada inisiatif untuk memulai proses penandatanganan MLA dengan Singapura. Padahal Singapura jaraknya cuma sejengkal dari Indonesia, jika dibandingkan dengan Swiss dan Rusia. Publik Indonesia tahu bahwa para bandit keuangan bersembunyi di Singapura dan harta hasil kejahatan keuangan mereka juga disimpan di Singapura. 
 
Meskipun data berikut tidak dibuka secara transparan, namun  media mecatat sekitar Rp. 7.000 triliun  uang tersimpan dalam rekening rahasia di Swiss dan Rp. 4.000 triliun tersimpan di Singapura. 
 
Namun menurut sebuah data tidak resmi, uang oligarki maling Indonesia yang disimpan di Singapura berkisar di atas Rp. 10.000 triliun. Uang tersebut adalah hasil kejahatan keuangan di Indonesia terutama hasil pencurian SDA dan hasil korupsi BLBI. 
 
Pemerintah telah membuat wadah untuk penyitaan aset piutang pemerintah di para obligor kakap BLBI yang diketuai Mahfud MD. Namun cara perdata ini tampaknya tidak akan membawa hasil. Selain itu cara perdata dan penuh kompromi ini malah berpotensi dijadikan alat untuk memeras obligor BLBI untuk kepentingan oligarki penguasa sekarang. 
 
Lagi pula para obligor BLBI banyak yang melarikan diri ke Singapura dan ada juga yang bersembunyi di dalam negeri. Sehingga lembaga yang dibuat Presiden Jokowi untuk menagih utang BLBI pasti gagal. 
 
Oleh karena itu, jika Pemerintahan Jokowi konsisten maka seharusnya menandatangani MLA dengan Singapura, tetap memakai mekanisme MLA, melakukan pemidanaan terhadap pelaku kejahatan keuangan, menyita aset mereka secara keseluruhan dan menghukum mati bagi para bandit keuangan yang tetap berusaha melawan negara. MLA adalah mekanisme yang telah diakui secara internasional sehingga tidak ada satupun negara yang dapat beternak uang kotor lagi termasuk Singapura. 
 
Kedua, tuntutan hukuman mati terhadap Heru Hidayat, tersangka kasus mega korupsi ASABRI, adalah sebuah langkah hukum strategis untuk mencegah korupsi dan berbagai kejahatan keuangan hari ini dan masa depan. Dalam konteks tersebut, kami desak Pemerintahan Jokowi segera membuat pengadilan ad hoc untuk mengadili secara cepat pelaku kejahatan keuangan di masa lalu, masa kini dan masa akan datang sehingga bisa melakukan penyitaan aset secara cepat sejalan dengan gerakan internasional dalam pembersihan rezim uang kotor dan energi kotor. 
 
 
Pelaku kejahatan keuangan yang terjadi saat ini seperti perampokan dana publik yakni  Jiwasraya, ASABRI, Jamsostek, Jasindo, dan pelaku perampokan dana penanganan covid 19 seperti PCR, dll. agar tuntutannya ditetapkan pada tingkat hukuman mati agar memiliki efek jera, karena sangat mencederai kemanusiaan, mengkhianati bangsa dan negara yang tengah didera krisis yang besar. 
 
"Untuk itu kami akan memulai menggalang elemen dan komponen rakyat dari berbagai latar belakang suku, agama, golongan, organisasi dan latar belakang profesi untuk mengungkap, mengejar dan mengadili seluruh pelaku koruptor dan oligarki kejahatan keuangan. Kami berencana mengunjungi dan berdialog dengan sejumlah tokoh masyarakat, tokoh agama, mantan pimpinan KPK, serta tokoh kampus," tandasnya.

(Givary Apriman Z\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar