Ironi Utang RI 2022: Berhasil Bayar Rp 443 T, Tambah Utang Rp 991 T

Rabu, 05/01/2022 19:25 WIB
Menkeu Sri Mulyani (Tribun)

Menkeu Sri Mulyani (Tribun)

Jakarta, law-justice.co - Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 diperkirakan masih akan mengalami defisit hingga Rp 868 triliun atau 4,85% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini akan menjadi tambahan dari nominal utang Indonesia yang kini mencapai sekitar Rp 6000 triliun.


Kemenkeu akan menerbitkan surat berharga negara (SBN) neto sebesar Rp 991,3 triliun pada tahun depan untuk menutup defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Secara bruto SBN yang diterbitkan Rp 1.300,1 triliun.


Pada rinciannya SBN bruto meliputi penerbitan domestik reguler akan memakan porsi terbesar, yaitu sebanyak 78-83%. Selanjutnya SBN valuta asing (valas) 11-14% dan SBN ritel 6-8%.


DJPPR memiliki strategi jitu dalam penarikan utang, yaitu oportunistik dengan merealisasikan penerbitan lebih besar pada saat kondisi pasar memungkinkan. Kemudian fleksibel yang artinya berubah sesuai dengan kondisi dan menjaga kehati-hatian dengan mempertimbangkan risiko jangka pendek maupun panjang.

Sederet kebijakan SBN yang akan dijalankan pemerintah yaitu optimalisasi SBN rupiah tenor menengah panjang. SBN valas kini diposisikan sebagai pelengkap, untuk menghindari crowding effect dengan tetap memperhatikan cost of fund yang menarik. Pemerintah juga berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) dalam pemenuhan target SBN.

Akan tetapi, seiring dengan meningkatnya penerimaan, penarikan utang bisa dikurangi. Seperti tahun ini. Defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2021 menyusut ke 4,65% terhadap produk domestik bruto (PDB) dari posisi 2020 yang sebesar 5,70% terhadap PDB.

"Sensitivitas APBN terhadap komoditas memang tinggi, terutama dari sisi penerimaan pajak dan non-pajak (PNBP). Hal ini positif bagi postur fiskal dalam jangka pendek," ungkap Economist & Fixed-income Research Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (5/1/2022)

Setidaknya sebagian dari PNBP ditopang oleh sektor migas. Kemudian ada 30% industri ekspor juga dipengaruhi oleh harga komoditas batu bara minyak kelapa sawit dan nikel.

Pemerintah harus menyelesaikan kewajiban utang jatuh tempo pada 2022 sebesar Rp 443,8 triliun. Secara nominal, memang terlihat sangat besar akan tetapi pemerintah meyakini kewajiban itu bisa diselesaikan.


"Jatuh tempo utang tahun 2022 tersebar dari awal hingga akhir tahun, dengan porsi yang sedikit lebih tinggi di semester 1," ungkap Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan DJPPR Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Riko Amir kepada CNBC Indonesia beberapa waktu lalu.


Keyakinan tersebut didasari oleh kemampuan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang kembali produktif. Di mana penerimaan negara tumbuh positif, jauh berbeda dibandingkan dengan 2020 yang alami kontraksi hingga 16%.


Penerimaan di 2022 ditarget mencapai Rp 1.846,1 triliun. Target tersebut belum mencantumkan dampak positi dari pemberlakukan undang-undang harmonisasi peraturan perpajakan (HPP), di antaranya kenaikan PPN dan program pengampunan sukarela alias tax amnesty.

Di sisi lain, Amir juga memungkinkan pelonggaran dari kewajiban pembayaran, misalnya melalui perpanjangan tenor utang jatuh tempo.

"Perpanjangan tenor utang jatuh tempo secara umum dapat dilakukan lewat mekanisme pasar dan merupakan tools yang digunakan di banyak negara. Misalnya pemerintah melakukan cash buyback atas utang jatuh tempo di 2022. Transaksi ini dapat mengurangi kupon (bunga utang) yang akan dibayar di thn 2022," terang Amir.

Kemenkeu juga bisa melakukan penukaran atau debt switch. Langkah yang sama pernah dilakukan pada tahun ini, yaitu menarik utang jatuh tempo dalam periode tertentu dan selanjutnya diterbitkan utang baru dengan tenor yang lebih panjang.

"Selain mengendalikan risiko refinancing, transaksi ini dapat disertai dengan penurunan kupon yang akan dibayarkan di tahun-tahun mendatang, demikian pula dapat menambah likuiditas di pasar," paparnya.

"Namun pelaksanaannya melalui mekanisme pasar dengan tetap memperhatikan kondisi pasar keuangan, serta minat investor," tegas Amir.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar