Kisruh Holding Migas, Kementerian BUMN Tak Berdaya
Krisis PGN dan Saka Energi Rugi Triliunan

Ilustrasi pengecekan gas rumah tangga oleh PGN (Dok.PGN)
Jakarta, law-justice.co - PT Perusahaan Gas Negara Tbk atau PGN yang merupakan anak perusahaan PT Pertamina (Persero), mencatatkan rugi sebesar sebesar 264,77 juta dollar AS atau sekitar Rp 3,8 triliun (kurs Rp 14.600). Dikutip dari laporan keuangan PGN yang dirilis lewat Keterbukaan Informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Minggu 11 April 2021 pendapatan PGN sepanjang tahun 2020 anjlok menjadi 2,88 miliar dollar AS.
Sementara pada tahun 2019, emiten berkode PGAS itu masih bisa membukukan pendapatan sebesar 3,85 miliar dollar AS. Utang perusahaan juga mengalami kenaikan. Dari laporan keuangan per 31 Desember 2020 yang sudah diaudit, perusahaan memiliki utang sebesar 4,57 miliar dollar AS atau sekitar 66,9 triliun.
Rinciannya, utang jangka pendek sebesar 1,18 miliar dollar AS dan utang jangka panjang senilai 3,39 miliar dollar AS. Jumlah utang yang dimiliki PGN pada tahun 2020 tersebut meningkat dibandingkan setahun sebelumnya. Posisi keseluruhan utang PGN pada 2019 tercatat sebesar 4,14 miliar dollar AS.
Salah satu penyebab bobroknya keuangan PGN adalah salah satunya adalah sengketa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) periode 2012-2013 yang diajukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui upaya hukum peninjauan kembali (PK). Adapun upaya hukum PK itu telah mendapat putusan Mahkamah Agung (MA) pada Desember 2020 sebesar 278,4 juta dolar AS. Selain sengketa PPN, faktor eksternal yang menjadi kendala kinerja keuangan PGN adalah penurunan aset di sektor minyak dan gas sebesar 78,9 juta dolar AS.
Belum lagi soal holding BUMN migas yang bakal berdampak pada masalah keuangan perusahaan gas dan anak perusahaannya. Misalnya yang dialami oleh Saka Energi anak perusahaan dari BUMN PT Perusahaan Gas Negara (PGN).
Ilustrasi salah satu kilang gas milik PGN (Dok.PGN)
Peringkat Saka Energi, anak Perusahaan Gas Negara (PGN), Cicit Pertamina, prospek menjadi negatif. Apa yang akan terjadi? Perusahaan akan kesulitan bayar utang karena tidak ada uang. Peringkat negatif Saka didasarkan pada penilaian bahwa risiko yang segera terjadi terhadap likuiditas Saka. Bisa jadi awal tahun depan. Apapun upayanya secara manejemen tampaknya akan sulit.
Saka menghadapi kewajiban denda pajak potensial sebesar $127,7 juta terkait dengan pembelian 65% saham di blok Pangkah dari Hess Corporation (Ba1 stable) pada tahun 2014. Percepatan tak terduga dari kewajiban denda pajak ini akan memberikan tekanan pada peringkat.
PGN Optimistis Lolos dari Jeratan Utang Pajak
Meski didera permasalahan keuangan berupa utang, PGN menyatakan kondisi keuangannya membaik pada periode Januari – September 2021. Sekretaris Perusahaan PT PGN Tbk, Rachmat Hutama mengatakan, saat ini PGN jauh dari potensi kerugian.
Sebab, menurut dia, dengan catatan pembukukan pendapatan sebesar USD 2.254,3 juta di Triwulan III lalu, PGN berhasil mencatat Laba Operasi sebesar USD 326 juta.
PGN juga berhasil meraih peningkatan laba diatribusikan ke induk menjadi USD 286,2 juta pada Triwulan III tahun 2021 meningkat dibandingkan periode yang sama pada tahun 2020 sebesar USD 53,3 juta.
“Saat ini Rating PGN dari Moodys adalah Baa2 dan dari Fitch BBB- dengan outlook stable, keduanya masih berada pada kategori investment grade,” ujar Rachmat dalam keterangan tertulisnya.
Ia menambahkan, dengan kondisi keuangan tersebut, PGN optimistis bisa memenuhi kewajiban-kewajibannya, termasuk kewajiban membayar utang. Salah satu kewajiban utang PGN akan jatuh tempo pada Januari 2022, yakni utang dari pinjaman pemegang saham sebesar USD 361 juta.
Laporan keuangan PT PGN Tbk (Dok.PGN)Optimisme itu juga diperkuat dengan Laporan Keuangan Kekonsilidasian Interim PT PGN Tbk, yang dikeluarkan pada 29 Oktober 2021. Dalam laporan itu disebutkan saat ini total asset yang dimiliki PGN sebesar USD 7,54 miliar.
Namun, dalam laporan keuangan yang sama juga disebutkan PT PGN memiliki liabilitas, atau utang, jangka pendek dan jangka panjang sebesar USD 4,25 miliar. Liabilitas (utang) jangka pendek PT PGN termasuk utang usaha, pinjaman bank, dan utang pajak. Menurut laporan keuangan tersebut, total liabilitas jangka pendek PT PGN sebesar USD 982 juta.
Sementara untuk liabilitas (utang) jangka panjang PT PGN Tbk diantaranya terdiri dari pinjaman bank, pinjaman dari pemegang saham dan utang obligasi. Laporan keuangan tersebut mencatat, total liabilitas jangka panjang PT PGN Tbk sebesar USD 3,29 miliar.
Terkait data utang kini, law-justice.co coba mengonfirmasi ke sejumlah pejabat di PT PGN, diantaranya Sekretaris Perusahaan, Rachmat Hutama dan Komisaris Utama PGN, Archandra Tahar. Namun hingga laporan ini ditulis, tidak ada respon dari keduanya.
Kami lantas coba mengonfirmasi ke PT Pertamina sebagai Holding BUMN Migas di Indonesia. Vice President Corporate Communications Pertamina, Fajriyah Usman mengatakan, liabilitas tersebut tidak bisa menjadi ukuran untuk menyatakan keuangan PT PGN bermasalah.
“Kalo bicara liability, silahkan compare dengan angka asetnya juga, bukan hanya dengan laba,” ujar Fajriyah kepada law-justice.co.
Hasil audit BPK terhadap PT PGN dalam pembangunan SPBG (Dok.BPK)
Namun ia mengakui jika utang tersebut memang ada dan harus dibayar. Namun jangka waktunya cukup panjang, yakni bisa mencapai puluhan tahun. Salah satu contohnya adalah utang pinjaman bank dari JBIC sebesar sekitar 49 miliar Yen yang diterima PT PGN pada Mei 2003. Menurut Laporan Keuangan Kekonsilidasian Interim PT PGN Tbk, utang tersebut akan jatuh tempo pada Maret 2043.
Terkait hal tersebut, Fajriyah memastikan keberadaan utang PGN tidak berpengaruh pada keuangan Holding Migas yang telah dibentuk oleh Kementerian BUMN.
“PGN masih dalam kondisi yang dapat memenuhi utang-utangnya,” jelas Fajriyah.
Sengkarut Utang Anak Perusahaan PGN
Pada 2018, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membentuk induk usaha atau holding BUMN Migas. Dalam holding tersebut, PT Pertamina Gas (Pertagas), anak usaha PT Pertamina (Persero) dilebur dengan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk. Dengan dibentuknya holding ini diharapkan ke depannya harga gas bisa lebih murah.
Namun sebelum itu trealisasi, masalah keuangan membelit PT PGN Tbk. Masalah tersebut tidak hanya berasal dari internal perusahaannya saja. Anak perusahaan PT PGN Tbk, PT Saka Energi Indonesia juga terbelit utang. Diantaranya adalah kewajiban denda pajak potensial sebesar $127,7 juta terkait dengan pembelian 65% saham di blok Pangkah dari Hess Indonesia Pangkah Limited (HIPL) dari Hess Oil and Gas Inc (HOGI) pada 2014. Setelah akuisisi, nama HIPL berubah menjadi Saka Indonesia Pangkah Limited
(SIPL).
Pada Februari dan Desember 2015 PT Saka Energi Indonesia juga menerima pinjaman dari pemegang saham sebesar USD 77,61 juta dan USD 283,12 juta. Fasilitas peminjaman pertama akan jatuh tempo pada 6 Januari 2023. Sementara fasilitas pinjaman kedua diperpanjang sampai dengan 1 Desember 2025. Sebanyak 50% dari total fasilitas pinjaman harus dilunasi paling lambat 1 Desember 2024 dan sisanya paling lambat 1 Desember 2025.
Dalam kondisi tersebut, PT PGN sebagai induk perusahaan dari Saka Energi menyatakan anak perusahaannya itu sanggup membayar kewajiban utang. Sekretaris perusahaan PT PGN Tbk, Rachmat Hutama mengatakan, berdasarkan laporan keuangan Saka Energi, Triwulan III/ 2021, saldo kas Saka USD 250.9 juta. Ini yang membuat PGN optimistis Saka Energi bisa membayar utang yang akan jatuh tempo pada Mei 2024.
Laporan keuangan bumn migas PT PGN (Dok.PGN)
“Selain itu kinerja keuangan SAKA Energi TW III juga juga memperlihatkan tren semakin membaik dengan membukukan EBITDA USD 174 juta," kata Rachmat.
Meski begitu, Direktur Eksekutif ReforMiner, Komaidi Notonegoro mengingatkan, jika gagal memenuhi kewajibannya membayar utang, maka Saka Energi akan berhadapan dengan sejumlah risiko. Mulai dari turunnya reputasi perusahaan, hingga gugatan dari si pemberi pinjaman.
Jika hal tersebut terjadi, menurut Komaidi, Saka Energi akan kesulitan mendapatkan backup dari induk holding, baik itu PGN atau Pertamina.
“(utang) Saka saya kira juga harus diselesaikan di internal manajemen Saka, tidak bisa juga persero yang harus menutup,” jelas Komaidi.
Komaidi menambahkan, jika masih kesulitan memenuhi kewajiban membayar utang, harapan terakhir yang bisa didapat dari Saka Energi adalah uluran tangan dari pemerintah. Menurut dia, intervensi pemerintah bisa menjadi solusi untuk menyelamatkan BUMN yang memiliki masalah utang, seperti Saka Energi dan PGN.
Namun pilihan tersebut kembali lagi kepada pemerintah, apakah akan memberikan uluran tangan atau tidak. Terkait hal permasalahan holding, pemerintah belum memberikan jawaban.
Law-justice.co sudah berupaya menghubungi Kementerian BUMN melalui staf ahli menteri dan dua wakil menteri BUMN, namun hingga berita ini ditulis, tidak ada jawaban dari mereka.
PGN Merugi karena Kalah Bersaing dengan Gas Asing?
Perusahaan Gas Negara (PGN) kini sedang berada dalam sorotan hal tersebut karena saat ini PGN tengah memiliki hutang yang sangat besar dan khawatir tidak bisa dibayarkan.
Ditambah pendapatan yang dialami PGN pada tahun 2020 mengalami keanjlokan dari tahun sebelumnya dan hutang perusahaan juga mengalami kenaikan.
Hal tersebut mendapatkan kritikan keras dari Mantan Sekretaris Menteri BUMN Said Didu, ia menyebut persoalan kerugian yang dialami oleh PGN ini tidak bisa dianggap sepele.
Said mengaku kaget kalau perusahaan plat merah tersebut mengalami kerugian yang sangat besar dengan mencapai Rp3,8 triliun tahun 2020.
Teknisi memeriksa jaringan gas di Mobile Refueling Unit (MRU) milik PT Perusahaan Gas Negara (PGN) di Bandung, Jawa Barat, Kamis (5/12/2019). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
Ia juge melontarkan kiritikan keras terhadap direksi salah satu BUMN atas capaian buruk tersebut karena PGN memiliki peran besar dalam pemenuhan gas bumi domestik.
PGN juga secara berkesinambungan mengintegrasikan rantai bisnis gas bumi dari hulu sampai hilir demi melayani masyarakat.
"Terkait kerugian Perusahaan Gas Negara (PGN) sebesar Rp3,8 triliun tahun 2020 tentu sangat mengagetkan," cetus Said ketika dihubungi Law-Justice.
Said mengaakan bila operasi PGN didukung berbagai teknologi informasi canggih dan handal untuk memastikan gas yang disalurkan terjaga kuantitas dan kualitasnya.
Namun untuk kerugian yang dialami oleh PGN sendiri, Pengamat BUMN itu menyebut hal itu karena adanya penjualan gas murah ke swasta.
"Ya itu juga karena ditengarai penyebabnya adalah penugasan pemerintah untuk menjual gas murah ke industri swasta,"katanya.
Said menyatakan bila BUMN adalah aset milik negara yang harus terus menjadi perhatian pemerintah dan jangan sampai dirusak.
"Jika tidak bisa memperbaiki BUMN minimal jangalah dirusak," ucapnya.
Holding BUMN Berdampak Positif?
Terkait dengan Holding BUMN Migas, Said menyatakan bila strategi pembentukan induk usaha (holding) badan usaha milik negara (BUMN) perlu dilanjutkan, karena terbukti memiliki dampak positif.
Namun, konsep dan strategi holdingisasi BUMN perlu pembenahan, agar dapat mengoptimalkan fungsi dan kinerja BUMN. Selain itu, holding BUMN harus mampu menjadi benteng pengamanan pasar dalam negeri dari penetrasi agresif korporasi asing.
"Setiap pembentukan Holding BUMN harus dikaji ulang. Salah satu pertimbangannya adalah fokus pada dinamika persaingan global saat ini," ujarnya.
Mantan Stafsus Kementerian ESDM ini menyatakan bila BUMN memiliki tugas utama mencari untung, ikut memacu pertumbuhan ekonomi, memberikan pelayanan umum, mendapat penugasan khusus, serta membantu UMKM.
Untuk itu pembentukan holding harus mencermati struktur dan anatomi persaingan di sektor usaha yang bersangkutan. Selain itu BUMN yang bertindak sebagai induk sebaiknya perusahaan baru,"
"Baik holding BUMN migas atau apapun itu akan bermanfaat jika biaya overhead bisa dikurangi secara signifikan, rantai birokrasi dalam pengambilan keputusan bisa diperpendak, serta memberikan value creation," imbuhnya.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Defiyan Cori turut menyampaikan terkait penggabungan Holding BUMN Migas, ia menuturkan posisi porsi saham swasta yang masih ada di PGN atas keputusan-keputusan strategis soal industri gas.
Defiyan menyoroti kerja dari mantan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar yang disahkan sebagai Komisaris Utama PT. Perusahaan Gas Negara (PGN) tahun lalu.
"Publik tentu perlu bukti pengalaman Archandra Tahar dalam mengatasi ketidakefisienan industri hulu migas nasional, terutama gas bumi yang terjadi sejak dulu," tutur Defiyan kepada Law-Justice.
Defiyan mengatakan tantangan industri migas nasional dalam 5-25 Tahun ke depan tidak hanya soal efisiensi yang saat ini dilakukan.
Ilustrasi pengecekan gas rumah tangga oleh PGN (Dok.PGN)Peran PGN sebagai sub holding mampu menjadikan Pertamina sebagai perusahaan berkinerja terbaik dari hulu ke hilir industrinya ditengah persaingan industri migas global juga perlu menjadi perhatian.
Pengalihan Saham Swasta ke Negara
Salah satu yang jadi poin utama lain adalah mengembalikan kepemilikan PGN 100 persen menjadi milik negara, setelah sebagian sahamnya dipecah melalui IPO di pasar bursa.
"Jangan sampai justru Pertamina sebagai BUMN Holding Migas yang akan menyusul diajukan penawaran IPO nya ke pasar bursa dari indikasi rencana IPO yang telah disusun Erick Tohir atas beberapa sub holding Pertamina lainnya," katanya.
Defiyan menyebut baik laba atau rugi dalam sebuah perusahaan merupakan hal yang wajar, kalau manajemen atau pengelola perusahaan itu dilakukan secara profesional dengan menggunakan asumsi-asumsi ekonomi makro dan potensi keadaan keuangan korporasi.
Berdasarkan laporan keuangannya PT PGN Tbk mengalami kerugian di 2021 sebesar US$ 264 juta atau sekitar Rp 3.845 Triliun. Tentu ini menjadi pekerjaan rumah unuk jajaran Direksi dan Komisaris PGN.
Meski begitu kebijakan pemerintah juga perlu menjadi evaluasi dalam kerugian ini akan tetapi dalam konteks kerugian ini yang salah yaitu PGN.
"Semestinya pada tahun-tahun dahulu PGN sudah bisa menyampaikan ke Pemerintah beberapa hal terkait dengan kondisi identifikasi permasalahan PGN terhadap penugasan yang diberikan oleh Pemerintah terkait dengan kebijakan energi nasional," paparnya.
Tuntaskan Sengketa Pajak PGN
Defiyan mengatakan Bila dilihat dalam kerugian sengketa pajak PGN, Mahkamah Agung menetapkan bahwa kerugian sengketa pajak hanya Rp 3,06 triliun, sementara kerugian PGN Rp 3,8 triliun, ada selisih 740 miliar. Seandainya tidak ada sengketa pajak, PGN juga belum tentu mengalami untung.
Defiyan menyebut bila alasan sengketa pajak ini penyebab kerugian PGN tidak bisa diterima akal sehat karena PGN punya kesempatan untuk melakukan efisiensi terkait dengan pengelolaan manajemen di bidang gas.
Terlebih lagi harga gas relatif lebih murah dalam konteks di hulu dan hilir, karena ketersediaan dan pasokan gas relatif besar.
“Artinya kalau konteks pasar supply and demand wajar harga turun karena over supply, apalagi ada impor juga. Nah, yang harus dilakukan oleh PGN adalah mensiasati kemungkinan-kemungkinan yang jauh sebelum PGN menghadapi kerugian,” ungkapnya.
Hasil pemantauan BPK terhadap PT PGN (Dok.BPK)Terkait permasalahan PGN, Anggota Komisi VI DPR RI Andre Rosiade meminta pemerintah segera menuntaskan persoalan pajak antara PGN dengan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
Pasalnya, Andre mengatakan sengketa pajak ini dapat mencoreng iklim usaha di Indonesia. Dimana perusahaan pelat merah berseteru dengan lembaga pemerintah.
"Soal ini (PGN), saya selaku anggota Komisi VI meminta Menteri BUMN dan Menteri Keuangan pro aktif, duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan ini," kata Andre kepada Law-Justice.
Andre berharap solusi melalui duduk bersama antara dua kementerian dapat menyelesaikan persoalan pajak tahun 2012 tersebut. Ia berharap PGN yang merupakan BUMN tidak dirugikan karena salah tafsir mengenai aturan pajak.
Ia mewanti-wanti terkait permasalahan PGN ini jangan sampai menimbulkan kerugian untuk negara dan bisa segera diselesaikan.
"Terlebih lagi, jangan sampai negara dirugikan. Sebetulnya kan kasus ini kalau merujuk pada surat direktur perpajakan per Januari 2020, sudah menyatakan bahwa objek yang disengketakan bukan objek PPN," tuturnya.
"Kami di Komisi VI mendorong agar pemerintah bisa menyelesaikan ini secara tepat dengan solusi yang terbaik," sambungnya.
Catatan BPK Soal PGN
Dalam laporan PDTT Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2017 didapati banyak persoalan terkait BUMN PT Perusahan Gas Negara Tbk tersebut. PT PGN merupakan anak perusahaan dari Pertamina.
PT PGN Tbk bertugas untuk mengurusi bisnis anak perusahaan Pertamina di bidang gas bumi.
Hasil pemantauan rekomendasi dari BPK terhadap PGN (Dok.BPK)
Bisnis utama PGN adalah bidang transportasi gas bumi, penyiapan fasilitas dan infrastruktur yang bisa dimanfaatkan oleh pemilik gas sehingga gas bumi dapat dialirkan. Sedangkan pada bidang niaga gas bumi, PGN membeli gas bumi dari berbagai produsen gas bumi dan kemudian dijual ke berbagai segmen penguna akhir gas bumi muai dari pelanggan rumah tangga, komersial, industri, pembangkit listrik, transportasi. Bisnis PT PGN lainnya adalah melalui anak perusahaan Saka Energi, mengelola sepuluh wilayah kerja domestik dan satu wilayah kerja internasional.
Saham yang dimiliki PGN adalah 56,96 persen milik pemerintah melalui PT Pertamina dan sisanya 43,04 persen dimiliki oleh publik.
Dalam temuan BPK itu ada berbagai persoalan yang membebani keuangan PT PGN. Beberapa yang menjadi temuan adalah antara lain :
1. Tagihan PGN ke PLN Muara Tawar Berpotensi Tidak Tertagih Sebesar Rp214, 78 Miliar.
2. Nilai jaminan pembayaran 53 pelanggan aktif tidak dapat menutup tunggakan pelanggan sebesar Rp 1,09 miliar dan 85 juta US Dollar dan Piutang Pelanggan Inaktif Tidak Tertagih mencapai Rp1,93 Miliar dan 468,612,39 US Dollar.
3. Pengenaan PPN atas LNG membebani keuangan PT Nusantara Regas sebesar 11,87 US Dollar dan Potensi Loss Revenue untuk yang belum Terbayar sebesar 120.82 juta US Dollar.
4.Permasalahan pajak atas biaya PPN dalam jual beli gas dengan PT Nusantara Regas sampai dengan Juni 2019 mencapai USD 14.530.423,02 dan potensi terbebani sampai dengan 2022 sebesar USD 120.824.324,51
Kontribusi Laporan : Rio Rizalino, Ghivary Apriman, Yudi Rachman
Komentar