Tuding Warisan Utang Triliunan Era Jokowi, Nasdem Wanti-wanti Syaikhu

Jum'at, 31/12/2021 21:10 WIB
Presiden PKS yang baru Ahmad Syaikhu (Bisnis)

Presiden PKS yang baru Ahmad Syaikhu (Bisnis)

Jakarta, law-justice.co - PKS berbicara soal utang yang diwariskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke pemimpin Indonesia berikutnya ditaksir mencapai lebih dari Rp 7 triliun. Namun isu berkaitan utang negara itu dituding hanya mencari sensasi.


Pernyataan terkait taksiran utang ribuan triliun warisan Jokowi dilontarkan oleh Presiden PKS Ahmad Syaikhu. Prediksi Syaikhu bahwa utang negara di era Jokowi bakal lebih dari Rp 7 triliun bukan tanpa sebab. Karena, per September 2021 ini utang pemerintah sudah mencapai Rp 6 ribu triliun.

"Utang Pemerintah per September 2021 telah mencapai angka yang sangat besar yakni Rp 6.711 triliun. Para ahli ekonomi memperkirakan bahwa Pemerintah Joko Widodo akan mewariskan utang negara hingga mencapai angka Rp 10.000 triliun di akhir tahun 2024 nanti. Artinya, dalam 10 tahun pemerintahan Joko Widodo akan mewariskan tambahan utang negara lebih dari 7 ribu triliun," kata Syaikhu, dalam pidatonya di kanal YouTube resmi PKS, Kamis (30/12/2021).

Syaikhu menyebut utang negara yang besar itu akan ditanggung presiden di periode setelahnya nanti. Bahkan, dia menilai dengan utang itu pembangunan nasional di periode yang akan datang akan terhambat.

Dia kemudian menyinggung BPK yang kerap mengingatkan kalau kondisi utang negara semakin rentan. Risiko keuangan negara disebut akan semakin rawan jika gejolak krisis ekonomi terjadi.

"BPK dalam laporannya telah memperingatkan berulang kali bahwa kondisi utang negara sangat rentan karena melampaui seluruh standar yang ditetapkan lembaga-lembaga keuangan internasional. Risiko keuangan negara kita semakin rawan jika ada gejolak krisis ekonomi yang menimpa Indonesia. Maka APBN sebagai bantalan fiskal akan menjadi rapuh dan lemah," katanya.

Lebih lanjut, Syaikhu juga menyebut kerugian akibat utang negara itu bukan hanya terkait dengan kesehatan fiskal tapi juga keadilan antargenerasi. Generasi nanti akan menanggung beban biaya pokok dan bunga dari utang tersebut.

NasDem Peringati Syaikhu Tak Cari Sensasi

Presiden PKS Ahmad Syaikhu menyampaikan pihaknya menaksir utang yang akan diwariskan Presiden Jokowi akan lebih dari Rp 7.000 triliun pada akhir 2024. NasDem menilai pernyataan Syaikhu hanya membawa narasi klasik dan tak membuktikan apa pun.

Dengan demikian, Wakil Ketua Baleg DPR itu mengingatkan Syaikhu bahwa berpolitik tak sekadar mencari sensasi. Dia menuturkan bahwa benar Indonesia memiliki utang, tetapi perlu penjelasan lanjut soal pengelolaan utang itu. Menurutnya, ada kebermanfaatan masyarakat di balik angka utang itu.

"Penting untuk mengingatkan Syaikhu dan politikus lainnya bahwa politik bukan sekadar mencari sensasi seperti yang dilakukan Syaikhu ini. Toh, PKS punya anggota di DPR. Politik punya tugas mendidik. Benar bahwa Indonesia berutang, tapi kita perlu jelaskan untuk apa utang dipakai, bagaimana dia dikelola, apa yang akan didapat dari utang, berapa produksi nasional, dan banyak hal lain yang berguna untuk publik," katanya.

"Angka utang itu merepresentasikan banyak hal. Ada cerita di balik angka dan ini yang perlu disampaikan ke publik. Ada banyak perut yang terbantu, banyak kepala yang terisi, banyak kesempatan ekonomi yang terbuka, banyak fasilitas publik yang disediakan, dan masih banyak narasi faktual lainnya," kata Willy.

Willy menekankan, saat ini semua pihak membutuhkan motivasi untuk keluar dari belenggu pandemi COVID-19. Lantas, ujarnya, narasi murung dan bermentalitas lemah seperti pernyataan Syaikhu hanya akan memukul semangat di publik.

Respons KSP

Kantor Staf Presiden (KSP) merespons sorotan PKS terkait Presiden Jokowi yang ditaksir akan mewariskan utang lebih dari Rp 7.000 triliun. KSP menyatakan utang Indonesia memang cukup besar tapi masih terkendali.

"Utang kita memang cukup besar, tetapi masih terkendali, dikelola secara hati-hati, aman, dan produktif. Kita perlu tahu bahwa utang itu bersumber dari defisit anggaran. Defisit anggaran terjadi karena belanja negara lebih besar daripada penerimaannya. Belanja kita besar, karena ingin melakukan akselerasi pembangunan," kata Tenaga Ahli Utama KSP Edy Priyono dikutip dari Detik, Jumat (31/12/2021).

"Kalau tidak berutang, artinya tidak ada defisit anggaran, sebenarnya bisa saja. Kita sesuaikan saja belanja kita dengan penerimaan negara, tapi dengan cara seperti itu pembangunan tidak dapat diakselerasi. Jadi utang itu justru terjadi karena kita ingin mengakselerasi pembangunan," sambung Edy.

Edy menjelaskan, kondisi utang Indonesia sebenarnya relatif membaik hingga pandemi COVID-19 datang. Hal itu berdampak pada penerimaan negara yang anjlok, sedangkan di sisi lain kebutuhan belanja lebih besar, khususnya untuk mengatasi COVID-19.

"Tak terelakkan, defisit membesar, dan harus dibiayai dengan utang. Situasi pelan-pelan akan membaik jika COVID semakin terkendali. Kondisi defisit/utang 2021 lebih baik daripada 2020, dan diharapkan akan terus membaik 2022 dan seterusnya," ujar Edy.

Selain itu, Edy memaparkan mengenai sebagian besar utang dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) dalam rupiah. Menurut dia, risiko hal tersebut jauh lebih rendah.

Lebih lanjut, Edy menjelaskan upaya pemerintah dalam mengatasi masalah defisit anggaran dan utang. Upaya dilakukan dari sisi penerimaan dan sisi belanja.

"Dari sisi penerimaan, pemerintah terus berupaya meningkatkan penerimaan, khususnya dari pajak. Sedangkan dari sisi belanja, pemerintah terus berusaha meningkatkan kualitas belanja, agar setiap rupiah uang negara digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang produktif atau dirasakan manfaatnya oleh masyarakat," ujar Edy.

 

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar