Berusia 18 Tahun, ICW Beri Rapor Merah ke KPK Pimpinan Firli

Jum'at, 31/12/2021 14:23 WIB
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana (Jawapost)

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana (Jawapost)

Jakarta, law-justice.co - Di usianya yang ke-18 tahun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) malah mendapat kado kurang baik dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Pasalnya, ICW memberikan penilaian buruk berupa rapor merah terhadap KPK pimpinan Firli Bahuri.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyampaikan KPK mengalami kemunduran yang luar biasa besar di era kepemimpinan Firli. ICW mencatat sejumlah permasalahan yang tak kunjung bisa dituntaskan oleh Pimpinan KPK.

Pertama, pemberhentian paksa pegawai berintegritas. Sebagai konsekuensi perubahan regulasi yang menempatkan KPK masuk dalam rumpun kekuasan eksekutif, seluruh pegawai KPK pun harus ikut beralih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

“Momentum ini dimanfaatkan oleh Pimpinan KPK untuk menyingkirkan puluhan pegawai KPK melalui alas hukum Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 yang di dalamnya memuat tentang Tes Wawasan Kebangsaan. Dalam pelaksanaannya, proses TWK sendiri ditemukan banyak persoalan,” kata Kurnia dalam keterangannya, Jumat (31/12).

Pernyataan tersebut bukan tanpa dasar, setidaknya dinyatakan oleh dua lembaga negara, yakni Ombdusman RI terkait maladministrasi dan Komnas HAM yang menyoal pelanggaran hak asasi manusia. Bahkan, pernyataan Presiden Joko Widodo dan putusan Mahkamah Konstitusi terkait alih status pegawai KPK pun diabaikan begitu saja oleh Pimpinan KPK.

Kedua, pelanggaran kode etik pimpinan KPK. Pada periode pimpinan KPK jilid V ini, terdapat dua pimpinan yang dinyatakan melanggar kode etik, yakni Firli Bahuri dan Lili Pintauli Siregar.

“Sayangnya, meski telah diputus melanggar etik, kedua pimpinan tersebut justru hanya diberikan sanksi ringan. Hal ini menandakan bahwa keberadaan Dewan Pengawas KPK tidak berfungsi efektif untuk mengawasi, mengevaluasi, dan memberikan efek jera jika ada Insan KPK yang melanggar kode etik,” papar Kurnia.

Ketiga, anjloknya kinerja penindakan. Menurut Kurnia, penindakan KPK era Firli Bahuri memasuki fase yang paling buruk sepanjang lembaga antirasuah itu berdiri. Metode pengusutan perkara dengan melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pun menurun drastis sejak dua tahun terakhir.

Padahal, selama ini OTT kerap kali menjadi andalan untuk membongkar praktik korupsi yang banyak melibatkanpejabat publik. Berdasarkan data yang ICW himpun, sepanjang tahun 2021 KPK tercatat hanya melakukan enam kali OTT.

“Jumlah ini terbilang sedikit jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya tahun 2016 (17 OTT), 2017 (19 OTT), 2018 (30 OTT), 2019 (21 OTT) dan 2020 (7 OTT),” sebut Kurnia.

Keempat, kinerja Pimpinan KPK dipenuhi dengan gimik politik. Kutnia membeberkan pada awal tahun 2020 lalu, disaat KPK sedang disorot oleh masyarakat perihal kegagalan meringkus Harun Masiku, Firli justru menunjukkan kebolehannya memasak nasi goreng. Tak lepas dari itu, saat pembagian bantuan sosial oleh Menteri Sosial, ia juga turut serta dalam kegiatan itu.

“Semestinya sebagai aparat penegak hukum, Pimpinan KPK dapat menghindari seremonial-seremonial semacam itu,” cetus Kurnia.

Kelima, kegagalan meringkus buronan. Saat ini, pimpinan KPK masih memiliki tanggungan untuk meringkus sejumlah pelaku korupsi yang melarikan diri, di antaranya Kirana Kotama (2017), Izil Azhar (2018), Surya Darmadi (2019), dan Harun Masiku (2020). Dari buronan-buronan itu, praktis nama Harun Masiku selalu menjadi pusat perhatian masyarakat.

“Bagaimana tidak, sejak awal penanganan perkara suap pergantian antar waktu anggota DPR RI itu, KPK sudah menunjukkan keinginan untuk tidak memproses hukum penyuap Komisioner KPU, Wahyu Setiawan tersebut. Indikasi terhadap kesimpulan itu bisa ditarik dari sejumlah kejadian, misalnya, minimnya perlindungan Pimpinan KPK terhadap pegawai yang diduga disekap di PTIK, kegagalan penyegelan kantor DPP PDIP, pengembalian paksa Penyidik KPK ke instansi Polri dan pemberhentian pegawai yang ditugaskan mencari Harun Masiku melalui proses TWK,” ungkap Kurnia.

Menanggapi ini, pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK Ali Fikri menyampaikan, menghargai setiap persepsi publik, termasuk sebagian pandangan yang memberikan kritik dan masukan terhadap KPK.

“Kami, sedari awal berdiri, selalu menempatkan masyarakat sebagai mitra penting untuk mendukung tugas-tugas pemberantasan korupsi. Oleh karenanya KPK terus membuka diri terhadap setiap saran yang konstruktif demi langkah-langkah perbaikan kedepannya,” papar Ali.

Meski begitu, KPK mengajak masyarakat untuk memahami secara utuh tugas dan kinerja pemberantasan korupsi oleh KPK. Sehingga bisa memberikan saran dan masukan yang tepat untuk perbaikan ke depannya.

“Bahwa KPK kini secara simultan dan terintegrasi menerapkan tiga strategi pemberantasan korupsi yakni pendidikan, pencegahan, dan penindakan secara sekaligus. Sehingga kinerja dan capaiannya tentu juga berbasis pada ketiga strategi yang dterapkan tersebut,” tegas Ali.

Ali mengklaim, capaian pemberantasan korupsi tidak sebatas penindakan saja, apalagi hanya menghitung jumlah OTT. Karena OTT hanya salah satu metode dalam penindakan.

“Jika merujuk pada data, selama 2021 KPK melakukan 6 kali OTT sedangkan penerbitan sprindik total 105 dengan jumlah 123 tersangka. Artinya, jika merujuk pada angka tersebut, penetapan tersangka melalui OTT tidak lebih dari 5 persen dari total kegiatan penyidikan KPK,” pungkas Ali.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar