Arif Hulwan Muzayyin

Soal Pasal Zina dan Korban Politik Identitas Bernama "Consent"

Kamis, 30/12/2021 22:20 WIB
Ilustrasi Polemik RUU PKS. (unair.ac.id).

Ilustrasi Polemik RUU PKS. (unair.ac.id).

Jakarta, law-justice.co - Adanya persetujuan seksual alias sexual consent, atau disingkat consent, jadi barang `tabu` bagi sekelompok warga lantaran dicemari asumsi dan digoreng oleh pelakon politik identitas. Padahal, ada dua hal terpisah: perlindungan korban kekerasan seksual dan soal zina yang tak diatur perundangan.

Filusuf John Kleinig, dalam `The Ethics of Consent` (2009), menyebut diskursus tentang consent berkembang pesat sejak masa Renaissance (sekitar abad 14-17 di Eropa) dan mendapat tempat khusus dalam pertumbuhan masyarakat demokratis liberal (Barat).

Konsepnya adalah soal batasan agar tak merugikan hak orang lain dalam interaksi sosial dan agar tak dikategorikan sebagai pelanggaran hak, yang tentunya dapat dikenakan sanksi hukum.

Konsep consent membedakan antara pekerjaan dengan perbudakan, pemberian dengan perampokan, donor dengan pencurian organ tubuh. Dalam ranah seksualitas, consent membedakan antara relasi seks dan perkosaan, termasuk dalam hubungan suami istri.

Isu terakhir ditentang kalangan konservatif yang memaknai hadits soal malaikat melaknat istri yang menolak diajak bersetubuh suaminya secara sempit, tanpa mempertimbangkan prinsip menggauli istri dengan baik, mu`asyarah bil ma`ruf.

Tanpa ada batasan berupa `consent` atau persetujuan, semua tindakan seksual akan bisa dikenakan sanksi hukum. Selain itu, pemberian persetujuan atas satu tindakan, belum tentu lampu hijau bagi aksi lanjutan lainnya. Consent juga tidak selalu berarti berlaku seterusnya.

Analoginya peminjaman atau permintaan uang. Anda bisa saja meminjam uang pada teman, atau bahkan istri, Rp100 ribu dan mendapat restu. Saat meningkatkan pinjaman jadi Rp200 ribu, sang kreditur bisa saja menolak pinjaman. Apabila konsep consent dihilangkan, segala macam peminjaman atau permintaan uang dapat dikategorikan perampokan, pencurian, pengancaman.

Gerakan Politik

Polemik soal consent mengemuka kala naskah Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual, yang naskah akademiknya disusun oleh koalisi masyarakat sipil dan Komnas Perempuan dan didukung oleh PDIP, mulai masuk ke DPR pada 2017-2019.

Situasi jelang Pemilu 2019 membuat sejumlah pendukung salah satu pasangan calon presiden memanfaatkannya sebagai peluru untuk menembak ke kubu lawan dan meraup suara orang-orang yang belum paham.

Dengan dalih tak termuat larangan zina, isu legalisasi seks bebas pun ditebar, baik melalui forum politik resmi atau pun ceramah-ceramah keagamaan. Politik identitas disulut.

Kaum emak, yang rajin membaca grup WhatsApp keluarga atau kolega, mungkin saja termakan isu ini mentah-mentah. Demo menolak RUU ini pun digelar. Sejumlah partai menangkap momen ini sebagai cara meraih atau mempertahankan suara.

Mental lah RUU ini, hingga kemudian berubah signifikan substansinya dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Kini, ada usulan pula salah satunya dari PKS agar kata `kekerasan` dihilangkan demi bisa mengkriminalisasi zina.

Isu legalisasi zina mengemuka lagi usai Nadiem Makarim meneken Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Hal inti yang dipersoalkan sejumlah ormas keagamaan, politikus dengan pendukung utama kalangan konservatif, atau pun beberapa parpol dari kubu yang kalah di 2019, ada di Pasal 5 pada frasa "tanpa persetujuan" (without consent). Misalnya, Pasal 5 huruf m, bahwa kekerasan seksual meliputi "membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban".

Maju Mundur Pengesahan RUU Kekerasan Seksual di Tangan DPR

Mereka pun mengartikan jika ada persetujuan maka itu boleh dilakukan di kampus, yang kemudian ditafsirkan membolehkan zina, yang dilarang oleh semua agama. Di saat yang sama, para korban, anak maupun dewasa, makin banyak berjatuhan; di kampus, di sekolah, di lingkungan tinggal.

Sejumlah aktivis perempuan mahardika melakukan aksi di Kawasan Patung Kuda Arjuna Wijaya, Senin (8/3/2021). Aksi mereka dalam rangka memperingati hari perempuan sedunia.

Dalam aksinya mereka meminta pemerintah Akui kekerasan seksual sebagai pelanggaran HAM, Cabut UU Cipta kerja, segera ratifikasi konvensi ILO 190 beserta rekomensi 206, segera bahas dan sahkan RUU PKS dan RUU PPRT. CNN Indonesia/Andry NovelinoAksi untuk melawan kekerasan seksual terhadap perempuan. (Foto: CNN Indonesia/Andry Novelino)

Kekosongan Aturan

Dalam hukum pidana Indonesia, yang merupakan warisan zaman kolonial Belanda, persoalan suatu perbuatan dikatakan delik atau bukan diatur berdasarkan asas legalitas. Ini diturunkan dari adagium nullum delictum, nulla poena sine praevia lege punali, yang memiliki empat makna yang merupakan satu kesatuan.

Pertama, bukan perbuatan pidana jika tidak ada undang-undang yang mengatur sebelumnya (nullum cimen, nulla poena sine lege praevia).

Kedua, bukan perbuatan pidana jika tidak ada norma hukum tertulis atau undang-undang (nullum crimen, nulla poena sine lege scripta).

Ketiga, bukan perbuatan pidana jika tidak ada aturan tertulis atau undang-undang yang jelas rumusannya (nullum crimen, nulla poena sine lege certa).

Keempat, tidak ada pidana jika tidak ada hukum tertulis yang ketat (nullum crimen nulla poena sine lege sticta). Maknanya adalah ketentuan dalam perundangan harus ditafsirkan secara ketat. Alhasil, analogi pun dilarang.

Jika asas legalitas itu diterapkan pada Permendikbud PPKS, maka menjadi lumrah jika rumusan frasa "tanpa persetujuan" ditafsirkan bahwa hal yang mendapat persetujuan atau suka sama suka bukan lah tindak pidana.

Masalahnya, pencantuman larangan zina pada Permendikbud itu juga tak dibenarkan. Suatu peraturan tak bisa mencantumkan delik baru yang tak diatur perundangan di atasnya. Permendikbud sendiri posisinya ada di bawah UU.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan perundangan lainnya yang berlaku di seluruh wilayah RI memang tak melarang secara global soal zina atau persetubuhan di luar perkawinan.

Sebagian larangan zina (persetubuhan di luar nikah dengan consent dan bukan perkosaan) sebenarnya sudah diterapkan di sejumlah pasal. Di antaranya, larangan zina atau perselingkuhan bagi yang sudah menikah (Pasal 184 KUHP), larangan menyetubuhi perempuan di bawah 15 tahun di luar perkawinan (Pasal 287 KUHP);

Sementara, UU Perlindungan Anak menuliskan bahwa batasan kedewasaan alias `age of consent` adalah 18 tahun. Selain itu, ada larangan perbuatan cabul sesama jenis, atau yang kerap dikaitkan dengan LGBT, jika salah satunya belum dewasa (Pasal 292 KUHP).

Dengan kata lain, perundangan di Indonesia tak melarang zina, dengan lawan jenis atau pun sesama jenis, yang dilakukan oleh orang dewasa atau cukup umur, suka sama suka, dan belum terikat pernikahan.

Namun, perlukah zina nantinya dilarang secara tertulis?

Hari Anti Kekerasan Perempuan

Simposium Pembaruan Hukum Nasional, di Semarang, Agustus 2020 menyatakan bahwa kebijakan kriminalisasi harus bisa menjawab sejumlah kriteria:

Pertama, apakah perbuatan itu disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban?

Kedua, apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasil yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan, penegakan hukum, hingga beban yang dipikul oleh korban dan pelaku harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai?

Ketiga, apakah kriminalisasi itu akan menambah beban aparat penegak hukum hingga nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya?

Keempat, apakah perbuatan yang hendak dikriminalisasi itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa Indonesia sehingga berbahaya bagi keseluruhan masyarakat?

Dalam bahasa fiqih, pembuatan pasal/delik baru harus bisa mempertimbangkan prinsip mencegah kerusakan lebih baik dari pada mengejar manfaat, dar`ul mafasid muqaddamun `ala jalbil mashaalih.

Mahkamah Konstitusi, dalam pertimbangan putusan/46/PUU-XIV/2016 terkait uji materi sejumlah `pasal zina` dan `pasal LGBT`, mengakui pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah) memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan kriminalisasi. Namun, itu harus berdasarkan hasil riset yang kuat yang bisa menjawab empat kriteria di atas. Termasuk soal kriminalisasi zina.

Kekerasan Seksual di Dunia Digital Disebut Bakal Masuk RUU TPKS

"Hanya dengan dukungan hasil riset yang intensif lah kiranya segala argumentasi yang akan dipakai untuk memenuhi keempat kriteria umum di atas memperoleh legitimasinya," tulis MK.

Jika Anda pengusul pasal zina, sudahkah memiliki hasil riset atau survei terukur yang bisa menjawab empat kriteria itu?

MK juga menyebut ada kaidah sosial lain di luar hukum, seperti kaidah kesusilaan, kesopanan, agama, yang bertujuan untuk menciptakan dan memelihara tertib sosial. Mahkamah pun mendorong pengoptimalan pendidikan di sekolah, keluarga, masyarakat. Hukum pidana sendiri hanya sebagai "obat terakhir" (ultimum remedium).

"Membebankan seluruh tanggung jawab dalam menata fenomena sosial berupa perilaku menyimpang semata-mata kepada kaidah hukum, lebih-lebih kepada kaidah hukum pidana, tidak lah proporsional, bahkan cenderung menyederhanakan persoalan," tutur Mahkamah. "Sebab belum tentu akar dari semua problema sosial itu bersumber pada lemahnya kaidah hukum," tutup MK.

 



Persetujuan seksual alias sexual consent, atau disingkat consent, jadi barang `tabu` bagi sekelompok warga lantaran dicemari asumsi dan digoreng oleh pelakon politik identitas. Padahal, ada dua hal terpisah: perlindungan korban kekerasan seksual dan soal zina yang tak diatur perundangan.

Filusuf John Kleinig, dalam `The Ethics of Consent` (2009), menyebut diskursus tentang consent berkembang pesat sejak masa Renaissance (sekitar abad 14-17 di Eropa) dan mendapat tempat khusus dalam pertumbuhan masyarakat demokratis liberal (Barat).

Konsepnya adalah soal batasan agar tak merugikan hak orang lain dalam interaksi sosial dan agar tak dikategorikan sebagai pelanggaran hak, yang tentunya dapat dikenakan sanksi hukum.

Konsep consent membedakan antara pekerjaan dengan perbudakan, pemberian dengan perampokan, donor dengan pencurian organ tubuh. Dalam ranah seksualitas, consent membedakan antara relasi seks dan perkosaan, termasuk dalam hubungan suami istri.

Isu terakhir ditentang kalangan konservatif yang memaknai hadits soal malaikat melaknat istri yang menolak diajak bersetubuh suaminya secara sempit, tanpa mempertimbangkan prinsip menggauli istri dengan baik, mu`asyarah bil ma`ruf.

Tanpa ada batasan berupa `consent` atau persetujuan, semua tindakan seksual akan bisa dikenakan sanksi hukum.

Selain itu, pemberian persetujuan atas satu tindakan, belum tentu lampu hijau bagi aksi lanjutan lainnya. Consent juga tidak selalu berarti berlaku seterusnya.

Analoginya peminjaman atau permintaan uang. Anda bisa saja meminjam uang pada teman, atau bahkan istri, Rp100 ribu dan mendapat restu. Saat meningkatkan pinjaman jadi Rp200 ribu, sang kreditur bisa saja menolak pinjaman.

Apabila konsep consent dihilangkan, segala macam peminjaman atau permintaan uang dapat dikategorikan perampokan, pencurian, pengancaman.

Ini soal hukum, tok.
Lihat Juga :
[img-title]
Lima Fraksi Alot, RUU TPKS Terancam Kandas
Gerakan Politik

Polemik soal consent mengemuka kala naskah Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual, yang naskah akademiknya disusun oleh koalisi masyarakat sipil dan Komnas Perempuan dan didukung oleh PDIP, mulai masuk ke DPR pada 2017-2019.

Situasi jelang Pemilu 2019 membuat sejumlah pendukung salah satu pasangan calon presiden memanfaatkannya sebagai peluru untuk menembak ke kubu lawan dan meraup suara orang-orang yang belum paham.

Dengan dalih tak termuat larangan zina, isu legalisasi seks bebas pun ditebar, baik melalui forum politik resmi atau pun ceramah-ceramah keagamaan. Politik identitas disulut.

Kaum emak, yang rajin membaca grup WhatsApp keluarga atau kolega, mungkin saja termakan isu ini mentah-mentah. Demo menolak RUU ini pun digelar. Sejumlah partai menangkap momen ini sebagai cara meraih atau mempertahankan suara.
Lihat Juga :
[img-title]
Soroti Kawin Kontrak, Puan Komitmen Sahkan RUU TPKS

Mental lah RUU ini, hingga kemudian berubah signifikan substansinya dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Kini, ada usulan pula salah satunya dari PKS agar kata `kekerasan` dihilangkan demi bisa mengkriminalisasi zina.

Isu legalisasi zina mengemuka lagi usai Nadiem Makarim meneken Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Hal inti yang dipersoalkan sejumlah ormas keagamaan, politikus dengan pendukung utama kalangan konservatif, atau pun beberapa parpol dari kubu yang kalah di 2019, ada di Pasal 5 pada frasa "tanpa persetujuan" (without consent).

Misalnya, Pasal 5 huruf m, bahwa kekerasan seksual meliputi "membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban".
Lihat Juga :
[img-title]
Maju Mundur Pengesahan RUU Kekerasan Seksual di Tangan DPR

Mereka pun mengartikan jika ada persetujuan maka itu boleh dilakukan di kampus, yang kemudian ditafsirkan membolehkan zina, yang dilarang oleh semua agama.

Di saat yang sama, para korban, anak maupun dewasa, makin banyak berjatuhan; di kampus, di sekolah, di lingkungan tinggal.
Sejumlah aktivis perempuan mahardika melakukan aksi di Kawasan Patung Kuda Arjuna Wijaya, Senin (8/3/2021). Aksi mereka dalam rangka memperingati hari perempuan sedunia. Dalam aksinya mereka meminta pemerintah Akui kekerasan seksual sebagai pelanggaran HAM, Cabut UU Cipta kerja, segera ratifikasi konvensi ILO 190 beserta rekomensi 206, segera bahas dan sahkan RUU PKS dan RUU PPRT. CNN Indonesia/Andry NovelinoAksi untuk melawan kekerasan seksual terhadap perempuan. (Foto: CNN Indonesia/Andry Novelino)

Kekosongan Aturan

Dalam hukum pidana Indonesia, yang merupakan warisan zaman kolonial Belanda, persoalan suatu perbuatan dikatakan delik atau bukan diatur berdasarkan asas legalitas. Ini diturunkan dari adagium nullum delictum, nulla poena sine praevia lege punali, yang memiliki empat makna yang merupakan satu kesatuan.

Pertama, bukan perbuatan pidana jika tidak ada undang-undang yang mengatur sebelumnya (nullum cimen, nulla poena sine lege praevia).

Kedua, bukan perbuatan pidana jika tidak ada norma hukum tertulis atau undang-undang (nullum crimen, nulla poena sine lege scripta).

Ketiga, bukan perbuatan pidana jika tidak ada aturan tertulis atau undang-undang yang jelas rumusannya (nullum crimen, nulla poena sine lege certa).

Keempat, tidak ada pidana jika tidak ada hukum tertulis yang ketat (nullum crimen nulla poena sine lege sticta). Maknanya adalah ketentuan dalam perundangan harus ditafsirkan secara ketat. Alhasil, analogi pun dilarang.

Jika asas legalitas itu diterapkan pada Permendikbud PPKS, maka menjadi lumrah jika rumusan frasa "tanpa persetujuan" ditafsirkan bahwa hal yang mendapat persetujuan atau suka sama suka bukan lah tindak pidana.

Masalahnya, pencantuman larangan zina pada Permendikbud itu juga tak dibenarkan. Suatu peraturan tak bisa mencantumkan delik baru yang tak diatur perundangan di atasnya. Permendikbud sendiri posisinya ada di bawah UU.
Lihat Juga :
[img-title]
KSP Ungkap Komitmen Jokowi Lindungi Perempuan dari Kekerasan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan perundangan lainnya yang berlaku di seluruh wilayah RI memang tak melarang secara global soal zina atau persetubuhan di luar perkawinan.

Sebagian larangan zina (persetubuhan di luar nikah dengan consent dan bukan perkosaan) sebenarnya sudah diterapkan di sejumlah pasal. Di antaranya, larangan zina atau perselingkuhan bagi yang sudah menikah (Pasal 184 KUHP), larangan menyetubuhi perempuan di bawah 15 tahun di luar perkawinan (Pasal 287 KUHP);

Sementara, UU Perlindungan Anak menuliskan bahwa batasan kedewasaan alias `age of consent` adalah 18 tahun.

Selain itu, ada larangan perbuatan cabul sesama jenis, atau yang kerap dikaitkan dengan LGBT, jika salah satunya belum dewasa (Pasal 292 KUHP).

Dengan kata lain, perundangan di Indonesia tak melarang zina, dengan lawan jenis atau pun sesama jenis, yang dilakukan oleh orang dewasa atau cukup umur, suka sama suka, dan belum terikat pernikahan.

Namun, perlukah zina nantinya dilarang secara tertulis?
Lihat Juga :
[img-title]
Hari Anti Kekerasan Perempuan
Menyibak Kelamnya Pandemi Bayangan Kekerasan Berbasis Gender
Manfaat berbanding Mudarat

Simposium Pembaruan Hukum Nasional, di Semarang, Agustus 2020 menyatakan bahwa kebijakan kriminalisasi harus bisa menjawab sejumlah kriteria:

Pertama, apakah perbuatan itu disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban?

Kedua, apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasil yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan, penegakan hukum, hingga beban yang dipikul oleh korban dan pelaku harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai?

Ketiga, apakah kriminalisasi itu akan menambah beban aparat penegak hukum hingga nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya?

Keempat, apakah perbuatan yang hendak dikriminalisasi itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa Indonesia sehingga berbahaya bagi keseluruhan masyarakat?

Dalam bahasa fiqih, pembuatan pasal/delik baru harus bisa mempertimbangkan prinsip mencegah kerusakan lebih baik dari pada mengejar manfaat, dar`ul mafasid muqaddamun `ala jalbil mashaalih.

Mahkamah Konstitusi, dalam pertimbangan putusan/46/PUU-XIV/2016 terkait uji materi sejumlah `pasal zina` dan `pasal LGBT`, mengakui pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah) memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan kriminalisasi.

Namun, itu harus berdasarkan hasil riset yang kuat yang bisa menjawab empat kriteria di atas. Termasuk soal kriminalisasi zina.
Lihat Juga :
[img-title]
Kekerasan Seksual di Dunia Digital Disebut Bakal Masuk RUU TPKS

"Hanya dengan dukungan hasil riset yang intensif lah kiranya segala argumentasi yang akan dipakai untuk memenuhi keempat kriteria umum di atas memperoleh legitimasinya," tulis MK.

Jika Anda pengusul pasal zina, sudahkah memiliki hasil riset atau survei terukur yang bisa menjawab empat kriteria itu?

MK juga menyebut ada kaidah sosial lain di luar hukum, seperti kaidah kesusilaan, kesopanan, agama, yang bertujuan untuk menciptakan dan memelihara tertib sosial. Mahkamah pun mendorong pengoptimalan pendidikan di sekolah, keluarga, masyarakat. Hukum pidana sendiri hanya sebagai "obat terakhir" (ultimum remedium).

"Membebankan seluruh tanggung jawab dalam menata fenomena sosial berupa perilaku menyimpang semata-mata kepada kaidah hukum, lebih-lebih kepada kaidah hukum pidana, tidak lah proporsional, bahkan cenderung menyederhanakan persoalan," tutur Mahkamah.

"Sebab belum tentu akar dari semua problema sosial itu bersumber pada lemahnya kaidah hukum," tutup MK.

Baca artikel CNN Indonesia "Pasal Zina dan Korban Politik Identitas Bernama `Consent`" selengkapnya di sini: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211127083216-33-726727/pasal-zina-dan-korban-politik-identitas-bernama-consent.

Download Apps CNN Indonesia sekarang https://app.cnnindonesia.com/

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar