Pasca Gatot Nurmantyo, Fahira Idris Cs Gugat Ambang Batas Capres ke MK

Selasa, 28/12/2021 11:05 WIB
Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI Fahira Idris. (muslimobsession)

Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI Fahira Idris. (muslimobsession)

Jakarta, law-justice.co - Sebanyak tiga orang anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), termasuk Fahira Idris, menggugat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) di Undang-Undang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Belum lama ini, aturan itu juga telah digugat sejumlah tokoh politik, termasuk mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo.

Dalam permohonan bernomor 66/PUU/PAN.MK/AP3/12/2021, Fahira dkk. meminta MK menghapus pasal 222 UU Pemilu. Pasal itu mengatur calon presiden dan calon wakil presiden diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan minimal 20 persen kursi DPR RI atau 25 persen suara sah nasional.

"Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sepanjang frasa `yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen (dua puluh persen) dari jumlah kursi di DPR atau memperoleh 25 persen (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya` bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," bunyi petitum dalam permohonan Fahira dkk.

Fahira Cs berpendapat presidential threshold bertentangan dengan asas pemilu adil pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Mereka menilai aturan itu membuat partai-partai baru tidak bisa mencalonkan presiden karena belum memiliki perolehan suara pemilu.

Mereka juga menyebut aturan dalam pasal 222 UU Pemilu tidak sesuai dengan konsep pemilu serentak pada pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Fahira menjelaskan presidential threshold merujuk pada perolehan suara partai pada pemilu sebelumnya.

Tiga anggota DPD itu juga mendalilkan presidential threshold bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) dan (3) UUD 1945. Alasannya, presidential threshold menimbulkan ketidaksetaraan di hadapan hukum dan perbedaan kesempatan di pemerintahan, terutama bagi partai politik yang belum punya perolehan suara pemilu.

Fahira dkk juga menyebut ambang batas pencalonan presiden tidak sesuai pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Pasal tersebut hanya mencantumkan dua syarat pencalonan presiden, yaitu diajukan sebelum pemilu dimulai dan didukung partai politik atau gabungan partai.

Gugatan Aktivis

Gugatan serupa juga dilayangkan aktivis yang juga mantan Ketua Umum Partai Reformasi Tionghoa Indonesia, Lieus Sungkharisma. Gugatan Lieus diterima MK dengan nomor 67/PUU/PAN.MK/AP3/12/2021.

Lieus mendalilkan presidential threshold inkonstitusional. Dia menyebut aturan itu tidak sesuai dengan pasal 6 ayat (2) dan pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

"Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," bunyi petitum yang disampaikan Lieus.

Sebelumnya, aturan presidential threshold di pasal 222 Undang-Undang Pemilu digugat sejumlah kalangan. Inti gugatan adalah menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden.

Gugatan itu telah dilayangkan oleh Gatot Nurmantyo, Ferry Juliantono, Bustami Zainuddin, dan Fachrul Razi. Gugatan dilayangkan dalam tiga permohonan berbeda. Namun, mereka menunjuk kuasa hukum yang sama, yaitu Refly Harun.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar