Menkeu Sebut Normalisasi Kebijakan LN Berdampak pada Rupiah & Saham RI

Kamis, 23/12/2021 14:23 WIB
Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani. (Foto: istimewa)

Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani. (Foto: istimewa)

Jakarta, law-justice.co - Normalisasi kebijakan negara-negara di dunia bisa berdampak pada nilai tukar rupiah, surat berharga negara (SBN) hingga saham di Indonesia. Hal itu disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Menurutnya, Normalisasi ini baik di sektor fiskal oleh pemerintah maupun moneter dari bank sentral mereka.

"Di 2022, banyak negara akan exit policy. Fiskalnya mulai dikonsolidasi, monetary policy-nya dinormalisasi. Dampak dari exit policy bagi antar negara bisa sangat rumit," katanya di acara bertajuk Kupas Tuntas Prioritas Finance Track untuk Pulih Bersama, Rabu (22/12).

Ani menjelaskan ketika bank sentral di dunia menormalisasi kebijakan moneternya, maka mereka akan mengurangi stimulus bagi sektor ekonomi dan keuangan negara mereka. Salah satunya mengurangi bantuan likuiditas ke pasar yang berimbas pada `pulang kampungnya` dana-dana investor di negara lain. 

"Capital flow bisa keluar dari negara emerging market dan developing countries, yang kemudian berimbas ke nilai tukar rupiah, SBN, harga saham. Ini bisa menjadi ancaman bagi sektor keuangan kita, dan itu harus diwaspadai," terangnya.

Sementara jika pemerintah di negara-negara lain melakukan normalisasi kebijakan fiskal, maka mereka juga akan mengurangi pemberian stimulus kepada masyarakat.

Hal ini sejalan dengan pemulihan ekonomi yang ditandai dengan peningkatan inflasi, misalnya di AS mencapai 6,8 persen, Jerman di atas 4 persen, Brasil 10 persen, Meksiko di atas 8 persen, dan lainnya.

Masalahnya, menurut Ani, kenaikan inflasi yang terjadi saat ini tidak lagi bersifat sementara, melainkan semakin serius. Sebab, kenaikan inflasi rupanya bukan semata-mata karena kontainer langka, harga komoditas meningkat, tenaga kerja belum kembali ke industri, tapi karena permintaan memang sudah pulih.

"Ini semua menimbulkan risiko dan mengancam pemulihan ekonomi," imbuhnya.

Untuk itu, sambungnya, berbagai ancaman ini perlu dijawab oleh Indonesia. Salah satunya melalui perumusan kebijakan di perhelatan Presidensi G20.

Di sisi lain, ia mengklaim pertemuan G20 di Indonesia memberikan manfaat ekonomi yang nyata bagi masyarakat. Misalnya, dari sisi tenaga kerja yang terekrut selama perhelatan acara hingga kebijakan ekonomi dan keuangan yang dihasilkan nanti.

"Jadi pertemuan G20 ini mempengaruhi hajat hidup orang Indonesia juga, meski bahasanya policy, tapi kalau policy-nya salah, itu dampaknya luar biasa ke ekonomi," tuturnya.

Gubernur BI Perry Warjiyo menambahkan beberapa langkah bank sentral dalam menghadapi normalisasi kebijakan dari negara-negara di dunia. Pertama, meminta para bank sentral di negara lain untuk merencanakan dan mengomunikasikan normalisasi kebijakan secara matang dan baik kepada bank sentral negara lain.

"Sehingga seluruh dunia paham, termasuk negara berkembang," kata Perry pada kesempatan yang sama.

Kedua, bank sentral nasional menyiapkan respons terhadap kebijakan normalisasi tersebut melalui koordinasi dengan pemerintah. Tujuannya, agar stabilitas ekonomi tetap terjaga, namun di sisi yang sama dapat tetap memacu pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, BI mendorong Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk turut memberi dukungan kepada negara berkembang. Sebab, hal ini bisa menambah kesiapan suatu negara dalam menghadapi perubahan-perubahan ke depan.

 

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar