Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Reformasi Kultural Polri, Benarkah atau Sebatas Mimpi?

Rabu, 22/12/2021 05:30 WIB
H.Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)

H.Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Dalam pengarahannya pada pembekalan Apel Kasatwil di Bali beberapa waktu yang lalu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menginginkan seluruh personel Polri merubah kultur dan budaya organisasi, dengan tujuan agar Polri semakin dekat dengan masyarakat dan  dipercaya.

“Kultur dan budaya organisasi gimana kita tanamkan nilai baik untuk dibiasakan. Sehingga itu menjadi perilaku keseharian itu menjadi suatu modal keutamaan tanpa kita sadar. Kalau ini bisa kita lakukan maka risiko untuk lakukan pelanggaran akan berkurang,” kata Kapolri di Bali, Jumat (3/12) seperti dikutip media.

Arahan dan pembekalan Kapolri terkait dengan pentingnya reformasi kultural di tubuh kepolisian tersebut memang sangat relevan untuk di tekankan kepada jajarannya mengingat sejauh ini reformasi kultural Polri yang diharapkan mampu merubah paradigma berfikir, bersikap dan perilaku anggota Polri dalam kenyataannya masih mengadopsi paradigma lama.

Berbagai penyimpangan yang dilakukan anggota Polri seperti penerimaan suap, korupsi polisi, kekerasan polisi dan lain-lain menunjukkan bahwa reformasi kultural Polri belum menyentuh perubahan aspek budaya organisasi, namun baru sebatas perubahan formal-prosedural belaka.

Benarkah aspek kultural ini menjadi penyebab utama terjadinya berbagai penyimpangan yang yang terjadi di tubuh korps bayangkara ?. Apa upaya yang telah dilakukan oleh jajaran kepolsian untuk mereformasi aspek kultural dilembaganya ?.

Babak belur

Beberapa waktu belakangan ini, sejumlah peristiwa yang melibatkan oknum anggota kepolisian memang sedang hangat di bicarakan di sosial media.Berbagai peristiwa kriminal yang melibatkan jajaran korsps bhayangkara telah membuat kepolisian republic Indonesia babak belur tercoreng nama baiknya. Ibarat kata pepatah karena nila setitik rusak susu sebelanga.

Diantara peristiwa yang mencoreng korp bhayangkaran tersebut adalah pelecehan seksual pegawai KPI (Komisi Penyiaran Indonesia).  Adalah seorang pegawai KPI yang berinisial MS mengaku telah menerima tindakan perundungan, perbudakan, hingga pelecehan seksual oleh teman-teman kantornya.

Selama mengalami perundungan dan pelecehan seksual tersebut, MS sempat melaporkan kasusnya kepada atasannya dan pihak kepolisian, namun laporannya tidak digubresnya. MS pertama kali mengadukan kasusnya ke Polsek Gambir pada 2019, namun petugas polisi malah menyuruhnya melapor lebih dulu kepada atasan di KPI agar diselesaikan secara internal saja.

Berselang setahun kemudian, MS kembali mencoba melapor ke Polsek Gambir, namun laporan ini juga tidak sesuai harapannya. Karena sudah tidak tahu harus melapor ke mana, MS akhirnya menuliskan kasus perundungan dan pelecehan seksual yang dialaminya dalam surat yang kemudian viral di sosial media.Setelah viral, baru kemudian polisi, KPI, serta pihak lainnya bergerak menindaklanjuti kasusnya..

Sikap petinggi KPI dan tidak ditanggapinya laporan korban ke polisi telah membuat citra buruk polisi karena dinilai kurang tanggap terhadap laporan warga.

Peristiwa lain yang melibatkan aparat kepolisian juga terjadi di Luwu Utara yaitu  kasus pemerkosaan tiga anak oleh ayah kandungnya. Kasus ini diungkap langsung oleh ibu dari tiga anak dalam salah satu pemberitaan media. Pemberitaan terkait ini viral di media sosial lantaran kepolisian di Luwu Timur malah menghentikan penyelidikan kasusnya. Padahal, proses penyelidikan baru dilakukan dua bulan sejak ibu tersebut mengadukan kasusnya.

Sementara itu di Malang Jawa Timur telah terjadi kematian seorang mahasiswa yang diduga oknum kepolisian sebagai penyebabnya.Mahasiswi itu melakukan bunuh diri setelah dipaksa pacarnya yang merupakan seorang polisi untuk menggugurkan kandungannya. Permintaan untuk menggugurkan kandungan itu telah dilakukan dua kali oleh pacarnya. Kasus ini baru serius ditangani polisi setelah viral di sosial media.

Di Jakarta,  seorang warga yang melaporkan tindakan perampokan yang dialaminya justru diceramahi dan diminta pulang ke rumah oleh polisi yang dilaporinya. Akibat sikap oknum polisi ini, Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran marah besar atas kelakuan anak buahnya.  Aipda Rudi yang menolak laporan korban dugaan perampokan itupun diminta keluar dari Polda Metro Jaya.

Terbaru, beredar video viral mobil polisi yang tak melakukan tindakan apa pun ketika melintasi lokasi tabrak lari dimana korbannya tengah terkapar di jalan raya. Sikap oknum polisi yang membiarkan terjadinya peristiwa ini telah mendapat kecaman dari warganet di sosial media.

Serangkaian peristiwa yang dikemukakan diatas hanya sebagian saja dari rangkaian kejadian yang melibatkan oknum bayangkara. Peristiwa peristiwa ini tak urung membuat jajaran bayangkara babak belur dihakimi masyaraka di sosial media karena pelanggaran pelanggaran hukum yang telah dilakukannya

Penyebab utama terjadinya rangkaian peristiwa tersebut sangat mungkin karena agenda reformasi kultural di tubuh Polri belum berjalan sebagaimana mestinya. Dugaan ini sejalan dengan penilaian  Anggota Komisi III DPR RI Adang Daradjatun yang menilai, faktor kultural di tubuh Polri menjadi penyebab utama berbagai kasus pelanggaran hukum oleh anggota Korps Bhayangkara.Sebagai mantan Ketua Tim Reformasi Polri, ia melihat masalah instrumen kepolisian sudah selesai, namun masalah kultur masih belum juga mencapai tujuannya.

Reformasi Kultural Polri

Sejak bergulirnya reformasi sistem politik dan pemerintahan tahun 1999, Polri telah melakukan reformasi aspek struktural, instrumental dan kultural di institusinya. Pemisahan struktur Polri dari TNI serta penempatan struktur Polri dibawah langsung Presiden RI merupakan awal langkah dilakukannya reformasi struktural Polri. Langkah ini kemudian diikuti dengan diterapkannya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri yang menjadi pilar reformasi aspek instrumental Polri.

Selain reformasi struktural dan instrumental, Polri juga melakukan reformasi aspek kultural melalui perubahan paradigma Polri dari kepolisian yang berwatak militeristik menjadi kepolisian yang berwatak sipil (civilian police) serta perubahan pendekatan dari antagonis menjadi progonis, yakni dari pendekatan lama yang menitikberatkan pada pendekatan reaktif dan konvensional (kekuasaan) menuju pendekatan yang proaktif dan mendapat dukungan publik dengan mengedepankan kemitraan dalam rangka pemecahan masalah-masalah yang ada

Namun  setelah lebih 20 tahun reformasi nampaknya reformasi kultural di tubuh Polri ini masing berjalan terhuyung huyung dibandingkan dengan dua aspek lainnya. Artinya reformasi kultural belum mengalami perubahan signifikan sebagaimana harapan bersama. Terbukti masih banyak kasus pelanggaran hukum atau penyelewengan yang dilakukan oleh jajaran korps bayangkara.

Reformasi kultural yang dijalankan Polri selama ini nampaknya baru  bersifat formal-prosedural semata. Reformasi kultural Polri belum menyentuh aspek budaya organisasi Polri, sehingga dari waktu ke waktu sikap dan perilaku hampir sebagian besar anggota Polri masih mengadopsi paradigma lama.

Masih banyak anggota Polri yang sibuk mengejar posisi jabatan dan mempertebal pundi pundinya sehingga tidak jarang terjadi kompetisi dan konflik antar anggota yang berakibat terjadinya pelanggaran hukum dan kode etik kepolisian serta dikorbankannya kepentingan masyarakat yang seharusnya di ayomi dan dilindunginya.

Dalam hal ini anggota Komisi III DPR RI Adang Daradjatun yang juga sebagai  mantan Ketua Tim Reformasi Polri,  melihat masalah struktur dan  instrumen kepolisian sudah selesai, namun masalah kultur memang masih belum mencapai sasaranyna

"Kebetulan tahun 97-98, saya sebagai Ketua Tim Reformasi Polri, di mana pemisahan Polri dari ABRI, dan juga kita mengeluarkan suatu ketetapan tentang perubahan Polri dalam bidang instrumen, struktur, dan kultur Polri. Instrumen sudah selesai dengan adanya undang-undang Polri, struktur sudah diperkuat mulai dari mabes, polda ,polres, polsek dan sebagainya berupa material dalam tugas tugas kepolisian namun yang menjadi masalah utama pada akhirnya tentang kultur, baik dalam konteks kultur masyarakat, lebih-lebih kultur yang berhubungan dengan kepolisian,” katanya seperti dikutip merdeka.com Jumat (29/10).

Masalah reformasi kultural Polri ini juga mendapatkan perhatian dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).   Dalam hal ini Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyampaikan soal pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan untuk mereformasi kultural Polri sebagai prioritas utama."Saya melihat ada PR besar yang harus dilakukan untuk melaksanakan reformasi kultural Polri dengan sebaik-baiknya," ujar juru bicara Kompolnas Poengky Indarti seperti dikutip media.

Poengky melihat, sikap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menindak oknum dan pimpinan sebagai pintu masuk ke reformasi kultural."Instruksi yang disampaikan Bapak Kapolri sangat tepat, yaitu pimpinan harus memberikan teladan kepada anggota, membimbing, dan membina anggota, serta mengawasi anggota. Jika anggota berprestasi, perlu diberikan reward. Sedangkan jika anggota melakukan pelanggaran, maka harus dijatuhi hukuman," katanya.

Reformasi kultural Polri mengarahkan anggota polisi untuk mengubah mindset dan cultureset pimpinan Polri menjadi polisi yang profesional, humanis, dan menghormati HAM (Hak Azasi Manusia). "Praktik buruk di masa Orde Baru, antara lain kekerasan berlebihan, arogansi, hedonis, dan korupsi atau pungli harus dihapus," ucapnya.

Selain sinyal sinyal positif yang disampaikan oleh Kompolnas terhadap kinerja Kapolri dalam mengupayakan reformasi kultural di tubuh bayangkara, sesunggunya Kapolri saat ini juga sudah melakukan berbagai upaya agar reformasi kultural dijajarannya berjalan sesuai harapan bersama antara lain menggelar Festival Mural Bhayangkara dan Lomba Pidato Unjuk rasa.

Melalui pembuatan festival dan lomba ini bisa dijadikan instrument bagi Kapolri untuk menilai kinerja jajarannya. Selain itu menunjukkan institusi Polri yang terbuka menerima kritik dan masukan dari masyarakat untuk perbaikan citra korps bhayangkara.

Melalui festival mural, para seniman bebas mengekspresikan gagasannya. Bahkan Kapolri sendiri menyatakan : “ Yang paling pedas mengkritik Polri akan menjadi sahabat saya”. Artinya kritikan seniman yang paling pedas itulah yang akan menjadi pemenangnya.

Sementara itu melalui Lomba Pidato Unjuk Rasa, Kapolri sepertinya ingin menyampaikan pesan bahwa masyarakat bebas menyatakan pendapatnya dimuka umum tanpa ada rasa takut atau yang lainnya. Karena menyampaikan pendapat merupakan hak setiap warga negara yang telah dijamin di pasal 28 Undang Undang Dasar 1945.

Semua upaya yang dilakukan jajaran kepolisian tersebut tentynya patut kita apresiasi  karena dimaksudkan untuk mewujudkan reformasi kultural di jajaran bhayangkara. Memang ada juga yang menilai bahwa langkah langkah yang telah dilakukan jajaran petinggi kepolisian saat ini hanya sekadar kamuflase belaka. Tindakan tegas pimpinan Kapolri kepada anak buahnya yang melanggar hukum misalnya dinilai hanya sekadar upaya sesaat ketika kasusnya sedang viral saja.

Demikian juga halnya lomba lomba yang diadakan seperti lomba pembuatan mural, dilakukan hanya untuk menutupi peristiwa peristiwa penghapusan mural dibeberapa daerah yang isinya mengkritik penguasa. Akan halnya digelarnya lomba pidato unjuk rasa hanya dimaksudkan untuk menutupi perilaku aparat kepolisian yang bersifat  militerislistik ketika menghadapi pengunjuk rasa.

Penilaian memang boleh boleh saja tapi  fakta dilapangan yang kemudian menjadi indikator utamanya. Apakah dengan program program petinggi Polri untuk melakukan reformasi kultural di jajarannya tersebut telah memenuhi sasarannya. Dimana indikatornya sudah terjadi perubahan cara berpikir dan bersikap anggotanya. Kemudian, menguasai tugasnya untuk melayani, melindungi, mengayomi masyarakat dan menegakkan hukum demi terpeliharanya ketertiban masyarakat secara adil untuk semua warga bangsa.

Lalu, polisi tak lagi menggunakan kekerasan berlebih atau tindakan-tindakan yang bersifat militeristik dalam menjalankan tugasnya. Serta terakhir, polisi yang menghormati hak asasi manusia, tak bergaya hidup mewah, dan tak arogan sebagaimana yang selama ini sering dipamerkan kepada khalayak pada umumnya

Perubahan-perubahan tersebut juga harus tercermin dalam sistem perekrutan, pendidikan, anggaran, kepegawaian, manajemen, dan operasional kepolisian Sebagian bagian dari keseluruhan sistem yang mempengaruhinya.

Memang harus diakui, reformasi kultural Polri tidak semudah sepeti melakukan reformasi struktural atau instrumental karena reformasi kultural menyangkut perilaku dan budaya manusia yang sudah bertahun tahun mengamalkan paradigma lama aparat di masa Orba berkuasa.

Karena Reformasi Kultural mengubah cara pandang, cara berpikir dan cara bertingkah laku  yang sudah terlanjur lama dipraktekkan karena warisan budaya lama. Tapi kalau tidak segera dilakukan upaya perubahan kapan lagi rakyat bisa merasakan kehadiran korps bayangkara yang humanis, professional dan menjadi sahabat mereka ?

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar