Jawab Siti Fadilah, Kemenkes: Tak Ada Dramatisasi Varian Omicron

Selasa, 21/12/2021 08:16 WIB
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes dr Siti Nadia Tarmidzi (Tribun)

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes dr Siti Nadia Tarmidzi (Tribun)

Jakarta, law-justice.co - Pemerintah dengan tegas membantah pernyataan mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari yang menyebut bahwa penyebaran virus Covid-19 varian Omicron didramatisasi.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi membantah dengan memaparkan bahwa saat ini penyebaran Omicron di dunia sudah terhitung parah.

Seperti di Eropa yang menyentuh angka puluhan ribu per hari untuk kasus positif. Bahkan, fasilitas kesehatan di Amerika Serikat sudah mulai kewalahan.

"Nggak [dramatisasi] lah. Kita lihat di Inggris dengan 90 ribu kasus per hari, Belanda sudah lockdown, Swiss pengetatan, dan Amerika Serikat fasilitas kesehatannya mulai kewalahan karena banyak orang yang tertular," ujar Nadia seperti melansir cnnindonesia.com.

Menurut Nadia, yang terpenting saat ini adalah masyarakat tetap waspada terhadap penyebaran dan tidak perlu terlalu panik.

Siti Fadilah sebelumnya mengungkapkan bahwa Omicron hanya perkembangan dari virus lama dan hanya mutasi kecil.

"Kemudian didramatisasi itu kayaknya. Mati lho kalau ada Omicron," ujar Siti dalam wawancaranya bersama RealitaTV.

Terlebih, ia mengungkapkan mutasi kecil yang terjadi di virus Covid-19 tidak mengubah banyak dampak dari virus ini.

"[Dengan virus yang lama] sama keganasannya, keparahannya, kemenakutkannya, seharusnya sama atau lebih menurun," tambahnya.

Pada sisi lain, Menteri Kesehatan Budi Gunawan Sadikin mengatakan varian Omicron memiliki kemampuan penularan yang berkali-kali lipat dari varian Delta. Terbukti, dalam dua pekan lalu, kasus varian Omicron berjumlah sekitar 7.900 kasus di dunia.

Sementara pada pekan lalu dilaporkan kasus Omicron sudah bertambah 8 kali lipat menjadi 62.342 kasus.

Dengan rincian negara terbanyak yakni Inggris 37 ribu kasus, Denmark 15 ribu kasus, Norwegia 2 ribu kasus, Afrika Selatan 1.300 kasus, dan Amerika Serikat sekitar 1.000 kasus.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar