Apindo-Kadin Serukan Pengusaha DKI Tak Wajib Patuhi Kebijakan Anies

Senin, 20/12/2021 19:55 WIB
Ketua Umum Apindo, Hariyadi B Sukamdani (tengah). (bisnis.com).

Ketua Umum Apindo, Hariyadi B Sukamdani (tengah). (bisnis.com).

Jakarta, law-justice.co - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengimbau para pengusaha di DKI Jakarta untuk tidak menerapkan upah minimum provinsi (UMP) sesuai hasil revisi Gubernur Anies Baswedan yang diumumkan pada Sabtu (18/12/2021) lalu.


Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani menilai Anies telah melanggar ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Untuk itu, pengusaha akan menggugat Anies ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

"Mengimbau seluruh perusahaan di Jakarta untuk tidak menerapkan revisi UMP DKI Jakarta 2022 sembari menunggu keputusan PTUN berkekuatan hukum tetap," kata Hariyadi saat konferensi pers virtual, Senin (20/12/2021).

Kendati begitu, ia mengatakan gugatan ke PTUN baru akan dilayangkan bila Anies sudah mengeluarkan peraturan gubernur (pergub) baru soal revisi besaran UMP DKI Jakarta 2022.

"Kami tunggu pergub-nya, kalau sudah ada langsung kami ajukan (gugatan ke PTUN). Jadi begitu pergub keluar, Apindo dan Kadin DKI akan langsung lakukan gugatan," ucapnya.


Saat ini, sambung Hariyadi, para pengusaha di kedua asosiasi tengah menyusun surat pernyataan keberatan kepada Anies terkait pengumuman revisi UMP DKI Jakarta 2022. Surat baru disiapkan karena Anies mengumumkan revisi UMP pada Sabtu lalu.

"Untuk surat segera kami siapkan bahwa terhadap langkah tersebut, kami merasa keberatan," imbuhnya.

Lebih lanjut, Hariyadi menilai keputusan Anies merevisi UMP DKI Jakarta 2022 memberi dampak negatif bagi pengusaha. Pasalnya, perusahaan semakin sulit menerapkan upah berdasarkan struktur upah dan skala upah (SUSU).

Padahal, Kementerian Ketenagakerjaan ingin perusahaan menyusun upah bagi pekerja dengan masa kerja di atas satu tahun melalui skema SUSU.

Penyusunan upah berdasarkan SUSU sendiri dimaksudkan agar ada upah berjenjang bagi pekerja sesuai berpengalaman, jabatan, produktivitas, dan lainnya.

"Maka ruang untuk menerapkan struktur dan skala upah jadi sulit, karena ruang untuk (kenaikan) upah pekerja di atasnya jadi sempit," tutup Hariyadi.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar