Kondisi Demokrasi RI 2021, LPES Sebut Kembali ke Otoritarianisme

Rabu, 15/12/2021 23:20 WIB
Ilustrasi pelaksanaan Demokrasi Indonesia (Rappler.com)

Ilustrasi pelaksanaan Demokrasi Indonesia (Rappler.com)

Jakarta, law-justice.co - Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto menyampaikan, kondisi demokrasi di Indonesia saat ini semakin parah dari era sebelumnya.

Menurutnya, justru demokrasi yang ada saat ini diputarbalikan ke arah otoritarianisme.

"Secara umum, kondisi demokrasi di Indonesia masih sama bahkan semakin parah dibandingkan masa sebelumnya. Terjadi kemunduran demokrasi dan putar balik ke arah otoriterisme," kata Wijayanto dalam Diskusi Catatan Akhir Tahun 2021 bidang Politik, Media, dan Demokrasi yang dikutip, Rabu (15/12/2021)

Ia mengatakan, ada empat indikator yang menjadi ciri kematian demokrasi. Ia mengutip teori yang dikemukakan dua orang Prof Harvard Daniel Ziblatt dan Steven Levistky pada 2018 antara lain.


Pertama, diabaikannya aturan main demokratis. Misalnya, wacana presiden tiga periode masih hidup dan dipertahankan hingga hari ini.

Kemudian alotnya penentuan tanggal pemilu karena diintervensi untuk tarik ulur kepentingan status quo dan bukan berdasarkan pertimbangan feasibilitas pemilu.

"Kedua, absen atau diberangusnya lawan politik (oposisi). Hal ini tampak misalnya dengan KLB Partai Demokrat yang merupakan rekayasa politik dari kekuatan dalam lingkaran istana yang kemudian dianulir sendiri oleh Menteri hukum dan HAM setelah ada protes kuat dari masyarakat sipil," ungkapnya.

Kemudian yang ketiga, toleransi atau anjuran untuk penggunaan kekerasan. Menurutnya, YLBHI mencatat, terjadi banyak peristiwa kekerasan dalam pembebasan lahan dalam berbagai proyek pembangunan infrastruktur.

Lalu yang keempat, terberangusnya kebebasan sipil termasuk media.

"Hal ini tampak jelas pada kebangkitan otoriterisme digital yang semakin nyata hari-hari ini," tuturnya.

Khusus untuk otoriterisme di bidang digital, menurut Wijayanto ditandai berbagai tren.

Pertama, kriminalisasi warga negara, jurnalis dan aktifis dengan menggunakan pasal karet dalam berbagai produk perundangan.

"Trendnya meningkat dari 36 kasus pada 2014, menjadi 30 kasus pada 2015, lalu 83 kasus pada 2016, ada 56 kasus 2017, 25 dan 24 kasus pada 2018 dan 2019, lalu naik pesat pada 2020 menjadi 84 kasus," tuturnya.

Tren kedua yakni, pemutusan koneksi internet oleh Pemerintah Indonesia atas nama keamanan.

Lalu yang ketiga, sensor online, berupa penutupan situs-situs tertentu tanpa melalui proses hukum terlebih dahulu.

"Tren keempat, pengawasan aktivitas warga negara di internet oleh negara antara lain dengan polisi siber dan polisi virtual, ataupun dengan menggunakan badge award. Di mana kepolisian memberikan hadiah kepada mereka yang melaporkan warga," tuturnya.

Terakhir, tren kelima, yakni rangkaian tindakan premanisme digital di media sosial. Menurutnya, jika empat di atas dilakukan secara sadar atau resmi oleh negara, atau menggunakan hukum negara, maka ada tren kelima ini dilakukan oleh aktor non negara atau negara tidak secara resmi mengakuinya.

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar