Analisis Hukum Lemahnya Penegakan Hukum Bagi Pembakar Hutan dan Lahan

Minggu, 19/12/2021 11:52 WIB
Ilustrasi kebakaran hutan (Beritagar.id)

Ilustrasi kebakaran hutan (Beritagar.id)

Jakarta, law-justice.co - Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Bambang Hero Saharjo menegasakan, cara ampuh untuk menekan angka kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Indonesia adalah dengan penegakan hukum.

Bambang mengatakan, dengan adanya pengurangan areal kebakaran hutan dan lahan itu akan berimplikasi dengan pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca. "Law enforcement merupakan salah satu tools yang efektif dalam menekan kebakaran yang terjadi dan termasuk upaya untuk mereduksi emisi gas rumah kaca," kata Bambang sebagaimana dikutip law -justice.co, Sabtu (4/12/2021).

Sayangnya upaya penegakan hukum untuk mereka yang menjadi pembakar hutan dan lahan sangat memprihatinkan. Lemahnya penegakan hukum oleh pemerintah kian menambah daftar suram masalah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang hampir terjadi setiap tahunnya. Lemahnya upaya penegakan hukum sektor Karhutla ini juga memunculkan pertanyaan bagi keseriusan pemerintah dalam menangani persoalan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.

Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa luas area kebakaran hutan di Indonesia secara konstan menunjukkan kenaikan sejak tahun 2016. Luas kebakaran hutan di seluruh wilayah Indonesia yang diambil dari pantauan citra satelit Landsat sejak 2016 hingga 2021 adalah 438.363 hektar, 165.483 hektar, 529.266 hektar, 1.649.258 hektar, 296.942 hektar, dan 229.978 hektar.

Dalam kaitan dengan permasalahan tersebut, law-jutce.co telah melakukan investigasi untuk mengetahui terjadinya krisis penegakan hukum bagi para pembakar hutan dan lahan di Indonesia. Berdasarkan hasil dari investigasi tersebut ditemukan beberapa titik lemah dalam penegakan hukum untuk pembakar hutan dan lahan sehingga memungkinkan terjadinya kembali pelanggaran atau kejahatan pembakaran hutan dan lahan.

Berdasarkan hasil investigasi pula ditemukan fakta bahwa Mahkamah Agung (MA) sebagai bagian dari Lembaga penegak hukum baru saja mengeluarkan putusan kasasi yang membebaskan PT Kumai Sentosa dari kewajiban membayar ganti rugi Rp 935 miliar atas kebakaran lahan seluas 2.600 hektar. Putusan tersebut menguatkan apa yang diputuskan sebelumnya oleh Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, yang menyebut bahwa PT KS bebas dari tuduhan untuk bertanggung jawab atas kebakaran hutan pada 2019 lalu.

Putusan MA tersebut dikritik oleh berbagai pihak, mengingat pertimbangan hakim adalah karena PT KS telah memasang plang ‘dilarang membakar hutan’. Keputusan kontroversial ini dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk karena beberapa perusahaan yang dituntut bertanggung jawab atas kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera antara tahun 2015 - 2019, saat ini sedang dalam proses persidangan. Putusan kasasi MA yang membebaskan tersangka pembakar hutan hanya karena yang bersangkutan telah telah memasang plang ‘dilarang membakar hutan’, tentu saja sangat menggelikan dan menimbulkan tanda tanya.

Berdasarkan hasil investigasi juga ditemukan fakta bahwa ternyata selama ini para tersangka pembakar hutan yang telah dijatuhi sanksi, eksekusinya sangat lambat sehingga merugikan negara. Wahana Lingkungan Hdup (Walhi) menyebut bahwa pemerintah telah memenangkan denda Rp 18 triliun yang harus dibayarkan oleh beberapa perusahaan, namun tidak kunjung dieksekusi.

Berdasarkan siaran pers yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tanggal 7 Agustus 2020, terdapat 19 perusahaan yang telah digugat oleh kementerian. Sembilan di antaranya sudah berkekuatan hukum tetap dan diputus bersalah. Kesembilan perusahaan yang diputuskan bersalah di periode 2015-2019 ini diperintahkan untuk membayar denda sebesar 3,15 triliun rupiah. Dari 19 perusahaan tersebut, KLHK menyebut hanya 1 perusahaan yang sudah membayar denda, yakni PT Bumi Mekar Hijau. Sementara itu tagihan atas denda terhadap perusahaan-perusahaan lainnya tidak jelas progresnya hingga saat ini.

Ketidakjelasan progres pembayaran denda ini pada akhirnya berefek pada perusahaan yang kemudian menganggap enteng pelanggaran yang dilakukannya sehingga tidak ada efek jera. Parahnya lagi perusahaan yang sudah dinyatakan bersalah dan harus membayar denda ternyata masih tetap beroperasi seperti sedia kala.

Dalam konteks ini Greenpeace berkeyakinan bahwa beberapa perusahaan harusnya sudah dicabut izinnya oleh pemerintah tetapi itu tidak dilakukannya. Hal ini menjadi penyebab terjadi kebakaran lagi di area konsesinya. Misalnya PT Sumatera Riang Lestari, harusnya dicabut izinnya ketika konsesinya terbakar di 2019, karena izinnya sudah pernah dibekukan di tahun 215.

Sejauh ini sekurangnya ada tujuh perusahaan yang izinnya dibekukan karena kebakaran di lahan mereka di 2015 dan konsesi mereka kembali terbakar di 2019. Empat dari mereka adalah PT Bulungan Citra Agro Persada, PT Pesona Belantara Persada, PT Tempirai Palm Resources, dan PT Russelindo Putra Prima.

Persoalan lain dalam penegakan hukum kebakaran hutan dan lahan seperti diakui sendiri oleh Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani, korporasi yang paling banyak mendapatkan peringatan adalah korporasi yang diberikan sanksi secara administrative, sementara yang dijerat secara perdata dan pidana tidak begitu banyak. "Sudah ada 20 perusahaan kami gugat secara perdata terkait Karhutla, hampir semua gugatan kami dikabulkan oleh pengadilan. Sebanyak 833 korporasi diberikan sanksi administrasi, hanya belasan lainnya dipidana karena Karhutla," kata Rasio kepada Law-Justice.

Serangkaian permasalahan penegakan hukum terkait Karhutla tersebut memunculkan pertanyaan: mengapa penegakan hukumnya terkesan lemah, faktor faktor apa saja yang mempengaruhinya dan bagaimana sebaiknya agar penegakan hukum Karthutla bisa berjalan efektif sebagaimana harapan kita bersama.

Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Karhutla

Lemahnya penegakan hukum Karhutla memang menjadi keprihatinan kita bersama sehingga peristiwa kebakaran dan kabut asap hampir selalu terjadi terutama saat musim kemarau tiba. Oleh karena itu agar bencana tersebut tidak lagi terjadi atau minimal bisa dikurangi maka upaya penegakan hukum Karthutla yang efektif menjadi harapan kita bersama.

Secara teoritik, ada beberapa faktor yang mempengaruhi efektifias penegakan hukum termasuk terkait dengan Karhutla. Menurut pakar hukum Soeryono Soekanto, faktor faktor yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut adalah:

1) Faktor hukumnya sendiri. Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan.

2) Faktor penegak hukum. Untuk menjalankan fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum menjadi sangat penting. Jika peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, pasti ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum.

3) Faktor sarana dan fasilitas. Sarana yang ada di Indonesia sekarang ini memang diakui masing cukup tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara maju yang memiliki sarana lengkap dan teknologi canggih di dalam membantu menegakkan hukum. Menurut Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah pernah mengemukakan bahwa bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum.

4) Faktor masyarakat. Masyarakat dalam hal ini menjadi suatu faktor yang cukup mempengaruhi juga didalam efektivitas hukum. Apabila masyarakat tidak sadar hukum dan atau tidak patuh hukum maka tidak ada keefektifan.

5) Faktor kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain.

Senada dengan Soeryono Soekanto, Lawrence Friedman menyatakan bahwa efektivitas penegakan hukum akan terwujud apabila sistem hukum yang terdiri dari unsur struktur hukum, substansi hukum dan kultur hukum dalam masyarakat bekerja saling mendukung dalam pelaksanaannya.

Struktur hukum pada dasarnya adalah pelaksana daripada penegakan hukum itu sendiri beserta sarana prasarana yang menunjangnya. Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum tergantung pada optimal dan profesional tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakkan berlakunya aturan hukum tersebut mulai dari tahap pembuatannya, sosialisasinya, proses penegakan hukumnya yang mencakupi tahapan penemuan hukum ( penggunaan penalaran hukum,interpretasi dan kontruksi ), dan penerapannya terhadap suatu kasus konkret.

Substansi hukum adalah ketentuan atau landasan peraturan yang dijadikan pijakan untuk penegakan hukum seperti mudah atau tidaknya makna atau isi aturan-aturan hukum itu ditangkap atau dipahami, lengkap tidaknya aturan tersebut dan sebagainya. Perumusan substansi aturan hukum itu, harus dirancang dengan baik, jika aturannya tertulis, harus ditulis dengan jelas dan mampu dipahami secara pasti meskipun nantinya tetap membutuhkaninterpretasi dari penegak hukum yang akan menerapkannya.

Sementara kultur hukum masyarakat, dalam hal ini aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, relatif akan jauh lebih efektif ketimbang aturan hukum yang bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh orang-orang yang menjadi target diberlakukannya aturan tersebut. Aturan hukum yang sangat efektif adalah aturan hukum yang melarang dan mengancamkan sanksi bagi tindakan yang juga dilarang dan diancamkan sanksi oleh norma lain, seperti norma moral, norma agama, norma adat istiadat atau kebiasaan. Aturan hukum yang tidak diatur dan dilarang oleh norma lain, akan lebih tidak efektif.

Berdasarkan faktor faktor yang mempengaruhi efektifitas penegakan hukum sebagaimana dikemukakan diatas kita bisa mengukur sejauhmana faktor faktor tersebut mempengaruhi penegakan hukum untuk kasus kasus Karthutla.

Dari aspek struktur hukum yaitu para pelaksana penegakan hukumnya dalam Karhutla sudah ada perangkat penegak hukum mulai dari aparat kepolisian, Kejaksaan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), sampai dengan Lembaga peradilan mulai tingkat paling rendah sampai yang paling tinggi posisinya.

Dalam kaitan dengan struktur hukum atau pelaksana penegakan hukum ini maka sesungguhnya bisa dilihat pada dua aspek yaitu aspek kuantitas dan kualitas penegak hukum. Aspek kuantitas berkaitan dengan jumlah atau lengkap tidaknya aparat penegak hukum yang ada.

Sedangkan kualitas berkaitan dengan kemampuan dan kemahiran (profesionalisme) aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus Karhutla. Kekurangan baik dari segi kuantitas dan kualitas aparat penegak hukum akan sangat mempengaruhi efektivitas penegak hukum Karhutla.

Kemampuan aparat penegak hukum baik dalam arti preventif maupun represif dalam menangani kasus Karhutla, di samping jumlahnya amat terbatas, juga kemampuannya diduga masih terbatas. Saat ini aparat pemerintah yang bertugas di berbagai instansi, seperti di berbagai Departemen, Pemda dan KLHK, kebanyakan baru dapat melaksanakan tugas-tugas yang bersifat preventif, seperti pemantauan, pembinaan, dan peringatan. Apabila terjadi pelanggaran terhadap Karhutla, mereka umunya tidak melakukan tindakan hukum.

Sementara itu diduga aparat penegak hukum di level penindakan seperti penyidik, penuntut umum dan hakim yang memahami peraturan atau ketentuan hukum terkait Karhutla jumlah maupun kemampuannya terbatas. Karena itu perlu diperlukan pendidikan untuk tenaga-tenaga professional aparat penegak hukum sehingga diharapkan merekan akan mampu menangani kasus- kasus Karhutla.

Masih terkait dengan Struktur hukum adalah fasilitas -sarana dan prasarananya. Sarana adalah alat untuk mencapai tujuan penegakan hukum Karhutla. Ketiadaan atau keterbatasan fasilitas dan sarana penunjang lainnya akan sangat mempengaruhi keberhasilan penegakan Karhutla.

Fasilitas dan sarana dibutuhkan karena dalam menangani kasus-kasus Karhutla akan melibatkan berbagai perangkat teknologi canggih (peralatan laboraturium) yang untuk kepentingan operasionalisasinya memerlukan tenaga ahli dan biaya yang cukup mahal khususnya pada aspek pembuktiannya.

Sejauh ini para pemangku kepentingan sepakat untuk menjadikan bukti ilmiah (scientific evidence) sebagai dasar dari legal evidence (bukti hukum) dalam penyelesaian perkara Karhutla. Hal ini agar masyarakat dan korporasi tidak lagi menjadi korban putusan hukum yang salah serta hanya berdasarkan tekanan kelompok tertentu seperti LSM, Ormas atau yang lainya.

Bagaimanapun penyelesaian kasus Karhutla di persidangan tetap harus melalui bukti ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Karena itu scientific evidence sangat penting sebagai dasar penyelesaian sengketa Karhutla agar putusan hukumnya punya rasa keadilan.

Sementara itu dari aspek substansi hukum yaitu peraturan hukumnya sendiri sejauh ini sudah ada ketentuan yang berkaitan dengan penegakan kasus hukum Karhutla.
Dalam hal ini peraturan perundang-undangan terkait Karhutla memiliki peran untuk mengatur, mencegah, serta menanggulangi akibat dari tindakan pembakaran tersebut.

Adapun beberapa ketentuan yang mengatur soal Karhutla diantaranya yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 mengenai Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 mengenai Perkebunan.

Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana pembakaran hutan dan lahan ini diatur pada pasal 187 KUHP yang menjelaskan bahwa, barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, maka akan diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas (12) tahun, lima belas (15) tahun, hingga penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh (20) tahun, dimana masa hukuman tersebut berbeda-beda tergantung dari akibat yang akan terjadi dari perbuatan pidana yang telah dilakukan.

Kemudian, dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada pasal 69 ayat (1) huruf h melarang setiap orang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Akan tetapi, ditemui adanya pengecualian pada pasal 69 ayat (2) yang berbunyi “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing”.

Kemudian, Undang-Undang mengenai Kehutanan pada pasal 50 ayat (3) huruf d menyebutkan “setiap orang dilarang membakar hutan”. Dan dalam Undang-Undang mengenai Perkebunan pada pasal 56 ayat (1) menyebutkan “Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar”.

Selain itu, peraturan-peraturan tersebut juga mengatur mengenai sanksi pidana yang akan dijatuhkan kepada pelaku pembakaran sebagai bentuk pertanggung jawaban pidana, dimana pelaku pembakaran tersebut wajib mempertanggung jawabkan perbuatannya. Sanksi pidana yang diberikan bagi pihak yang membakar hutan dan lahan secara sengaja diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai berikut :

a. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 98, dimana hukuman diberikan sebagai akibat yang ditimbulkan dari pembakaran hutan dan lahan. Dalam pasal ini terlihat adanya delik materiil yang menekankan pada akibat dari tindakan pembakaraan hutan dan lahan yang dilakukan dengan sengaja.
b. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 108 mengenai pihak yang membakar lahan seperti dijelaskan pada pasal 69 ayat (1) huruf h.
c. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 116 sampai pasal 119 yang mengatur mengenai penjatuhan pidana terhadap korporasi dengan menjelaskan pihak mana saja pada sebuah korporasi yang bisa dijatuhi sanksi pidana atau dimintai pertanggung jawaban, serta mengenai pidana tambahan yang dapat dikenakan.
d. Undang-Undang Kehutanan pasal 78 ayat (3) mengatur mengenai pihak yang secara sengaja melanggar aturan seperti dijelaskan pada pasal 50 ayat (3) huruf d.
e. Undang-Undang Kehutanan pasal 78 ayat (4) yang mengatur mengenai penjatuhan pidana terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana pembakaran hutan.
f. Undang-Undang Perkebunan pasal 108 yang menjelaskan mengenai pelaku usaha perkebunan yang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar seperti dijelaskan pada pasal 56 ayat (1).

Sementara itu peraturan lain yang terkait dengan upaya pencegahan/penanggulangan kebakaran hutan/lahan adalah PP No. 4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan. Di samping melarang kegiatan pembakaran hutan/lahan, PP ini juga mewajibkan setiap orang untuk mencegah terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. Kewajiban dan tanggung jawab pencegahan kebakaran berada pada penanggungjawab usaha/kegiatan.

Di samping itu, penanggung jawab usaha juga wajib melakukan pemantauan dan melaporkan hasil pantauan secara berkala sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali yang dilengkapi dengan data penginderaan jauh dari satelit kepada Gubernur/Bupati/Walikota dengan tembusan kepada instansi teknis dan Kementerian LH.

Penanggungjawab usaha bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya dan wajib segera melakukan penanggulangan kebakaran tersebut, serta melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran di lokasi usahanya tersebut.Selain dari PP No. 4 tahun 2001, kebakaran hutan pun diatur dalam PP No. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.

Menurut PP tersebut, perlindungan hutan dilakukan, salah satunya, dengan mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh kebakaran.

PP ini menyatakan bahwa perlindungan hutan atas kawasan hutan merupakan kewajiban dan tanggung jawab dari pengelola hutan/kawasan hutan, baik itu BUMN, pemegang izin (izin pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan, izin pemungutan hasil hutan, dan izin pinjam pakai kawasan hutan), maupun pengelola hutan/kawasan hutan untuk tujuan khusus, sesuai dengan wilayah kerja/izinnya.

Perlindungan hutan ini meliputi, di antaranya, pencegahan kerusakan hutan dari kebakaran hutan. Secara khusus, PP Perlindungan Hutan menyatakan bahwa perlindungan hutan dari kebakaran adalah upaya untuk menghindari kerusakan hutan yang disebabkan oleh kebakaran karena perbuatan manusia maupun alam.

Hal terpenting yang dirumuskan di dalam PP No. 45 tahun 2004 adalah hubungan antara izin dengan tanggung jawab terkait kebakaran hutan. Dalam hal ini, PP tersebut menyatakan bahwa “Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin Penggunaan Kawasan Hutan atau Pemilik Hutan Hak bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya”.

Selanjutnya dijelaskan pula bahwa pertanggungjawaban tersebut meliputi a). tanggung jawab pidana, b). tanggung jawab perdata, c). membayar ganti rugi, dan/atau d). sanksi administrasi.

Dari berbagai ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa: Pertama, pembakaran hutan/lahan merupakan perbuatan yang dilarang dan merupakan tindak pidana.
Kedua, pemegang izin memiliki kewajiban dan tanggung jawab hukum untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan/lahan di wilayahnya.

Ketiga, pemegang izin memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menanggulangi dan memulihkan lingkungan apabila kebakaran terjadi di wilayahnya. Dengan adanya tanggung jawab dan kewajiban hukum ini, maka seorang pemegang izin tidak bisa mengelak dari pertanggungjawaban dengan menyatakan, misalnya, bahwa kebakaran dilakukan oleh orang lain di luar wilayah kerja pemegang izin.

Konstruksi hukum di Indonesia tidak mengizinkan adanya dalih seperti ini, karena kewajiban pencegahan kebakaran hutan/lahan, serta penanggulangan dan pemulihan lingkungan akibat kebakaran tersebut melekat pada izin usaha atau kewenangan pengelolaan yang diberikan. Kiranya sudah cukup lengkap dan memadai pengaturan terkait dengan Karhutla di Indonesia yang memuat sanksi pidana, perdata maupun aspek administrasinya. Tinggal bagaimana kemudian penegak hukum berdasarkan kententuan yang sudah ada tersebut untuk penegakan hukumnya.

Selanjutnya faktor ketiga yang mempengaruhi penegakan hukun Karhutla adalah kultur atau budaya hukum masyarakat. Kultur hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, maka nilai-nilai mana merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk.

Nilai-nilai tersebut lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan. Pasangan nilai-nilai konservatisme dan nilai inovatisme, senantiasa berperan di dalam perkembangan hukum. Dengan kondisi demikian, maka penegakan hukum harus juga dapat memahami permasalahan unsur budaya yang dapat mempengaruhi tegaknya hukum.

Terkait dengan kasus Karhutla, bagaimana sesungguhnya pandangan masyarakat terhadap adanya kasus tersebut?. Sejauh ini dibeberapa daerah, membakar hutan dan lahan untuk pembukaan areal pertanian dan perkebunan dianggap sebagai hal yang wajar dan sudah merupakan budaya turun temurun. Namun upaya pembakaran ini dilakukan sesuai dengan kearifan lokal untuk menghindari dampak yang tidak diinginkan.

Di Kalimantan misalnya, suku Dayak mempunyai kearifal lokal cara berkebun dengan system bergilir balik yang dilakukan dengan membakar lahan/ hutan. Tapi pembakaran yang dilakukan dengan cara membuat sekat bakar untuk menghindari meluasnya kebakaran hutan.

Mungkin karena adanya budaya hukum masyarakat seperti itu sehingga Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada pasal 69 ayat (1) huruf h melarang setiap orang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Akan tetapi, ditemui adanya pengecualian pada pasal 69 ayat (2) yang berbunyi “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing”.

Mengenai kearifan lokal ini dijelaskan lebih lanjut pada bagian penjelasan Pasal 69 ayat (2), yang berbunyi “Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya”.

Meskipun ada pengecualian namun secara umum bagi pelaku baik individu maupun korporasi yang kemudian terbukti menjadi penyebab kebakaran hutan yang meluas dan merugikan public bisa di jadikan tersangka untuk diadili baik secara pidana, perdata maupun sanksi administrasi.

Rasanya kalau penegakan hukum Karhutla dilaksanakan secara adil maka kecil kemungkinan perlawanan dari masyarakat yang menentangnya. Karena pada dasarnya terjadinya kebakaran hutan dan lahan akan merugikan kita semua sehingga menjadi kewajiban semua pihak untuk mencegahnya. Artinya dari aspek ini , budaya hukum masyarakat mendukung penegakan hukum pelaku Karhutla.

Diantara ketiga faktor yang mempengaruhi penegakan hukum Karhutla diatas sepertinya aspek struktur hukum dalam hal ini aparat penegak hukum menjadi penentunya. Tegak tidaknya penegakan hukum Karhutla sangat tergantung pada aparat penegak hukumnya. Dari hasil investigasi law-justice.co yang menunjukkan bahwa ada keputusan kasasi Mahkamah Agung yang melepaskan tersangka pembakar hutan hanya karena korporasi tersebut telah memasang papan peringatan “dilarang membakar hutan”, tentu menjadi titik lemah sisi aparat penegak hukumnya.

Demikian pula eksekusi sanksi yang tidak kunjung dijalankan menjadi persoalan lainnya. Semua itu bertumpu pada keseriusan aparat penegak hukum diberbagai level dalam menjalankan peran dan fungsinya. Sehingga menjadi penting untuk membenahi strukturisasi penegakan hukum dari atas ke bawah agar aparat penegak hukum itu mampu memberi contoh yang baik dalam menerapkan integritas, moral, serta etika dalam menjalankan profesinya.

Dalam kaitan ini seorang ahli hukum pidana Belanda yang terkenal bernama Tayerne menyatakan bahwa hukum yang baik di tangan aparat yang buruk akan menjadi hukum yang buruk juga. Tetapi hukum yang buruk , ditangan penegak hukum yang baik akan menjadi baik.

 

(Ali Mustofa\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar