Djono W Oesman, Wartawan Senior

Ditunggu, Putusan Vonis Mati Koruptor Kedua

Rabu, 08/12/2021 12:40 WIB
Tersangka kasus korupsi Jiwasraya Heru Hidayat (Media Indonesia)

Tersangka kasus korupsi Jiwasraya Heru Hidayat (Media Indonesia)

Jakarta, law-justice.co - Belum ada koruptor Indonesia dieksekusi mati. Jusuf Muda Dalam divonis mati, 8 April 1967. Ia mati di penjara, 26 Agustus 1976, akibat tetanus. Terdakwa korupsi Asabri. Heru Hidayat, pun baru dituntut mati, Senin (6/12).

Belum tahu, apakah hakim nanti bakal mengurangi tuntutan hukuman itu atau tidak.

Seumpama kelak hakim tidak mengurangi tuntutan, maka Heru akan jadi koruptor terpidana mati kedua di Indonesia.

Dikutip dari website Mahkamah Agung, Jusuf Muda Dalam (Menteri Urusan Bank Sentral RI, 1963-1966) didakwa jaksa atas empat kejahatan:

1. Pemberian impor yang mengakibatkan insolvensi internasional. Lebih lanjut merongrong kekuasaan negara atau kewibawaan pemerintah.

2. Memberikan kredit tanpa agunan pada kurun 1964-1966.

3. Kepemilikan senjata api (saat itu ilegal, meski bagi pejabat negara)

4. Menikahi enam perempuan: Sutiasmi, Salamah, Jajah, Ida Djubaidah, Djufriah dan Sari Narulita (saat itu, melanggar hukum bagi pejabat negara)

Semua harta Jusuf disita negara (ada 14 item). Pada 9 September 1966, Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta menjatuhkan hukuman mati. Ia banding. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi di Jakarta, 23 Desember 1966.

Jusuf kasasi. Hasilnya: "Menghukum Jusuf Muda Dalam dengan hukuman mati," kata majelis kasasi yang diketuai Surjadi dengan anggota Subekti dan M Abdurrachman, 8 April 1967.

Mahkamah Agung (MA) menyatakan, merampas semua harta Jusuf untuk negara. MA berkeyakinan Jusuf korupsi puluhan miliar rupiah (tidak disebut detail).

Hukum zaman itu tidak menyebut detail nilai kerugian negara. Hanya disebutkan puluhan miliar rupiah. Sebagai perbandingan, pada 1967 harga bensin per liter Rp 4.

Jusuf belum sempat dieksekusi. Sudah meninggal dengan sendirinya di Penjara Cimahi, 26 Agustus 1976 karena tetanus. Atau, setelah ia mendekam di penjara sekitar 10 tahun.

Kalau sekarang, nilai kerugian negara perkara korupsi, jelas. Heru Hidayat dijerat dua kasus korupsi: Asuransi milik negara Jiwasraya, merugikan negara Rp 16,8 triliun. Juga pencucian uang hasil korupsi.

Di kasus Jiwasraya, Heru divonis hukuman seumur hidup. Sudah inkracht (berkekuatan hukum tetap). Yang berarti, statusnya terpidana.

Di situ Heru juga dijatuhi pidana tambahan: Membayar uang pengganti: Rp 10.72 triliun. Sesuai nilai korupsi. Yang bila tak terbayar, seluruh hartanya disita negara.

Di kasus korupsi Asabri, Heru didakwa korupsi bersama mantan Dirut Asabri, Adam Damiri dan Sonny Widjaja dkk. Merugikan negara Rp 22,7 triliun. Heru juga didakwa mencuci uang hasil korupsi.

Di kasus Asabri, ia dituntut jaksa, hukuman mati. Plus membayar uang pengganti Rp 12,64 triliun.

Seumpama jumlah tuntutan uang pengganti itu disetujui hakim, kelak, maka total uang pengganti yang harus dibayarkan Heru kepada negara Rp 23,63 triliun. Atau sita seluruh harta.

Tuntutan hukuman mati Heru di perkara Asabri, ternyata terkait dengan perkara Jiwasraya. Bukan berarti, ia sudah dihukum seumur hidup, lalu dihukum mati, pula.

Seperti pengadilan Amerika yang bisa menjatuhkan hukuman mati tiga kali. Bukan begitu. Tapi, jaksa mengaitkan Asabri dengan Jiwasraya.

Penjelasan jaksa begini: Terdakwa melakukan kejahatan serius. Melanggar UU 31/1999 memberikan penerapan pidana mati, sebagaimana dalam pasal 2 ayat 2 yang menentukan bahwa dalam hal Tipikor sebagaimana dimaksud ayat 1, dalam keadaan tertentu dapat dihukum mati.

`Keadaan tertentu`, sebagaimana pasal 2 ayat 2 UU 20/2001 yang dimaksud keadaan tertentu yang dapat dijadikan alasan pemberat pidana bagi pelaku Tipikor yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter dan pengulangan Tipikor.

Tidak ada penjelasan mengenai pengertian secara resmi dalam keadaan di atas, sehingga sangat penting memberi pemahaman dan penjelasan serta batasan yang jelas dalam keadaan dimaksud khususnya pengulangan tindak pidana.

Maka, ada dua konstruksi perbuatan terdakwa yang relevan sebagai pengulangan. Yaitu, di perkara korupsi Jiwasraya dan perkara korupsi PT Asabri. Keduanya dipandang sebagai niat dan objek yang berbeda, meskipun periode waktunya bersamaan.

Intinya, Heru melakukan dobel korupsi, di dua lembaga milik negara. Bisa ditafsirkan, di Jiwasraya sudah dihukum seumur hidup, masak di Asabri dihukum seumur hidup juga? `Kan hidup dua kali?

Menanggapi tuntutan hukuman mati Heru, pengacara Heru, H.B.H Kresna Hutauruk kepada wartawan, Senin (6/12/21) mengatakan:

"Tuntutan mati, jelas tuntutan yang berlebihan dan menyalahi aturan. Sebab hukuman mati dalam UU Tipikor diatur dalam Pasal 2 ayat 2. Sedangkan dalam dakwaan Heru Hidayat, JPU tidak menyertakan Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor dalam dakwaannya."

Kresna mengatakan, jaksa mendakwa Heru dengan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor serta Pasal 3 dan 4 UU TPPU. Sehingga dia menilai tuntutan jaksa di luar dakwaan.

Dilanjut: "Tuntutan di luar dakwaan ini kan jelas tidak sesuai aturan, berlebihan, dan di luar wewenang JPU atau bisa dianggap abuse of power."

Mungkin, pernyataan tersebut akan dimasukkan ke pledoi (pembelaan) Heru.

Setelah itu, terserah majelis hakim menentukan vonis. Apakah ini bakal jadi vonis mati kedua bagi koruptor? Atau tidak?

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar