Perlunya Mendorong Amandemen Konstitusi Untuk Indonesia Demokratis

Sabtu, 04/12/2021 21:30 WIB
Ilustrasi Palu Konstitusi (Foto: Istimewa)

Ilustrasi Palu Konstitusi (Foto: Istimewa)

[INTRO]
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan peran dan posisi DPD RI perlu diperkuat. Penguatan akan dilakukan melalui pintu Amandemen Konstitusi.
 
"Seperti kita tahu, tahun 1999 hingga 2002, terjadi Amandemen Konstitusi. Tujuannya agar Indonesia lebih demokratis, sekaligus mengkoreksi kelemahan beberapa pasal di naskah asli UUD 1945. Namun yang terjadi kemudian, sistem tata negara Indonesia berubah total," kata LaNyalla dalam acara bertema `Penguatan Peran dan Fungsi DPD RI Sebagai Amanat Bangsa`, di Forum Komunikasi dan Diseminasi Program Kerja dengan Media dan Refleksi Akhir Tahun DPD RI, di Bandung, Jawa Barat, Jumat (03/12/2021).
 
Mengenai hal ini, LaNyalla menjelaskan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan Utusan Daerah dan Utusan Golongan dihapus, digantikan Dewan Perwakilan Daerah.
 
Mandat rakyat, kata LaNyalla, kemudian diberikan kepada dua ruang politik, yaitu parlemen dan presiden, yang masing-masing bertanggung jawab langsung kepada rakyat melalui mekanisme pemilu.
 
"Nah, DPD yang merupakan perubahan dan penyempurnaan wujud dari utusan daerah dan golongan justru kehilangan hak dasar sebagai pemegang daulat rakyat yang didapat melalui Pemilu. Padahal DPD sama-sama `berkeringat` seperti partai politik," paparnya.
 
Sebelum Amandemen Konstitusi tahap 1 sampai 4, ia mengatakan MPR yang terdiri dari anggota DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan mendapat mandat rakyat untuk memilih presiden dan wakil presiden. Dengan demikian, ketiga komponen dapat mengajukan atau mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden.
 
"Setelah Amandemen 1 sampai 4, DPD tidak mempunyai hak itu. Inilah yang saya sebut kecelakaan hukum yang harus dibenahi. Hak DPD RI harus dikembalikan atau dipulihkan," katanya.
 
Dikatannya, DPD merupakan wakil dari daerah, wakil dari golongan-golongan dan entitas-entitas civil society yang non-partisan. Namun faktanya, DPD tidak bisa terlibat dalam menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa.
 
"Sejak Amandemen tahun 1999 hingga 2002, hanya partai politik yang bisa mengusung calon pemimpin bangsa ini. Lewat Fraksi di DPR RI, partai politik juga yang memutuskan undang-undang yang mengikat seluruh warga," ungkapnya.
 
Oleh karena itu, ia menjelaskan pihaknya akan melakukan penguatan fungsi kelembagaan. Mengingat para entitas civil society non-partisan juga berperan terhadap lahirnya bangsa dan negara Indonesia.
 
"Karena itulah DPD RI ingin melakukan penguatan fungsi kelembagaan. Mengingat Demokrasi De-sentralistik yang kita anut, adalah konsep partisipasi daerah, dalam perumusan kebijakan publik di tingkat nasional. Artinya peran DPD RI sangat strategis untuk mensinkronkan kepentingan daerah dengan kepentingan pusat," paparnya.
 
Terkait hal ini, LaNyalla menyebut DPD akan mengajukan dua judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas Undang-Undang MD3.
 
"Tetapi, meskipun sudah ada dua Putusan MK, namun Undang-Undang MD3 masih saja memuat ketentuan pasal-pasal yang mereduksi kewenangan konstitusional sebagaimana telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi," jelasnya.
 
DPD menilai untuk melakukan penguatan kelembagaan, diperlukan pelaksanaan perintah Pasal 22C Undang-Undang Dasar 1945 secara konsisten. Dalam hal ini, keberadaan DPD perlu diatur melalui undang-undang sendiri.
 
"Tetapi tentu tidak mudah, karena penentu akhir pengesahan Rancangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang adalah DPR RI dan pemerintah," ucapnya.
 
Upaya selanjutnya, kata LaNyalla, proyeksi penguatan kelembagaan DPD harus didorong melalui pintu Amandemen Konstitusi. Dengan demikian, DPD menjadi sebuah sistem yang menjamin keputusan politik yang penting, dibahas secara berlapis.
 
Melalui hal ini, berbagai kepentingan juga dapat dipertimbangkan secara matang dan mendalam dengan adanya mekanisme checks and balances atau mekanisme double check antara DPR dan DPD.
 
"Sekali lagi, penguatan peran dan fungsi DPD RI bukan mengada-ada. Tetapi sebuah amanat sejarah dan amanat bangsa. Bahwa bangsa ini juga memiliki ruang-ruang non-partisan yang juga berhak untuk ikut serta menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa ini ke depan," ujarnya.
 
LaNyalla pun meminta agar seluruh elemen masyarakat, khususnya media massa menjadikan agenda Amandemen Konstitusi ke-5 sebagai momentum yang sama untuk mengoreksi arah perjalanan bangsa.
 
"Kita harus berani bangkit. Harus berani melakukan koreksi untuk tujuan Indonesia yang lebih baik. Untuk Indonesia yang lebih berdaulat dan berdikari, serta mampu mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia," pungkasnya.
 
Sebagai informasi, hadir dalam acara tersebut Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono (senator asal Maluku), Mahyudin (senator asal Kalimantan Timur) dan Sultan Baktiar Najamudin (senator asal Bengkulu), serta beberapa senator lainnya.
 
Hadir pula Sekjen DPD RI Rahman Hadi dan jajarannya, serta 120 wartawan dari berbagai media yang tergabung dalam Koordinatoriat Wartawan Parlemen.
 

(Givary Apriman Z\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar